Mengenal Toxic Masculinity yang Bikin Pria 'Dilarang' Lemah & Menangis

Siti Mukaromah | Beautynesia
Sabtu, 07 Aug 2021 20:30 WIB
Mengenal Toxic Masculinity yang Bikin Pria 'Dilarang' Lemah & Menangis
Mengenal Stigma Toxic Masculinity yang Mendarah Daging di Masyarakat/pexel.com/pixabay

Stereotip masyarakat seringkali mengharuskan para pria untuk harus selalu bersikap tegas, tidak boleh menangis, harus selalu mendominasi, kuat, dan lain sebagainya.

Hal-hal seperti ini rupanya disebut juga sebagai toxic masculinity. Berikut penjelasan selengkapnya:

Definisi Toxic Masculinity

Pria menangis adalah salah satu hal yang normalPria menangis adalah salah satu hal yang normal/ Foto: Unsplash


Singkatnya begini Beauties, toxic masculinity atau maskulinitas beracun adalah stereotip yang diciptakan oleh masyarakat sosial tentang sikap dan perilaku maskulin yang harus dimiliki oleh pria secara berlebihan, seperti pria harus kuat secara fisik, agresif, tidak boleh emosional, mengerjakan segala sesuatunya sendiri, harus berkuasa, dan lain sebagainya.

Dikutip dari jurnal psikologi dengan judul: Longitudinal Associations Between Features of Toxic Masculinity and Bystander Willingness to Intervene in Bullying Among Middle School Boys pada Journal of School of Psychology toxic masculinity, didefinisikan sebagai "konstelasi sifat-sifat [maskulin] secara sosial yang berfungsi untuk menumbuhkan dominasi, devaluasi perempuan, homofobia, dan kekerasan diinginkan" (Kupers, 2005, hlm. 71).

Maskulinitas Beracun yang Biasa Ada di Kehidupan Sehari-hari

toxic masculinity, maskulinitas beracun, pria, mental health
Mengenal sigma maskulinitas beracun/pexel.com/ono kosuki

Beauties, maskulinitas beracun ini tidak hanya di temui di Indonesia saja, tapi juga di berbagai negara belahan dunia. Ada begitu banyak kalimat yang sering kali diucapkan untuk menggambarkan toxic ini, di antaranya:


“Pria nggak boleh ngeluh, apa lagi nangis”

Seakan tidak boleh memiliki rasa sedih atau sakit hati terhadap segala sesuatu, perkataan ini  justru sering kali dilontarkan oleh orang-orang yang biasanya berusaha menguatkan pria saat berada di posisi terpuruk.

“Jadi pria tuh harus berani, harus kuat dan jantan. Jangan takut berkelahi”

Kalimat ini biasanya diucapkan baik untuk penggambaran secara fisik maupun emosional. Namun, pada nyatanya tidak semua menyukai kekerasan, apa lagi sampai berkelahi.

Sebagian pria mungkin terlalu malas untuk berkelahi dan sebagian lagi lebih suka menyelesaikan masalah dengan mengandalkan otak, bukan otot.

“Wah, nggak ngerokok, nggak gaul nih!”

Di kalangan remaja, melakukan tindakan yang berisiko seperti mengkonsumsi obat-obatan terlarang, merokok, kebut-kebutan atau kegiatan berisiko lainnya dianggap sebagai suatu hal ‘keren’ yang akan membuat mereka disegani di kalangan kelompok tertentu.

Sehingga mereka tidak akan ragu untuk melakukan hal berisiko, meski akan berdampak buruk pada suatu waktu.

“Self-care, self-love apa sih? Kayak perempuan!”

Beauties, ketika seorang pria menunjukan self-care maupun self-love terhadap dirinya sendiri, seringkali dianggap sebagai suatu hal yang aneh di kalangan para pria.

Padahal bisa jadi, mereka melakukan hal tersebut sebagai upaya apresiasi mereka terhadap diri sendiri, atas suatu hal yang telah mereka capai.

Cara Mengurangi Stigma Toxic Masculinity:

Mengenal Stigma Toxic Masculinity yang Mendarah Daging di Masyarakat/pexel.com/Andrew neel

Karena adanya stigma tentang maskulinitas beracun yang sudah mendarah daging di masyarakat, tidak sedikit pria yang merasa tersiksa dan merasa terganggu secara psikologi, Beauties.

Untuk itu, ada beberapa cara untuk kamu mengurangi stigma tentang meskulinitas beracun ini, seperti;

Melakukan Psikoedukasi

toxic masculinity, maskulinitas beracun, pria, mental health
Melakukan pendekatan kepeda korban toxic masculinity/pexel.com/helena lopes

Psikoedukasi adalah melakukan edukasi psikologi dengan cara menyebarkan informasi yang kamu ketahui pada orang yang kiranya perlu mengetahuinya. Namun, untuk melakukan itu ada baiknya kamu melakukan dengan baik dan benar. Sehingga lawan bicaramu akan lebih mudah menyerap informasi tentang toxic masculinity.

Pastikan juga informasi yang kamu sampaikan adalah informasi valid yang kamu peroleh dari sumber terpercaya. Dengan begini kamu akan membangun kesadaran masyarakat tentang stigma toxic masculinity.

Lebih Self-awareness

Kamu bisa memberitahukan pada kakak, adik maupun pasanganmu soal ini. Dengan melakukan self-awarness, mereka akan sadar dengan perasaan, batasan dan hal yang seperti apa yang baik untuk diri mereka sendiri.

Menjadi seorang pria bukan berati tidak boleh menangis, tidak boleh menolak akan ajakan hal yang berisiko, tidak boleh mempraktikan self-love atau self-care, tidak boleh menerima empati, tidak boleh mengungkapkan keluh kesah dan lain sebagainya. Setiap orang punya pilihannya masing-masing, tak terkecuali pria.

Oleh karena itu, jika membutuhkan bantuan untuk menangani kesehatan mental jangan ragu untuk membawa orang terdekatmu ke tenaga profesional ya Beauties.

Komentar
0 Komentar TULIS KOMENTAR
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.

RELATED ARTICLE