Pemerintah Denmark Akan Hapus Pajak Buku Demi Atasi Krisis Membaca di Kalangan Anak Muda
Membaca sering dianggap sebagai kegiatan sederhana, tapi dampaknya begitu besar untuk perkembangan diri. Di tengah kesibukan sehari-hari, membaca bisa menjadi cara terbaik untuk merawat pikiran, menambah wawasan, sekaligus memberi ruang untuk menenangkan diri. Namun, akhir-akhir ini beberapa negara mengalami krisis membaca yang membuat pemerintah melakukan tindakan untuk mengatasi hal tersebut.
Seperti yang dialami oleh Denmark, pemerintah negara ini telah mengumumkan akan menghapus pajak penjualan buku sebesar 25 persen, dengan tujuan untuk memerangi krisis membaca. Seperti yang dilansir dari BBC, pajak tersebut merupakan salah satu pajak tertinggi di Eropa. Tentunya ini sangat kontras dengan negara-negara seperti Inggris, yang tidak mengenakan pajak penjualan atas pembelian buku.
Menurut Data OECD Menimbulkan Kekhawatiran di Denmark
Menurut Data OECD Menimbulkan Kekhawatiran di Denmark/Foto: Freepik.com/ Freepik
Menteri Kebudayaan Denmark, Jacob Engle-Schimdt berharap bahwa penghapusan pajak ini akan menyebabkan lebih banyak buku terjual. Langkah ini diperkirakan akan menelan biaya sekitar 330 juta kroner (sekitar Rp525 miliar) per tahun.
"Ini adalah sesuatu yang saya, sebagai menteri kebudayaan, telah perjuangkan, karena saya percaya bahwa kita harus mempertaruhkan segalanya jika kita ingin mengakhiri krisis membaca yang sayangnya telah menyebar dalam beberapa tahun terakhir," kata Engel-Schmidt kepada kantor berita Ritzau, dilansir dari Euro News.
Berdasarkan data dari Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), 24 persen anak muda berusia 15 tahun tidak dapat memahami teks sederhana. Survei juga menunjukkan menurunnya tingkat membaca di kalangan remaja, yang oleh para ahli dikaitkan dengan rentang perhatian yang lebih pendek dan banyaknya gangguan dalam kehidupan digital.
Dilansir dari The Guardian, sebanyak 8,3 juta buku terjual di toko dan daring di Denmark pada tahun 2023, menurut kantor statistik nasional. Populasi negara ini hanya lebih dari 6 juta jiwa.
Genre terpopuler adalah buku untuk anak-anak, buku bergambar, dan buku aktivitas, sementara genre terpopuler kedua adalah novel kriminal, thriller, dan suspense.
Jika harga tidak turun akibat kebijakan tersebut, Engel-Schmidt mengatakan ia akan mempertimbangkan kembali apakah langkah tersebut tepat.
"Tentu saja saya akan memantau perkembangan harga. Jika ternyata penghapusan PPN hanya berarti keuntungan penerbit meningkat dan harga tidak turun, maka kita harus mempertimbangkan apakah langkah tersebut tepat," ujarnya.
Lalu, Bagaimana dengan Indonesia?
Literasi di Indonesia/Foto: Freepik.com/Freepik
Memiliki minat membaca adalah jendela pemahaman dan kreativitas yang perlu kita miliki. Meski terlihat sederhana, kebiasaan membaca membawa dampak besar bagi diri dan lingkungan sekitar.
Terdapat banyak pendapat para ahli tentang definisi literasi. Secara umum, literasi adalah kemampuan berbahasa mencakup kemampuan dalam menulis, berbicara, menyimak, dan kemampuan berpikir lainnya. Literasi seseorang akan terus meningkat sejalan dengan banyaknya membaca buku. Oleh karena itu, sejak kecil pun orangtua sering kali menyuruh anaknya rajin membaca buku.Â
Bahkan, saat ini pemerintah maupun organisasi nonprofit gencar melakukan kampanyekan gerakan literasi. Hal ini bertujuan agar masyarakat, terutama generasi muda, giat membaca buku untuk meningkatkan wawasan. Dampak secara luasnya, jika masyarakat seluruhnya rajin membaca buku, akan meningkatkan kualitas SDM di negara tersebut. Meningkatnya kualitas SDM akan meningkatkan nilai upah kerja masyakarakat yang secara tidak langsung juga meningkatkan taraf hidup masyarakat menjadi lebih baik.
Rasanya kita semua menyadari bahwa tingkat literasi di Indonesia masih perlu ditingkatkan. Menurut dataindonesia.id, dari skala 1-100, Tingkat Kegemaran Membaca (TGM) masyarakat Indonesia memilik skor 63,9 poin pada 2022. Skor tersebut meningkat 7,4 persen dari tahun sebelumnya (2021) yaitu sebesar 59,52 poin, seperti yang dilansir dari DJP.Â
Bagaimana Pajak Buku di Indonesia?
Pajak di Indonesia/Foto: Freepik.com/ Lifeforstock
Pada dasarnya, buku termasuk objek pajak pertambahan nilai atau PPN. Hal ini karena undang-undang PPN tidak memasukkan buku ke dalam kelompok barang tertentu yang tidak dikenai PPN sebagaimana diatur dalam pasal 4 undang-undang PPN. Dengan demikian setiap membeli buku, konsumen juga akan membayar PPN sebesar 11% dari harga buku.Â
Menurut laporan International Publishers Association (IPA) dan Federation of European Publishers (FEP) dalam The IPA-FEP Annual Global Report 2018, terdapat 32 dari 134 negara yang memiliki tarif PPN atas buku cetak sama dengan tarif PPN standar, di antaranya yaitu Australia, Jepang, dan Rusia. Sementara itu, terdapat 53 negara yang tidak mengenakan PPN atas buku cetak, misalnya negara Malaysia, India, Korea Selatan, dan Inggris.Â
Melansir dari DJP, dibandingkan dengan negara-negara tetangga, tarif PPN atas buku di Indonesia tergolong tinggi. Malaysia, Thailand, dan Filipina tidak menerapkan PPN atas buku cetak dan buku elektronik, sementara Singapura menerapkan PPN dengan tarif 8% dan Vietnam menerapkan PPN dengan tarif 5%.
Sayangnya, Indonesia masih belum dapat menerapkan tarif 0% atau pembebasan PPN untuk semua jenis buku. Pembebasan PPN hanya berlaku untuk buku-buku tertentu. Padahal ilmu pengetahuan tidak hanya didapatkan dari buku-buku pelajaran umum saja, tetapi juga bisa didapatkan dari buku fiksi maupun nonfiksi, baik yang ditunjukkan secara tersurat maupun tersirat.
Bagaimana menurutmu, Beauties?
***
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!