Seorang gadis 17 tahun Neha Paswan tak lagi bisa menikmati masa depannya. Ia mati ditangan kakeknya sendiri. Ia dipukuli karena menggunakan celana jeans.
Neha tinggal di India Utara, Uttar Pradesh, tepatnya di desa Savreji Kharg distrik Deoria. Wilayah ini memang merupakan wilayah terbelakang di Uttar Pradesh. Kisah sedih ini terjadi minggu lalu saat Neha Paswan ingin menjalankan ritualnya di malam hari. Saat itu ia menggunakan celana jeans. Namun kakek dan pamannya keberatan dengan busana yang digunakan Neha dan perdebatan pun terjadi.
"Dia (Neha) sudah menjalankan puasa sejak pagi. malamnya ia menjalankan ritualnya dengan mengenakan celana jeans. Kakeknya keberatan. Namun Neha bersikeras, menurutnya pakaian diciptakan untuk digunakan," tutur Shakuntala Devi Paswan, ibunda Neha, seperti yang dikutip Beutynesia dari BBC, Selasa (21/07/2021).
Perdebatan itu makin panas dan berujung pada kekerasan. Kakek dan pamannya memukul Neha dengan tongkat, sampai ia tergeletak tak sadarkan diri.
Tak Ditemukan di Rumah Sakit, Mayatnya Berada di Jembatan
Lebih lanjut Shakuntala bercerita bahwa setelah anak perempuannya tak sadarkan diri, kakak iparnya memanggil bajaj dan membawa Neha ke rumah sakit. Namun sayang Shakuntala malah tak diizinkan menemani anaknya.
Ironisnya, keesokan harinya, Shakuntala mendengar bahwa ada mayak tergantung di jembatan di atas Sungai Gandak. Setelah ditelusuri, itu adalah mayat Neha.
Perempuan Tak Memiliki Kuasa Atas Dirinya
Yang terjadi pada Neha adalah akibat dari budaya patriarki yang sudah mengakar di India. Para keluarga laki-laki merasa punya kuasa untuk mengatur keluarga perempuannya. Jika perlu mereka boleh melakukan kekerasan.
Terbukti dari data di India, rata-rata 20 perempuan dibunuh setiap harinya oleh keluarganya sendiri. Aktivis gender Rolly Shihvare mengatakan, budaya patriarki ini juga merupakan kesalahan dari para politisi dan pemimpin serta mereka yang berpengaruh di India karena sering memberi contoh ataupun menormalisasi lelucon misoginis atau mengobjektifikasi perempuan.
Kisah Neha Tak Hanya di India
Menurut data UNFPA (United Nation Population Fund) dari 57 negara di dunia, hampir setengah populasi perempuan tidak diberikan hak atas ketubuhannya sendiri.
Menurut pengamat isu perempuan Poppy Dihardjo saat berbincang dengan Beautynesia, yang selalu terjadi pada perempuan adalah mereka tak pernah diajarkan untuk memiliki otonomi tubuh.
"Biasanya yang terjadi adalah, saat mereka masih kecil, tubuh perempuan milik orangtua, saat dewasa, menjadi milik publik, dan saat menikah, tubuhnya menjadi milik pasangannya," jelas Poppy.
Menurut ibu satu anak ini, hal-hal seperti ini juga umum terjadi di Indonesia. Contohnya banyak, misalnya di sosial media, orang-orang merasa berhak untuk mengomentari pakaian orang lain. Suami berhak menuntut istrinya segera hamil, atau pandangan yang menormalisasi bahwa istri tidak boleh menolak ajakan berhubungan dari suaminya, karena dianggap itu adalah sebuah tugas mulia. Seolah perempuan tak bisa memiliki kemauannya sendiri.
Perempuan Harus Belajar Soal Otonomi Tubuh
Untuk mengubah keadaan ini, yang harus kita pahami sebagai generasi muda adalah memahami otonomi tubuh.
"Otonomi tubuh adalah kuasa dan kendali untuk menentukan pilihan atas tubuh dan masa depan diri kita, tanpa kekerasan dan pemaksaan. Termasuk di dalamnya, kapan, mau atau tidaknya dan dengan siapa kita berhubungan seks dan mengalami kehamilan. Juga termasuk di dalamnya adalah akses fasilitas kesehatan," jelas Poppy lagi.
Jika kita sadar akan ini, dan bisa memberi pengertian kepada orang lain akan hal ini, maka nilai-nilai yang menganggap perempuan tak memiliki hak atas dirinya sendiri otomatis akan menghilang.
Saat itu terjadi, angka kekerasan terhadap perempuan pun akan berkurang. Tak akan ada lagi Neha lainnya, seorang anak perempuan, yang tak bisa menggapai masa depannya, karena mati akibat ingin menggunakan celana jeansnya.