7 Kalimat yang Kedengarannya Biasa tapi Bikin Kamu Dianggap Kurang Open Minded

Dewi Maharani Astutik | Beautynesia
Kamis, 25 Dec 2025 14:00 WIB
“Mari Sepakati Saja Bahwa Kita Tidak Sepakat”
Menghindari percakapan sulit bisa jadi ciri-ciri orang tidak open-minded/Foto: Freepik/gpointstudio

Keterbukaan pikiran atau open-mindedness adalah kunci penting dalam menjalin interaksi sosial maupun profesional, karena sikap inilah yang memungkinkan kita memahami perspektif orang lain tanpa cepat menghakimi. Namun, sering kali tanpa disadari, ada ucapan-ucapan sederhana yang terdengar biasa saja tetapi sebenarnya mencerminkan kurangnya keterbukaan pikiran kita. Kata-kata seperti ini bisa membuat lawan bicara merasa diremehkan atau tidak dihargai sehingga menimbulkan jarak dalam komunikasi.

Oleh karena itu, penting bagi kita mengenali ucapan kurang open-minded yang sebaiknya dihindari agar interaksi tetap sehat dan produktif. Dalam artikel yang dilansir dari Fodmap Everyday ini, akan dibahas 7 contoh ucapan yang menjadi ciri-ciri orang tidak open-minded, yang meskipun sering muncul tanpa sadar, tetapi bisa menjadi penghalang dalam hubungan sehari-hari.

“Aku Sudah Melakukan Riset Sendiri”

Ucapan “Aku sudah melakukan riset sendiri” sering terdengar meyakinkan, tapi justru bisa menimbulkan kesan menutup diri. Fenomena ini berkaitan erat dengan efek Dunning-Kruger yang membuat orang sulit melihat kelemahannya. Memahami hal ini penting untuk menghindari kesan tidak open-minded.
Seseorang perlu belajar melihat kelemahannya dari sudut pandang orang lain untuk menghindari kesan tidak open-minded/Foto: Freepik/DC Studio

Untuk menghindari kesan tidak open-minded, kamu harus berhenti mengucapkan ini. Ungkapan ini sering terdengar meyakinkan, bahkan seolah menunjukkan keseriusan seseorang dalam memahami suatu topik. Masalahnya, banyak orang yang mengucapkannya tanpa benar-benar memahami bahwa yang mereka lakukan sering kali hanyalah jebakan psikologis yang disebut efek Dunning-Kruger.

David Dunning dan Justin Kruger pernah meneliti fenomena ini pada tahun 1999. Hasilnya, orang yang berada pada peringkat terbawah dalam tes logika dan tata bahasa justru yakin bahwa kemampuan mereka jauh di atas rata-rata. Singkatnya, mereka tidak cukup ahli untuk menyadari kelemahan diri sendiri.

Jadi, ketika seseorang berkata sudah melakukan riset, yang kerap dimaksud hanyalah mengumpulkan informasi yang mendukung keyakinan pribadi, sambil menutup mata pada bukti yang berlawanan. Daripada penelitian sungguhan, tindakan yang mereka lakukan lebih tepat disebut sebagai upaya mencari pembenaran.

“Itu Cuma Pendapatmu”

Ucapan kurang open-minded sering muncul ketika argumen lawan dianggap sekadar opini belaka/Foto: Freepik/katemangostar

Kalimat ini sering kali dipakai sebagai jurus pamungkas untuk memotong diskusi tanpa benar-benar menanggapi argumen yang ada. Alih-alih membahas logika atau fakta, kalimat ini menggeser perdebatan menjadi sekadar soal selera, layaknya memilih vanila atau cokelat.

Sumber dari fenomena tersebut biasanya berasal dari False Consensus Effect, kecenderungan kita untuk merasa bahwa orang lain pasti sependapat, dan Naive Realism, keyakinan bahwa sudut pandang kita adalah yang paling objektif. Akibatnya, ketika seseorang yang berpikiran tertutup mendengar argumen berbasis bukti yang bertolak belakang dengan keyakinannya, ia bisa merasa terdesak. Tidak heran jika fakta kemudian direduksi seolah hanya opini.

Padahal, seperti yang dikatakan Shane Snow—seorang jurnalis, entrepreneur, dan penulis buku populer Smartcuts dan Dream Teams asal Amerika—intellectual humility justru ditandai dengan menghargai pandangan orang lain. Sayangnya, ungkapan itu malah menghalangi sikap terbuka dan sering dijadikan cara untuk menutupi rasa tidak nyaman akibat cognitive dissonance—perasaan tertekan saat harus menghadapi dua keyakinan yang saling bertentangan.

“Ini Selalu Dilakukan dengan Cara Seperti Ini”

Kalimat yang saklek bisa menjadi ciri-ciri orang tidak open-minded yang enggan menerima perubahan/Foto: Freepik

Kalimat ini sering kali menjadi tanda bahwa seseorang terjebak dalam bias status quo—kecenderungan alami otak untuk mempertahankan kebiasaan lama. Kita sering menghindari perubahan karena takut rugi atau merasa tidak aman, padahal cara lama bisa saja sudah tidak efektif.

Ucapan itu juga menunjukkan adanya kebutuhan kuat akan kepastian dan keteraturan. Dengan cara lama, semua terasa jelas dan pasti, meskipun sebenarnya tidak selalu memberikan hasil terbaik.

Masalahnya, sikap seperti ini bisa sangat merugikan di dunia kerja. Perusahaan yang hanya berpegang pada “cara lama” akan kesulitan berinovasi dan membuatnya karyawannya kehilangan semangat.

Carol Dweck, seorang psikolog dari Stanford, memperkenalkan gagasan growth mindset—pola pikir untuk terus belajar dan berkembang. Ia menekankan pentingnya mencari pengalaman baru yang menantang, bukan sekadar mengulang hal-hal yang sudah aman.

“Aku Tidak Sedang Mendebat, Aku Hanya Menjelaskan Alasan Aku Benar”

Ucapan kurang open-minded biasanya terdengar cerdas, tetapi diam-diam mengubah percakapan menjadi monolog/Foto: Freepik

Kalimat cerdik ini sebenarnya adalah mekanisme pertahanan yang bertujuan untuk menghentikan perdebatan. Ucapan tersebut langsung mengubah percakapan dua arah menjadi ceramah satu arah, seolah pembicara adalah guru dan lawan bicara hanyalah murid.

Adam Grant—seorang psikolog organisasi asal Amerika dan profesor di Wharton School, University of Pennsylvania—menyebut intellectual humility sebagai kemampuan untuk tetap berpijak pada kenyataan dengan menyadari bahwa kita punya kelemahan dan bisa salah. Namun, ungkapan tersebut justru melakukan kebalikannya karena mengklaim bahwa sudut pandang pribadi adalah kebenaran mutlak. Dengan kata lain, itu bukan lagi sekadar pendapat, melainkan “fakta” yang tidak boleh diganggu gugat.

Dalam konteks apa pun, sikap seperti ini bisa merusak. Di dunia kerja, kerendahan hati intelektual terbukti menjadi kunci penyelesaian konflik yang sehat. Bahkan, survei Gallup menunjukkan bahwa ketika pemimpin tidak memiliki kerendahan hati, tingkat keterlibatan karyawan pun menurun drastis.

Pemimpin yang kuat biasanya terbuka pada kritik dan menjadi lebih tangguh karenanya. Sebaliknya, pemimpin yang lemah justru memilih membungkam kritik dan akhirnya memperlemah diri sendiri. Jadi, kalimat yang disebutkan dalam poin ini pada dasarnya hanyalah cara untuk menutup mulut orang lain.

“Mari Sepakati Saja Bahwa Kita Tidak Sepakat”

Menghindari percakapan sulit bisa jadi ciri-ciri orang tidak open-minded/Foto: Freepik/gpointstudio

Kalimat ini memang terdengar bijak dan dewasa, tetapi kenyataannya tidak selalu demikian. Hal yang lebih sering terjadi, ungkapan itu hanyalah cara halus untuk menghindari percakapan yang terasa tidak nyaman. Alih-alih menyelesaikan persoalan, kita justru memilih menutup pembahasan agar cepat selesai.

Memang, sikap ini bisa segera meredakan ketegangan, tetapi ada harga yang harus dibayar. Sikap ini membuat rasa nyaman dijadikan prioritas sementara rasa ingin tahu dan pencarian kebenaran dikorbankan.

Padahal, menurut Adam Grant, pertumbuhan terjadi justru ketika kita berani membuak diri terhadap tantangan. Ia menganjurkan kita membangun sebuah challenge network, yaitu jaringan orang-orang yang dapat dipercaya untuk mengingatkan kita pada titik buta pemikiran kita.

Grant mengungkapkan bahwa kita belajar lebih banyak dari orang yang menantang cara berpikir kita, daripada dari mereka yang sekadar menguatkan kesimpulan kita. Dengan kata lain, setiap kali kita memilih “sepakat untuk tidak sepakat”, kita mungkin juga sedang menutup pintu bagi kesempatan untuk belajar dan berkembang.

“Aku Berhak atas Pendapatku”

Ucapan kurang open-minded sering muncul ketika seseorang menolak fakta dengan alasan kebebasan berpendapat/Foto: Freepik/wirestock

Ungkapan ini kerap kali dipakai sebagai tameng ketika sebuah keyakinan mendapat tantangan dari fakta. Memang benar, setiap orang bebas memiliki pendapatnya sendiri. Namun, ketika pendapat tersebut diucapkan dalam sebuah diskusi, ia tidak lagi berdiri sendirian, tetapi layak untuk dipertanyakan dan ditimbang kebenarannya.

Masalahnya, frasa ini sering kali dipakai seolah-olah semua pendapat memiliki bobot yang sama, padahal kenyataannya berbeda. Misalnya, pandangan seorang ilmuwan iklim dengan pengalaman riset puluhan tahun tentu tidak bisa disamakan dengan opini seseorang yang hanya menonton video singkat di internet.

Adam Grant, menekankan pentingnya menambahkan tanggung jawab dalam kebebasan berpendapat. Menurutnya, ketika kita memilih untuk menyampaikan pendapat di depan orang lain, maka kita wajib mendasarkannya pada logika dan fakta, menjelaskan alasan yang melatarbelakanginya, serta bersedia mengubah pandangan ketika ada bukti yang lebih kuat. Jadi, jika frasa “Aku berhak atas pendapatku” digunakan hanya sebagai jalan keluar untuk menutup diskusi, itu sebenarnya tanda bahwa kita enggan menerima tanggung jawab atas kata-kata kita sendiri. 

“Kalau Tidak Rusak, Jangan Diperbaiki”

Ucapan kurang open-minded kerap dipakai sebagai tameng untuk mempertahankan status quo/Foto: Freepik/katemangostar

Ungkapan ini terdengar masuk akal, tetapi sebenarnya bisa menjadi jebakan. Sama halnya dengan ucapan “ini selalu dilakukan dengan cara seperti ini”, kalimat ini lebih sering dipakai untuk mempertahankan status quo daripada mencari perbaikan. Masalahnya, pola pikir semacam ini hanya akan bergerak ketika sudah ada krisis, bukan ketika masih ada kesempatan untuk berinovasi.

Jika diteliti lebih dalam, cara berpikir ini menutup mata terhadap biaya peluang—nilai dari pilihan terbaik yang kita korbankan ketika kita memilih satu opsi daripada opsi lain. Fakta bahwa sesuatu belum rusak tidak otomatis berarti itu sudah optimal. Bisa jadi ada metode yang lebih baik, lebih efisien, atau lebih kreatif, tetapi karena terlanjur nyaman dengan yang sudah ada, orang enggan mencoba hal baru.

Dalam dunia bisnis dan teknologi, sikap seperti ini sangat berbahaya karena perubahan terjadi dengan cepat. Perusahaan yang terjebak dengan prinsip “kalau tidak rusak, jangan diperbaiki” biasanya akan tertinggal dan tergeser oleh pesaing yang justru selalu bertanya, “Bagaimana cara kita membuat ini lebih baik, meskipun sekarang terlihat baik-baik saja?”.

***

Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!

(naq/naq)
Komentar
0 Komentar TULIS KOMENTAR
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.