Menyorot Tingginya Angka Pernikahan Anak di Lombok, Apa Penyebabnya?

Riswinanti Pawestri Permatasari | Beautynesia
Senin, 02 Jun 2025 17:00 WIB
Ilustrasi Pernikahan Anak/Foto: Unsplash/Wu Jianxiong

Beberapa waktu lalu, viralnya video pernikahan anak berusia 17 dan 15 tahun di Lombok sukses membuat gempar publik. Melansir DetikBali, pernikahan ini dilangsungkan oleh SR (17) seorang siswa SMK asal Braim, Praya Tengah, dengan SMY (15), gadis asal Sukaraja, Praya Timur yang masih duduk di bangku SMP.

Dalam video yang beredar, terlihat pasangan pengantin itu sedang melangsungkan tradisi adat nyongkolan. Namun, unggahan itu menuai berbagai kecaman dan kekhawatiran karena ekspresi pengantin perempuan yang terlihat seperti sedang menahan tangis. Ditambah lagi, sikap mempelai yang terlihat masih “bocah” membuat banyak orang mempertanyakan kesiapan pasangan muda itu untuk mengemban tanggung jawab pernikahan.

Namun harus diakui, fenomena pernikahan anak di Indonesia memang bukan hal baru. Dalam hal ini, kawasan seperti Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), masih mencatat angka yang mengkhawatirkan.

Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), NTB masuk sebagai salah satu provinsi dengan angka dispensasi kawin tertinggi secara nasional. Bahkan, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB menyebut bahwa sekitar 14 persen dari total pernikahan anak di Indonesia terjadi di wilayah ini, terutama di Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Timur. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Bagaimana tokoh masyarakat setempat menyikapinya?

Pernikahan Anak di Lombok Meningkat Tajam Sejak Covid-19


Ilustrasi/Foto: Freepik.com

Pernikahan di bawah umur memang jadi salah satu tradisi yang masih ‘lestari’ di kawasan Nusa Tenggara Barat. Hal ini berdampak pada lingkungan sosial yang mendorong pola pikir masyarakat untuk segera menikah sebelum dianggap ‘terlalu tua’.

Meski demikian, pernikahan anak di Lombok ternyata bukan semata-mata persoalan adat. Melansir DetikBali, banyak faktor yang saling berkaitan dan memperparah situasi, salah satunya pandemi COVID-19 pada tahun 2020-2023.

Selama pandemi, sekolah-sekolah ditutup sehingga anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu di rumah tanpa pengawasan. Kepala DP3AP2KB NTB Wismaningsih Drajadiah mengungkapkan pada Detikcom bahwa pembelajaran online justru membuat mereka malas belajar dan lebih banyak keluyuran. Alhasil, banyak remaja mulai menjalin hubungan romantis yang intens selama pandemi karena akses internet dan gawai yang tak terkontrol.

"Banyak anak bilangnya belajar, tapi tidak tahu belajar atau tidak. Chatting dengan pacarnya kan tidak tahu, tahu-tahu sudah menikah," kata Drajadiah, dalam wawancara dengan DetikBali tahun 2023.

Sementara itu, pegiat anti perkawinan anak Minhatul Aulaq mengungkap bahwa sejak 2019-2021 terdapat 10-14 perkawinan anak di Desa Jenggik Utara, Lombok Timur. Bahkan, sejak awal tahun ini sudah ada dua pernikahan anak di kawasan tersebut.

(naq/naq)