Kenali Tanda The Four Horsemen dalam Hubungan yang Berisiko Mengakibatkan Malapetaka
Setiap hubungan memang tidak akan ada yang terbebas dari permasalahan. Pasti akan selalu ada tantangan yang harus dihadapi, mereka yang kuat akan saling bertahan, sedang yang tidak akan memilih perpisahan.
Pernah dengar tentang The Four Horsemen of the Apocalypse? Dilansir dari Britannica, The Four Horsemen of the Apocalypse adalah empat tokoh yang muncul dalam Kitab Wahyu yang merupakan kitab terakhir dari Perjanjian Baru. Empat penunggang kuda ini mewakili aspek yang berbeda: conquest (penaklukan), war (peperangan), famine (kelaparan), dan death (kematian).
Kiasan The Four Horsemen of the Apocalypse ini kemudian digunakan oleh John Mordecai Gottman untuk mendefinisikan empat gaya komunikasi saat meresolusi konflik yang kemungkinan dapat memprediksikan berakhirnya sebuah hubungan. Lalu, apa saja, sih, The Four Horsemen of the Apocalypse dalam hubungan?
1. Criticism
![]() The Four Horsemen, Criticism/Foto: Freepik/stefamerpik |
Dilansir dari The Gottman Institute, yang pertama adalah criticism. Saat mengkritik, biasanya kita jadi cenderung menyerang kepribadian pasangan.
Hal yang menjadi fokus utamanya adalah mempelajari cara mengutarakan sebuah keluhan dan kritikan. Coba bedakan dua kalimat ini:
“Kamu tadi kenapa nggak kabarin aku, sih, pas udah sampe rumah? Kan aku nya jadi khawatir.”
“Kamu tuh emang nggak pernah ngertiin aku, ya? Yang kamu pikirin cuma diri kamu sendiri, kamu emang egois banget!”
See the difference? Pada kalimat pertama lebih menekankan kekhawatiran saat pasangan tidak memberikan kabar, sementara untuk kalimat kedua fokusnya justru jadi menyerang kepada karakter pasangan dengan menyebutnya egois.
Saat kita menyerang karakter pasangan, kebiasaan ini bisa membuatnya merasa terluka. Dan jika dilakukan berulang, bisa mengarahkan pada permasalahan yang lebih besar, Beauties.
Tidak mau, kan, kalau ada tanda Horsemen lainnya yang menghantui hubunganmu?
2. Contempt
![]() The Four Horsemen, Contempt/Foto: Freepik/shurkin_son |
Kemudian masih dari sumber yang sama, yang kedua adalah contempt. Nah, di tahap ini kita bukan lagi mengkritik pasangan dengan menyerang karakternya, tetapi sudah menempatkan diri kalau kita berada di posisi superior dan merendahkan pasangan. Gaya kita berkomunikasi pun biasanya berisikan sarkasme, menunjukkan bahasa tubuh yang menjengkelkan, memperlakukan satu sama lain tanpa rasa hormat. Termasuk lebih fokus dengan gadget saat mengobrol dengan pasangan.
Misalnya kamu berkata, “Selama ini yang selalu berusaha dan bersusah payah untuk hubungan kita itu cuma aku. Kayanya selama ini aku nggak pernah ngeluh, deh. Sementara kamu? Kamu ngapain? Baru segitu aja udah heboh banget. Nggak usah ngerasa kamu yang paling cape, paling usaha, ya.”
Contempt dianggap jadi salah satu penyebab utama dalam perceraian, lho, Beauties.
3. Defensiveness
![]() The Four Horsemen, Defensiveness/Foto: Freepik/diana.grytsku |
Lalu, yang ketiga adalah defensiveness. Saat Beauties melakukan kesalahan dan pasangan melayangkan tuduhan, apa yang Beauties lakukan? Mendengarkan dengan bersikap tenang lalu meminta maaf atau langsung bersikap defensif?
Pasangan: “Kamu lupa beliin cemilan favoritku, ya?”
Kamu: “Kamu tau sendiri, kan, hari ini tuh kerjaan aku padet banget, meeting sampe 3 kali. Kalau emang kamu mau banget, kenapa, sih, kamu nggak beli sendiri aja?”
Dengan respons seperti itu, kamu jadi bertindak seolah kamulah si korban, meskipun pada kenyataannya kamu yang salah. Membalikkan kesalahanmu pada pasangan bisa berakibat fatal untuk hubunganmu, Beauties. Padahal, kita bisa merespons dengan kalimat yang tidak defensif dengan mengakui kesalahan, “Ya ampun, iya aku lupa banget tadi. Besok aku belikan, ya.”
4. Stonewalling
![]() The Four Horsemen, Defensiveness/Foto: Freepik/drobotdean |
The Four Horsemen of the Apocalypse yang terakhir adalah stonewalling. Fase ini terjadi karena pasangan sudah merasa ada di ambang batas kemampuannya untuk memaklumi. Pasangan bisa saja berpura-pura sibuk, menjauh, atau tidak merespons sama sekali untuk menghindari konflik.
Dan fase stonewalling sulit untuk dihentikan karena pasangan sudah merasa overwhelmed dengan kejadian-kejadian sebelumnya. Kalau kamu merasa berada di fase ini saat ada konflik dengan pasangan, sebaiknya meminta waktu untuk meredakan amarah dan mendiskusikannya kembali saat sama-sama dalam keadaan tenang.
“Boleh kita bicarakan lagi setelah aku merasa tenang? Kalau dibicarakan sekarang, jujur, nggak bisa, karena aku lagi merasa marah sekali.”
Ngeri banget, ya, Beauties. Meskipun memang konflik tidak terhindarkan, tapi, cara kita merespons adalah penentu bagaimana konflik itu akan terselesaikan. Berkali-kali memiliki konflik dengan pasangan bukan berarti akhir dari sebuah hubungan. Kita masih bisa menghindari kemungkinan terburuk, salah satunya dengan menyadari tanda-tanda The Four Horsemen dalam hubungan.
Saat ada konflik, apakah akan disikapi dengan tenang karena kita berpikiran bahwa hubungan kita lebih penting daripada kemarahan-kemarahan sesaat atau lebih memilih untuk menyalahkan, menuduh, dan merendahkan pasangan?
Let’s choose love over anger and selfishness.
Amor vincit omnia.



