Punya Makna Mendalam, Ini Pesan di Balik Film A Normal Woman yang Trending di Netflix

Film A Normal Woman tayang di Netflix mulai 24 Juli 2025 dan langsung menjadi salah satu film yang paling banyak ditonton hingga masuk jajaran Top 10 selama beberapa minggu. Disutradarai Lucky Kuswandi, film ini bercerita tentang Milla (Marissa Anita), seorang sosialita anggun yang hidupnya terlihat mewah dan sempurna. 

Namun, di balik semua itu, ia mengalami banyak tekanan yang datang dari keluarganya sendiri. Suatu hari Milla mengalami penyakit kulit misterius tanpa ada penjelasan medis yang kuat. 

Perubahan penampilannya membuat sang suami nyaris tak mengenalinya, sementara ibu mertuanya menuduh Milla membawa terkena kuasa gelap dan tidak mampu menjadi istri yang baik.

Tekanan sosial, tuduhan, serta usaha pengobatan yang sia-sia membuat Milla semakin terpuruk, hingga luka fisik dan batinnya makin memburuk. Ternyata, dari penyakit yang dialami tersebut, terungkap jati diri dan rahasia keluarga yang selama ini disembunyikan.

Di balik visualnya yang memikat, film bergenre drama psikologis ini mengandung makna dan isu yang kuat tentang tekanan sosial yang dialami perempuan.

Tekanan Sosial yang Menghimpit

Makna di Balik Film Netflix A Normal Woman/Foto: Instagram/luckykuswandi

Milla selalu tampil cantik dan menjadi pusat perhatian. Namun, semua itu punya harga yang mahal, bukan dalam bentuk uang, melainkan tekanan untuk terus terlihat baik-baik saja. 

Lingkungan sekitar di keluarganya menuntut Milla menjadi sosok istri dan menantu yang ideal. Hal ini mencerminkan kenyataan bahwa banyak perempuan di dunia nyata masih diukur dari penampilan dan perannya di mata orang lain, bukan dari kebahagiaan atau kesejahteraan dari dalam dirinya sendiri.

Luka Batin yang Tak Pernah Sembuh

Makna di Balik Film Netflix A Normal Woman/Foto: Instagram/luckykuswandi

Penyakit misterius Milla bukan sekadar masalah fisik. Luka kecil di tubuhnya menjadi simbol luka batin yang ia pendam selama bertahun-tahun. 

Sama seperti trauma yang tidak diselesaikan, luka itu semakin membesar dan mengganggu hidupnya. Film ini juga menyinggung bagaimana luka psikologis bisa diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pola asuh, sikap, atau tekanan yang sama.