Sudah dua tahun berlalu Dini Sera Afriyanti meninggal dunia akibat penganiayaan oleh kekasihnya, Gregorius Ronald Tannur. Kasus ini hampir terlupakan, hingga sebuah kabar mengejutkan kembali muncul. Ronald Tannur, yang terbukti telah melakukan femisida, baru-baru ini justru mendapat remisi selama 90 hari. “Hadiah” ini diberikan tepat pada peringatan HUT ke-80 Republik Indonesia lalu.
Langkah ini jelas mengejutkan banyak pihak, karena sebelumnya dia sempat divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Surabaya, walaupun kemudian keputusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Melansir detikcom, saat itu, Ronald Tannur kemudian dijatuhi hukuman lima tahun penjara atas kasus penganiayaan yang menyebabkan kematian Dini Sera Afrianti.
Faktanya, kasus ini tidak hanya mengundang perhatian atas aspek hukum, tetapi juga menyorot isu struktural yang lebih dalam, yaitu dugaan adanya unsur femisida. Melansir UN Women, femisida adalah bentuk paling ekstrem dari kekerasan berbasis gender yang memerlukan perhatian serius karena sudah menyangkut nyawa perempuan.
Lebih lanjut, mari kita telusuri seluk-beluk kasus ini dan unsur-unsur dan penegakan hukum terkait femisida yang menurut publik justru diabaikan.
Latar Belakang Kasus
Cuplikan Rekaman saat Kejadian/Foto: CCTV Blackhole KTV Club via Detikcom |
Melansir Detikcom, kasus ini bermula pada 3 Oktober 2023, ketika Gregorius Ronald Tannur mengajak kekasihnya, Dini Sera Afrianti (29 tahun), makan malam di G-Walk Citraland, Surabaya. Hubungan keduanya diketahui terjalin sejak sekitar Mei 2023.
Pada 4 Oktober 2023 sekitar pukul 00.10 WIB, di dekat lift menuju parkiran basement, mereka terlibat cekcok. Ronald menampar Dini dan memecahkan botol tequila yang dibawanya. Peristiwa tragis terjadi setelah itu. Ronald menindih Dini menggunakan mobil dan menyeretnya beberapa meter di lantai basement, menyebabkan luka serius. Meskipun sempat dilarikan ke rumah sakit, nyawanya tidak tertolong
Setelahnya, polisi menetapkan Ronald sebagai tersangka pada 6 Oktober 2023, menjeratnya dengan Pasal 351 dan 359 KUHP mengenai penganiayaan, kemudian ditingkatkan ke Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan.
Namun, pada 2024, Pengadilan Negeri Surabaya memutuskan membebaskan Ronald. Setelahnya, terbukti bahwa vonis tersebut didasarkan pada suap kepada tiga hakim, yang kemudian dijatuhi hukuman di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Menindaklanjuti hal itu, Mahkamah Agung membatalkan putusan bebas dan menjatuhkan hukuman penjara selama lima tahun pada tanggal 22 Oktober 2024. Eksekusi pun dilaksanakan pada 27 Oktober 2024, dan Ronald mulai menjalani masa tahanan.