Celine Song Respon Kontroversi Film Materialists: "Broke Boy Propaganda" atau Kritik Kapitalisme?

Maura Valysha Carmelie | Beautynesia
Selasa, 26 Aug 2025 12:30 WIB
Lebih dari Sekadar Romansa di Layar Lebar
Lebih dari Sekadar Romansa di Layar Lebar/Foto: instagram.com/materialists

Beauties, siapa sangka film drama romantis bisa memicu debat panjang soal cinta, standar pasangan, bahkan kapitalisme? Itulah yang terjadi dengan Materialists (2025), karya terbaru sutradara Celine Song yang resmi rilis di Indonesia pada 20 Agustus 2025.

SPOILER ALERT! Sejak penayangannya, film ini langsung jadi sorotan karena ending-nya yang kontroversial. Tokoh utama Lucy memilih cinta dibandingkan kekayaan dan status sosial, sebuah keputusan manis tapi penuh perdebatan. 

Bagi sebagian penonton, pilihan Lucy dianggap mengirim pesan bahwa perempuan sebaiknya menurunkan standar, “settle” dengan pasangan yang kurang mapan, dan mengabaikan pentingnya stabilitas finansial. Dari sinilah lahir tuduhan bahwa Materialists hanyalah bentuk “broke boy propaganda.” Yuk, kita kupas bareng!

Dari Review Kocak ke Isu Serius:

Dari Review Kocak ke Isu Serius/Foto: letterboxd.com/film/materialists/

Celine Song sempat baca komentar di Letterboxd yang bilang, “not Celine promoting broke men in this economy.” Awalnya, kedengarannya lucu kan? Namun buat Celine, itu justru buat ia miris.

Dalam wawancara eksklusif bersama Refinery29, Celine Song akhirnya angkat bicara. Ia mengaku cukup kecewa dengan label "broke boy propaganda" yang dilekatkan ke filmnya. Menurut Song, framing semacam itu justru menunjukkan betapa masyarakat modern sudah terlalu melekat dengan cara pandang kapitalis dalam menilai hubungan. Ia menegaskan, tuduhan itu cenderung menyalahkan individu atas kondisi ekonominya, seolah kemiskinan hanyalah hasil pilihan pribadi, bukan dampak dari sistem sosial yang timpang.

Selain itu menurutnya, komentar itu juga menunjukkan betapa kaburnya pemahaman kita soal feminisme hari ini.

So much of feminism has been about anti-corporate and anti-capitalist, and of course it was always in the forefront of fighting classism,” kata Celine.

Artinya, feminisme seharusnya bukan hanya soal girlboss vibes atau naik kelas lewat uang dan status. Ada sejarah panjang tentang bagaimana feminisme juga berjuang melawan kapitalisme dan ketidakadilan kelas.

John, Si “Broke Man” yang Jadi Target Bullying Netizen

John, Si “Broke Man” yang Jadi Target Bullying Netizen/Foto: instagram.com/materialists

Salah satu hal yang buat Celine paling terganggu adalah cara orang membicarakan John yang diperankan oleh Chris Evans, sosok pria sederhana yang jadi pilihan Lucy. Banyak komentar yang menyepelekan John dengan label broke man atau broke boy. Padahal, menurut Celine, John adalah karakter yang tulus mencintai Lucy dan ditampilkan dengan indah. 

“It is very brutal. I find it very cruel to talk about John... in such cruel terms as broke boy or broke man,” ujarnya. 

Nah, di sinilah masalahnya. Ketika seseorang miskin, masyarakat cenderung menganggap itu salah dia sendiri. Padahal, kata Celine tegas, kemiskinan bukan kesalahan orang miskin.

Cinta di Tengah Bayang-Bayang Kapitalisme

Cinta di Tengah Bayang-Bayang Kapitalisme/Foto: instagram.com/materialists

Kalau ditarik lebih jauh, isu yang diangkat Song sebenarnya melampaui sekadar siapa yang dipilih Lucy di akhir cerita. Materialists justru membuka ruang diskusi tentang bagaimana kelas sosial dan kapitalisme memengaruhi cara kita memandang cinta.

Beauties, pernah sadar nggak kalau standar kita dalam memilih pasangan sering dipengaruhi kapitalisme? Misalnya, kalau pasangan nggak mapan, langsung dicap “nggak layak” atau “menurunkan standar”.

Celine menilai pola pikir ini berbahaya. Sebab secara tidak langsung, kita ikut menginternalisasi ide "kaya = baik, miskin = buruk", yang sebenarnya ditanamkan oleh sistem sosial-ekonomi yang timpang. “That is a very troubling result of the way rich people have instilled in us the idea that if you’re poor, it’s your fault,” jelasnya. Film ini seolah menampar kita dengan kenyataan pahit bahwa bahkan urusan hati pun tak luput dari logika pasar.

Jadi, kalau Lucy memilih cinta dibanding uang, apakah itu berarti dia “menurunkan standar”? Atau justru menantang standar kapitalistik yang sering kita terima mentah-mentah?

Lebih dari Sekadar Romansa di Layar Lebar

Lebih dari Sekadar Romansa di Layar Lebar/Foto: instagram.com/materialists

Beauties, yang menarik dari Materialists adalah bagaimana sebuah film fiksi bisa memicu refleksi nyata tentang hidup sehari-hari. "Cinta vs Uang", siapa yang menang? Apakah memilih cinta tanpa harta terdengar naïf? Atau justru itu bentuk perlawanan terhadap sistem kapitalisme yang sering membuat kita percaya bahwa nilai seseorang ditentukan oleh isi dompetnya?

Film garapan Celine Song ini akhirnya terasa lebih dari sekadar drama romantis; ia adalah provokasi halus yang memaksa kita mempertanyakan standar dalam hubungan: apakah keputusan kita murni pilihan personal, atau sebenarnya hasil konstruksi sosial-ekonomi yang kita telan mentah-mentah?

Feminisme Bukan Tentang Uang Semata

Feminisme Bukan Tentang Uang Semata/Foto: instagram.com/a24

Banyak yang menganggap ending Materialists melemahkan perempuan karena Lucy “mengabaikan” stabilitas finansial. Namun Beauties, di sinilah letak poin penting yang ingin diangkat Song yaitu feminisme tidak bisa direduksi hanya pada siapa punya lebih banyak uang.

Melalui film ini, Song memunculkan diskusi baru bahwa feminisme juga harus menyinggung soal kelas sosial dan kemiskinan. Kalau perempuan hanya dianggap berdaya ketika punya pasangan kaya, bukankah itu juga bentuk pengekangan baru?

Dengan kata lain, Materialists bukan hanya soal cinta atau uang melainkan soal bagaimana kapitalisme secara halus membentuk cara kita melihat hubungan, bahkan menentukan siapa yang dianggap “layak” untuk dicintai.

Jadi, Apa yang Bisa Kita Pelajari?

Jadi, Apa yang Bisa Kita Pelajari?/Foto: instagram.com/a24

Film Materialists dan pernyataan Celine Song mengajak kita untuk refleksi:

  1. Apakah standar “pasangan ideal” kita benar-benar pilihan pribadi, atau hasil konstruksi kapitalisme?
  2. Apakah kita tanpa sadar ikut menyalahkan orang miskin atas keadaan mereka?
  3. Apakah feminisme kita sudah cukup inklusif, atau hanya berhenti di level glamour empowerment?

Beauties, cinta memang tidak bisa dimakan. Tapi apakah uang benar-benar bisa jadi satu-satunya ukuran cinta dan kebahagiaan? Pertanyaan ini yang coba dilempar Celine lewat Materialists. Pada akhirnya, Materialists berhasil melakukan sesuatu yang jarang dicapai film romantis biasa yaitu perdebatan serius soal cinta, uang, dan kapitalisme.

Jadi, menurut kamu bagaimana, Beauties? Apakah Lucy salah memilih cinta dibanding stabilitas finansial, atau justru itu bentuk pemberontakan manis terhadap kapitalisme dalam percintaan?

***

Ingin jadi salah satu pembaca yang dapat ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!

(dmh/dmh)
Komentar
0 Komentar TULIS KOMENTAR
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.