Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) menjadi undang-undang pada Kamis (20/3). Keputusan ini diambil dalam rapat paripurna yang dihadiri oleh 239 anggota dewan. Sidang tersebut dipimpin oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani, didampingi oleh Wakil Ketua DPR lainnya, seperti Sufmi Dasco Ahmad, Saan Mustopa, dan Adies Kadir.
Namun, pengesahan ini memicu reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat, tak terkecuali kelompok perempuan. Sejak sehari sebelum pengesahan, aksi demonstrasi berlangsung di berbagai daerah. Media sosial juga ramai dengan tagar #TolakRUUTNI yang menjadi trending topic. Banyak pihak menilai revisi UU ini tidak memberikan manfaat bagi profesionalisme TNI dan justru berpotensi membawa kembali dwifungsi ABRI. Bahkan, muncul petisi menolak pasal-pasal yang dianggap bermasalah dalam revisi UU TNI.
Sebelumnya, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) ikut bersuara, meminta DPR untuk menunda pengesahan RUU TNI. Mereka menilai proses legislasi harus lebih inklusif dan melibatkan partisipasi publik, khususnya dalam agenda Reformasi Sektor Keamanan (RSK) sebagaimana tertulis dalam situs resmi Komnas Perempuan. Sejak 1998, reformasi ini bertujuan memastikan TNI tetap profesional dan tidak terlibat dalam urusan sipil.
Lantas, mengapa sejumlah aktivis perempuan menolak keras RUU TNI? Berikut beberapa alasan utama yang perlu kamu ketahui!