Refleksi Hari Guru: Memahami Peran dan Tantangan Guru di Era Pendidikan Modern dari Galih Sulistyaningra
Sebagaimana yang kita ketahui bersama, 25 November setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Guru Nasional sekaligus memperingati lahirnya organisasi PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia). Peringatan Hari Guru Nasional sendiri ditujukan untuk menghormati sekaligus memberikan apresiasi kepada salah satu profesi mulia yang sangat berperan strategis dalam dunia Pendidikan. Seyogianya, guru tidak hanya berupaya untuk mengajarkan ilmunya, tetapi juga mendidik anak-anak muridnya.
Saat ini, profesi guru kian banyak diperbincangkan, terlebih setelah banyaknya influencer edukasi yang begitu concern dan menunjukkan kepeduliannya terhadap pendidikan di Indonesia. Galih Sulistyaningra salah satunya. Galih merupakan lulusan S2 dari University College London jurusan Education Planning, Economics, and International Development.
Sebelumnya, ia juga telah menamatkan pendidikan S1 nya di Universitas Negeri Jakarta pada jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Galih yang saat ini menjadi guru di sekolah dasar negeri di Jakarta kerap membagikan konten-konten edukatif tentang pendidikan. Termasuk di antaranya bagaimana bertindak sebagai guru yang dapat memfasilitasi peserta didik untuk percaya diri dalam belajar dan membangkitkan motivasi intrinsik siswa saat belajar di kelas.
![]() Podcast/ Foto: Youtube.com/malakaproject |
Dalam sebuah podcast di channel Youtube Malaka Project, Galih Sulistyaningra sempat diundang dan berbincang bersama influencer edukasi lainnya yaitu Jerome Polin. Perbincangan keduanya begitu menarik dan sangat fokus dalam membahas dunia pendidikan di Indonesia, termasuk guru. Dalam perbincangannya, Galih sempat menyebutkan bahwa ia memiliki mimpi besar untuk menjadi seorang pembuat kebijakan di sektor pendidikan.
Namun menurutnya, sebelum itu menjadi guru adalah kendaraan yang membantu mengantarkannya ke sana karena memberi kesempatan untuk melihat gambaran yang lebih komprehensif tentang sistem pendidikan. Dalam podcast tersebut pula, ada banyak insight penting yang disampaikan oleh galih terkait dengan peran dan tantangan yang dihadapi guru. Simak penjelasan selengkapnya di bawah ini.
Guru Sebagai Penerjemah Kebijakan dan Kurikulum
Galih Sulistyaningra/ Foto: Youtube.com/lpdpri
Dalam sebuah sistem pendidikan, kebijakan dan kurikulum adalah elemen penting yang akan menentukan arah pendidikan. Ya, seperti yang kita ketahui dan rasakan bersama, kurikulum pendidikan di Indonesia memang beberapa kali telah berganti. Pergantian ini selalu digadang-gadang untuk menghadirkan kurikulum bagi pendidikan di Indonesia.
Pemerintah dan pemangku kebijakan telah merancang sedemikian rupa sebuah kurikulum untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Namun di saat yang bersamaan, kita tidak boleh lupa bahwa salah satu eksekutor strategi di lapangan adalah guru. Guru adalah pihak langsung yang akan menerapkan kurikulum itu ketika ia mengajar di kelas. Tentu bisa terbayangkan bagaimana jika guru belum paham seutuhnya tentang kurikulum yang seharusnya ia terapkan?.
Hal ini pula lah yang dipertegas oleh Galih dalam perbincangannya di podcast Malaka Project tersebut. “aku merasa apa pun kebijakannya, bagaimanapun kurikulumnya, kalau yang men-deliver itu di kelas (guru) tidak paham caranya menerjemahkan itu (kurikulum) semua maka itu akan sia-sia,” ujar Galih.
Hal ini pula lah yang semakin memperkuat keinginan Galih menjadi seorang guru dan di sekolah negeri. Kemudian timbul pertanyaan, “mengapa harus sekolah negeri yang dipilih sebagai tempat mengajar oleh Galih?” menjawab hal ini, Galih melanjutkan “karena sekolah negeri itu merepresentasikan sebagian besar anak di Indonesia, itu nggak cuma datang dari kelompok yang elit aja tapi semuanya. Semua latar belakang anak-anak tuh ada”.
Membentuk Motivasi Internal pada Siswa
Galih Sulistyaningra/ Foto: Youtube.com/lpdpri
Tidak bisa dipungkiri bahwa pola pendidikan selama ini memang cenderung mengarah pada pembentukan motivasi siswa secara eksternal. Misalnya saja dengan adanya penghargaan dan juara.
Meskipun dianggap lumrah, hal ini nyatanya berpotensi membuat siswa kehilangan esensi belajar sebagai proses yang menyenangkan. Menurut Galih, hal terpenting yang perlu ditumbuhkan pada siswa adalah rasa kepemilikan terhadap belajar. Bagaimana caranya supaya siswa bisa merasa bahwa mereka butuh belajar dan belajar itu adalah kegiatan yang menyenangkan dan bukan sesuatu yang dipaksakan.
“Dari awal aku tuh pengin banget murid-murid aku tuh punya rasa kepemilikan terhadap belajar bahwa mereka belajar di kelas itu bukan semata-mata biar nilainya bagus tapi belajar itu ya karena mereka butuh gitu,” ujar Galih.
Membuat Siswa Merasa Didengar dan Dihargai
Siswa/ Foto: Freepik.com/freepik
Kenapa ini penting? Sebab, ketika siswa merasa didengar, mereka akan lebih termotivasi untuk belajar. Misalnya, dengan memberikan kesempatan menjawab tanpa takut salah dapat meningkatkan rasa percaya diri mereka.
Di samping itu, muncul pertanyaan berikutnya, “seperti apa sih seharusnya guru bersikap? Apakah guru harus sangat friendly atau sangat tegas?”. Terkait hal ini, bagi Galih tetap penting yang Namanya boundaries atau batasan.
“Aku enggak setuju kalau jadi guru itu harus yang kayak friendly banget atau tegas banget. Menurutku, di tengah-tengah, boundaries itu tetap harus ada kayak kita mesti tahu murid itu memperlakukan kita seperti apa, tapi di satu sisi kita juga perlu membuka diri ke murid-murid,” ujar Galih.
Pentingnya Stabilitas Guru
Stabilitas guru/ Foto: Freepik.com/stockking
Guru-guru di Indonesia hingga saat ini masih menghadapi tekanan yang besar, baik dari sisi pekerjaan maupun finansial. Bukan sebuah rahasia lagi, jika upah atas jasa guru yang mengajar sebagian besar masih sangat memprihatinkan. Alhasil, ketidakstabilan finansial ini menjadi salah satu faktor yang bisa mempengaruhi kualitas pengajaran.
Menurut Galih, kecukupan (finansial) bagi guru itu penting untuk membuatnya bisa berkarya sepenuh hati. Cukup secara finansial (digaji dengan layak) itu penting bagi guru untuk menciptakan rasa aman dan stabil sehingga performa yang diberikan guru pun bisa lebih baik.
“Masalahnya, guru-guru kita banyak yang nggak cukup (gaji) dan itu pasti akan mempengaruhi bagaimana mereka akan berhubungan dengan murid-murid. Berat banget kalau gurunya aja nggak merasa cukup, nggak merasa aman, nggak merasa stable, gimana mereka mau perform?” ujar Galih menjelaskan. Meski demikian, Galih tetap menegaskan bahwa kesejahteraan itu harus berjalan lurus dengan kompetensi.
Pendidikan yang Kontekstual dan Kolaboratif
Pendidikan kontekstual/ Foto: Freepik.com/stockking
Hal yang juga teramat penting ketika berbicara tentang pendidikan adalah kontekstual dan kolaboratif. Demikian hal nya untuk pendidikan di Indonesia. Tantangan pada sektor pendidikan di Indonesia tentu memiliki perbedaan dengan negara-negara lainnya. Bahkan pendidikan di tiap daerah di Indonesia saja bisa berbeda-beda. Baik itu soal kesenjangan pendidikannya maupun resource yang dimiliki oleh masing-masing daerah.
Di samping itu, yang tidak kalah penting adalah pelibatan pihak lainnya yaitu orang tua. Penting bagi orang tua untuk mendukung dan membantu anak dapat menerapkan apa yang telah ia pelajari di rumah. “Ki Hajar Dewantara tuh udah bilang pendidikan itu tuh butuh pelibatan dari orang tua sebagai fondasi utama, karena pendidikan utama dari rumah,” ujar Galih.
Hal menarik lainnya dari perbincangan Galih dalam podcast tersebut adalah Galih menyadari bahwa pada akhirnya pendidikan itu selalu tentang kontekstualitas. Ini juga berarti bahwa sebenarnya tidak fair jika membandingkan pendidikan Indonesia dengan pendidikan di negara lain.
Galih sendiri mengakui bahwa dirinya dulu sempat mengglorifikasi pendidikan barat, ia menganggap bahwa STEM sebagai yang terbaik untuk pendidikan, namun itu berubah ketika dia belajar dengan berkuliah di luar negeri.
“Tadinya kan aku selalu menganggap STEM is the best gitu, tapi ternyata ketika aku kuliah di luar, aku belajar bahwa pendidikan itu sebenarnya tentang kontekstualitas. Kita perlu melihat apa sih yang menjadi kebutuhan dan resource yang kita punya. Jadi sebenarnya nggak bagus juga kita terlalu membanding-bandingkan negara Indonesia dengan negara-negara lain karena kita punya karakteristik yang beda,” Galih menjelaskan.
***
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!
