Kontroversi Ronald Tannur Terpidana Pembunuhan Dapat Remisi, Publik Pertanyakan Keadilan

Riswinanti Pawestri Permatasari | Beautynesia
Jumat, 29 Aug 2025 18:15 WIB
Kenapa Kasus Ronald Tannur Dikaitkan dengan Femisida?
Ilustrasi Femisida/Foto: Freepik.com/pvproductions

Sudah dua tahun berlalu Dini Sera Afriyanti meninggal dunia akibat penganiayaan oleh kekasihnya, Gregorius Ronald Tannur. Kasus ini hampir terlupakan, hingga sebuah kabar mengejutkan kembali muncul. Ronald Tannur, yang terbukti telah melakukan femisida, baru-baru ini justru mendapat remisi selama 90 hari. “Hadiah” ini diberikan tepat pada peringatan HUT ke-80 Republik Indonesia lalu.

Langkah ini jelas mengejutkan banyak pihak, karena sebelumnya dia sempat divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Surabaya, walaupun kemudian keputusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Melansir detikcom, saat itu, Ronald Tannur kemudian dijatuhi hukuman lima tahun penjara atas kasus penganiayaan yang menyebabkan kematian Dini Sera Afrianti.

Faktanya, kasus ini tidak hanya mengundang perhatian atas aspek hukum, tetapi juga menyorot isu struktural yang lebih dalam, yaitu dugaan adanya unsur femisida. Melansir UN Women, femisida adalah bentuk paling ekstrem dari kekerasan berbasis gender yang memerlukan perhatian serius karena sudah menyangkut nyawa perempuan.

Lebih lanjut, mari kita telusuri seluk-beluk kasus ini dan unsur-unsur dan penegakan hukum terkait femisida yang menurut publik justru diabaikan.

Latar Belakang Kasus

Cuplikan Rekaman saat Kejadian/Foto: CCTV Blackhole KTV Club via Detikcom
Cuplikan Rekaman saat Kejadian/Foto: CCTV Blackhole KTV Club via Detikcom

Melansir Detikcom, kasus ini bermula pada 3 Oktober 2023, ketika Gregorius Ronald Tannur mengajak kekasihnya, Dini Sera Afrianti (29 tahun), makan malam di G-Walk Citraland, Surabaya. Hubungan keduanya diketahui terjalin sejak sekitar Mei 2023.

Pada 4 Oktober 2023 sekitar pukul 00.10 WIB, di dekat lift menuju parkiran basement, mereka terlibat cekcok. Ronald menampar Dini dan memecahkan botol tequila yang dibawanya. Peristiwa tragis terjadi setelah itu. Ronald menindih Dini menggunakan mobil dan menyeretnya beberapa meter di lantai basement, menyebabkan luka serius. Meskipun sempat dilarikan ke rumah sakit, nyawanya tidak tertolong

Setelahnya, polisi menetapkan Ronald sebagai tersangka pada 6 Oktober 2023, menjeratnya dengan Pasal 351 dan 359 KUHP mengenai penganiayaan, kemudian ditingkatkan ke Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan.

Namun, pada 2024, Pengadilan Negeri Surabaya memutuskan membebaskan Ronald. Setelahnya, terbukti bahwa vonis tersebut didasarkan pada suap kepada tiga hakim, yang kemudian dijatuhi hukuman di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Menindaklanjuti hal itu, Mahkamah Agung membatalkan putusan bebas dan menjatuhkan hukuman penjara selama lima tahun pada tanggal 22 Oktober 2024. Eksekusi pun dilaksanakan pada 27 Oktober 2024, dan Ronald mulai menjalani masa tahanan.

Vonis Bebas Batal, Kini Muncul Remisi untuk Ronald Tannur

Gregorius Ronald Tannur/Foto: CNN Indonesia

Melansir The Guardian, remisi merupakan keringanan hukuman untuk narapidana yang berkelakuan baik dan mengikuti program pembinaan. Melansir detikcom, Ronald Tannur resmi mendapat remisi selama 90 hari pada 17 Agustus 2025 lalu. Menurut Kalapas Lapas Salemba, Mohamad Fadil, Ronald memenuhi syarat sehingga diberi remisi selama 90 hari bersama 1.554 narapidana lainnya.

Namun, kontroversi muncul karena kasus Ronald berkaitan langsung dengan femisida, korupsi peradilan, dan pembalikan vonis yang sebelumnya sempat mengguncang sistem peradilan. Publik mempertanyakan apakah remisi semacam ini mencerminkan keadilan atau malah merendahkan rasa keadilan bagi korban dan keluarganya.

Respon Pihak Dini Sera

Gregorius Ronald Tannur/Foto: Detikcom
Gregorius Ronald Tannur/Foto: Detikcom

Alfika Rahma, adik korban, menyatakan pada detikcom bahwa keluarga tidak terkejut dengan pemberian remisi tersebut. Ia mengungkapkan kekecewaannya terhadap sistem hukum dan menegaskan bahwa hingga saat ini kematian Dini Sera Afriyanti masih belum mendapat keadilan dari hukum.

Sementara itu, kuasa hukum keluarga korban, Dimas Yemahura, menyoroti ketiadaan restitusi serta ketidakadilan struktural yang dialami keluarga.

"Kalau saya pribadi sebagai kuasa hukum keluarga Dini merasa prihatin dengan remisi tersebut, mengingat bagaimana hukum di Indonesia dilecehkan oleh perbuatannya, terlebih kalau dia dapat remisi, sekarang saja keluarga tidak mendapat restitusi apalagi keadilan? Apakah ini namanya negara hukum," kata Dimas, melansir detikcom.

"Apakah ini yang dinamakan negara merdeka kalau seorang pembunuh diremisi dan yang dibunuh dibiarkan nasibnya. Apakah ini namanya negara hukum?" lanjutnya.

Kenapa Kasus Ronald Tannur Dikaitkan dengan Femisida?

Ilustrasi Femisida/Foto: Freepik.com/pvproductions

Pemberian remisi ini jelas memicu respon keras dari publik, terutama karena hal ini dianggap melanggar prinsip kesetaraan hukum terhadap perempuan. Ronald Tannur dianggap telah melakukan pelanggaran HAM berat atas femisida yang dilakukannya pada Dini Sera.

Sebagai informasi, UN Women menerjemahkan femisida sebagai aksi pembunuhan terhadap perempuan akibat motivasi berbasis gender. Komnas Perempuan, selaku pihak yang mengawal kasus ini sejak awal, menilai pembunuhan ini bukan sekadar pembunuhan biasa, melainkan bagian dari eskalasi kekerasan yang dilakukan karena rasa “tidak suka” terhadap perempuan, dalam hal ini Dini Sera. Motifnya sering terkait cemburu, dominasi, atau penolakan terhadap perempuan yang tidak patuh pada norma patriarki.

Ngerinya Fenonema Femisida dalam Masyarakat

Ilustrasi Femisida/Foto: Freepik.com
Ilustrasi Femisida/Foto: Freepik.com

Menurut laporan UN Women dan UNODC, sekitar 51.100 perempuan dan anak perempuan dibunuh oleh pasangan atau anggota keluarga pada 2023, di mana rata-rata 140 nyawa hilang setiap hari. Mayoritas kejadian berlangsung di rumah, tempat yang seharusnya aman.

Sementara itu, Menurut Komnas Perempuan, berdasarkan pantauan media online melalui sistem CATAHU, rincian kasusnya :

  • 95 kasus indikatif femisida pada 2020
  • 237 kasus pada 2021
  • 307 kasus pada 2022
  • 159 kasus pada 2023

Jenis femisida intim (oleh suami, mantan suami, pacar, mantan pacar, atau pasangan kohabitasi) paling dominan, mencapai sekitar 67 persen dari seluruh kasus dan dianggap sebagai bentuk risiko tertinggi bagi perempuan.

Komnas Perempuan memandang perlu dibentuk sistem femisida watch oleh pemerintah untuk mendokumentasikan kasus serta membangun mekanisme pencegahan dan pemulihan bagi keluarga korban.

Terlepas dari kontroversi ini, kasus Ronald Tannur membuka tabir kompleksitas sistem hukum yang diwarnai oleh femisida, korupsi, dan dinamika keadilan. Femisida bukanlah fenomena individual, melainkan cerminan sistemik yang menuntut perhatian mendalam dan respons kebijakan yang peka gender. Dalam konteks ini, kontroversi remisi mempertegas kebutuhan akan keadilan yang tidak hanya prosedural, tetapi juga substantif, dengan korban dan keluarga menjadi pusat perhatian, bukan disisihkan.

***

Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!

(naq/naq)
Komentar
0 Komentar TULIS KOMENTAR
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.

RELATED ARTICLE