Ini Alasan Aktivis Perempuan Tolak Keras RUU TNI, Hak Perempuan Dinilai Terancam

Florence Febriani Susanto | Beautynesia
Rabu, 26 Mar 2025 06:30 WIB
Pekerja Perempuan Terancam Haknya
Pekerja Perempuan Terancam Haknya/Foto: Pixabay

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) menjadi undang-undang pada Kamis (20/3). Keputusan ini diambil dalam rapat paripurna yang dihadiri oleh 239 anggota dewan. Sidang tersebut dipimpin oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani, didampingi oleh Wakil Ketua DPR lainnya, seperti Sufmi Dasco Ahmad, Saan Mustopa, dan Adies Kadir.

Namun, pengesahan ini memicu reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat, tak terkecuali kelompok perempuan. Sejak sehari sebelum pengesahan, aksi demonstrasi berlangsung di berbagai daerah. Media sosial juga ramai dengan tagar #TolakRUUTNI yang menjadi trending topic. Banyak pihak menilai revisi UU ini tidak memberikan manfaat bagi profesionalisme TNI dan justru berpotensi membawa kembali dwifungsi ABRI. Bahkan, muncul petisi menolak pasal-pasal yang dianggap bermasalah dalam revisi UU TNI.

Sebelumnya, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) ikut bersuara, meminta DPR untuk menunda pengesahan RUU TNI. Mereka menilai proses legislasi harus lebih inklusif dan melibatkan partisipasi publik, khususnya dalam agenda Reformasi Sektor Keamanan (RSK) sebagaimana tertulis dalam situs resmi Komnas Perempuan. Sejak 1998, reformasi ini bertujuan memastikan TNI tetap profesional dan tidak terlibat dalam urusan sipil.

Lantas, mengapa sejumlah aktivis perempuan menolak keras RUU TNI? Berikut beberapa alasan utama yang perlu kamu ketahui!

Perempuan Dipaksa Menerima Kodrat Tradisional

Perempuan Dipaksa Menerima Kodrat Tradisional/Foto: Freepik

RUU TNI dinilai dapat memperkuat konstruksi perempuan sebagai pelengkap pria. Perempuan dianggap memiliki peran domestik, bukan sebagai individu mandiri yang berhak menentukan jalannya sendiri. Hal ini berpotensi membatasi kebebasan perempuan dalam berkarier dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial.

Negara Mengontrol Tubuh dan Privasi Perempuan

Negara Mengontrol Tubuh dan Privasi Perempuan/Foto: Freepik

Dalam sejarahnya, negara pernah melakukan intervensi terhadap tubuh perempuan, salah satunya melalui program Keluarga Berencana (KB). Militer pernah dilibatkan dalam pengawasan alat kontrasepsi tanpa persetujuan perempuan. Jika RUU TNI memberi ruang lebih besar bagi militer dalam kehidupan sipil, ada kekhawatiran intervensi serupa bisa terulang.

Kekerasan terhadap Perempuan Sulit Diproses Hukum

Kekerasan terhadap Perempuan Sulit Diproses Hukum/Foto: Pixabay

Menurut Komnas Perempuan, dalam rentang 2020-2024, ada 190 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh prajurit TNI. Sayangnya, kasus-kasus ini masih diproses di peradilan militer, bukan peradilan umum. Akibatnya, korban sering mengalami hambatan dalam mencari keadilan.

[Gambas:Instagram]



Sejarah Kelam Perempuan di Bawah Militerisme

Sejarah Kelam Perempuan di Bawah Militerisme/Foto: Pixabay

Pada masa lalu, TNI memiliki peran dalam aksi represif terhadap organisasi perempuan. Salah satu contohnya adalah Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), yang dibubarkan dengan kekerasan pada 1965. Selain itu, buruh perempuan Marsinah juga menjadi korban pelanggaran HAM yang melibatkan aparat sebagaimana dilansir dari CNN Indonesia.

Indoktrinasi Peran Ibu dalam Masyarakat

Indoktrinasi Peran Ibu dalam Masyarakat/Foto: Pexels

RUU TNI dinilai bisa memperpanjang indoktrinasi ibuisme dalam kehidupan perempuan. Perempuan dikonstruksikan sebagai sosok yang tugas utamanya mengurus rumah tangga dan mendukung suami. Ini mempersempit ruang perempuan dalam dunia kerja dan politik.

Pekerja Perempuan Terancam Haknya

Pekerja Perempuan Terancam Haknya/Foto: Pixabay

Dilansir dari detikcom, di Bali, para perempuan menyuarakan kekhawatiran mereka terhadap revisi UU TNI. Mereka menuntut perlindungan lebih terhadap hak pekerja perempuan, termasuk upah yang setara dan perlindungan dari PHK sepihak. Jika RUU ini disahkan tanpa mempertimbangkan hak perempuan, maka pekerja perempuan semakin rentan mengalami ketidakadilan.

Pengesahan RUU TNI bukan hanya soal kebijakan militer, tetapi juga berdampak pada hak-hak perempuan. Banyak pihak mengkhawatirkan kembalinya peran militer dalam urusan sipil bisa membatasi kebebasan dan keamanan perempuan.

Maka, wajar jika banyak perempuan menolak RUU TNI. Reformasi yang sudah diperjuangkan sejak 1998 seharusnya tetap dijaga, bukan mundur ke belakang. Bagaimana menurut kamu, Beauties?

***

Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!

(naq/naq)
Komentar
0 Komentar TULIS KOMENTAR
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.