Seberapa Jauh Orangtua Bisa Terlibat dalam Hubungan Romansa Anak? Ini Kata Psikolog dan Penelitian
Beauties, beberapa waktu lalu netizen di media sosial sempat ramai membicarakan sosok artis Indonesia yang disebut "mengospek" pacar anak laki-lakinya hingga menangis. Melalui sebuah podcast, sang artis mengatakan bahwa ia mengeluarkan kata-kata yang cukup kasar dengan dalih menguji apakah calon menantunya itu bisa menerima sikapnya. Singkatnya, aksi artis ini memengaruhi hubungan sang anak dan pacarnya, Beauties.
Sejumlah netizen lalu mengkritik sikap sang artis, dan mengatakan bahwa apa yang ia lakukan telah menyakiti hati anak orang lain, bahkan mungkin anaknya sendiri juga. Ada pula yang berpendapat bahwa perilaku orangtua yang "mengospek" pacar anak dengan cara yang keras dapat membuat anak merasa "di atas awan" alias "dirajakan".
Lantas, seberapa jauh, sih, orangtua bisa terlibat dalam hubungan romansa anak? Ini kata psikolog dan temuan studi!
Seberapa Jauh Orangtua Bisa Terlibat dalam Hubungan Romansa Anak?
Ilustrasi/Foto : Freepik/ Freepik
Hal yang wajar ketika anak meminta bantuan atau pendapat kepada orangtuanya dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari pendidikan, kesehatan, pandangan kehidupan, hingga asmara. Namun, seberapa jauh, sih, orangtua bisa turun tangan dalam membantu dan memberikan dukungan untuk anak terkait kehidupan percintaan?
Sebuah penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa ketika orangtua mencoba memengaruhi kehidupan percintaan anaknya, baik dengan cara membantu maupun menghalangi, hal itu bisa memengaruhi stabilitas hubungan orangtua dan anak itu sendiri, Beauties.
Penelitian ini dilakukan oleh Paul Schrodt dan Emily Stager dari Texas Christian University dan dipublikasikan di Communication Research. Penelitian ini didasarkan pada relational turbulence theory, sebuah kerangka teori yang menjelaskan bagaimana ketidakpastian dan pengaruh interpersonal dapat memengaruhi komunikasi serta stabilitas emosi selama masa transisi hidup. Awalnya teori ini dikembangkan untuk mempelajari hubungan romantis, tetapi para peneliti mengaplikasikannya pada hubungan orangtua-anak di masa awal dewasa, yaitu periode ketika anak mulai mencari kemandirian, tapi tetap bergantung pada orangtua.
Dilansir dari PsyPost, para peneliti merekrut 264 partisipan berusia 18–24 tahun yang sedang menjalin hubungan romantis. Sebagian besar partisipan adalah perempuan. Setiap orang mengisi survei online tentang hubungan romantis mereka, hubungan dengan salah satu orangtua (ibu atau ayah, dipilih secara acak), serta bagaimana orangtua tersebut mendukung atau menghalangi hubungan mereka. Survei juga menanyakan seberapa positif atau negatif percakapan mereka baru-baru ini dengan orangtua tentang pasangan, dan seberapa kacau atau stabil hubungan mereka dengan orangtua saat ini.
Para peneliti menggunakan skala psikologis yang sudah matang dan analisis statistik untuk mengolah hasil. Intervensi orangtua diukur dengan pernyataan seperti “Orangtua saya membuat saya sulit mengatur waktu dengan pasangan saya,” sedangkan dukungan orangtua diukur dengan pernyataan seperti “Orangtua saya membantu saya menyelesaikan konflik dengan pasangan.” Tingkat relational turbulence diukur dengan kesesuaian partisipan terhadap istilah seperti “kacau” atau “bergejolak” untuk menggambarkan hubungan mereka dengan orangtua.
Bagaimana Hasil Penelitian?
Ilustrasi/Foto: Freepik
Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa perilaku orangtua yang mendukung maupun yang menghalangi sama-sama berkaitan dengan munculnya rasa “kekacauan” (turbulence) dalam hubungan orangtua dan anak. Hal ini sebagian disebabkan oleh nada pembicaraan mereka tentang pasangan sang anak. Namun, dampak dari perilaku ini juga bergantung pada seberapa terbuka keluarga dalam berkomunikasi dan seberapa besar anak menghargai pendapat orangtua.
Lebih lanjut, baik intervensi maupun dukungan orangtua sama-sama berhubungan dengan tingkat kekacauan dalam hubungan orangtua-anak, tetapi dengan arah yang berlawanan.
- Saat orangtua menghalangi, anak lebih cenderung merasa hubungannya dengan orangtua menjadi tegang dan kacau.
- Saat orangtua mendukung, anak lebih cenderung merasa hubungan dengan orangtua berjalan lancar dan stabil.
Hubungan ini juga dijelaskan oleh nada percakapan:
- Intervensi orangtua → percakapan lebih negatif tentang pasangan → hubungan makin kacau.
- Dukungan orangtua → percakapan lebih positif → hubungan lebih stabil.
Dengan kata lain, nada emosional dalam diskusi orangtua-anak tentang pasangan sang anak dapat menjelaskan mengapa keterlibatan orangtua, baik membantu maupun menghalangi, dapat mengubah iklim emosional hubungan mereka sendiri.
Para peneliti juga mencari tahu kapan efek ini bisa menjadi lebih kuat atau lemah. Ada dua faktor yang berpengaruh, yaitu seberapa terbuka keluarga dalam berkomunikasi (conversation orientation) dan seberapa besar anak menghargai pendapat orangtua tentang hubungannya.
Hasilnya, dalam keluarga dengan tingkat komunikasi rendah, intervensi orangtua memberi dampak negatif lebih besar, terutama jika anak sangat menghargai pendapat orangtua. Sebaliknya, dalam keluarga dengan komunikasi terbuka, intervensi orangtua tidak terlalu merusak hubungan, mungkin karena dasar kepercayaan sudah ada.
Namun, para peneliti memberi catatan bahwa sampel penelitian ini terbatas, sehingga hasilnya mungkin tidak berlaku untuk semua keluarga dengan nilai budaya.
Apa Kata Psikolog?
Ilustrasi/Foto: Getty Images/iStockphoto/fizkes
Sementara itu, psikolog Sani Budiantini Hermawan mengatakan bahwa setiap orangtua tentu memiliki nilai dan prinsipnya masing-masing dalam mendidik anak, termasuk dalam konteks hubungan asmara.
"Orangtua itu sebenarnya punya nilai-nilai sendiri dan berbeda-beda dalam mendidik anak. Ada orangtua yang tidak mendukung adanya pacaran, ada yang mendukung pacaran, ada yang mendukung pacaran dengan batas-batas tertentu. Nah ini yang harus dipahami bahwa kita tidak bisa mengarahkan orang dengan nilai atau value yang berbeda. Karena balik lagi setiap keluarga punya value yang berbeda yang diakuinya," ujar Sani saat dihubungi Beautynesia.
Namun, Sani menekankan bahwa orangtua berperan penting untuk mengarahkan, memberi batasan sehat, dan membuka komunikasi tanpa kontrol berlebih dengan anak. Penting pula bagi orangtua dan anak memiliki definisi yang sama tentang bagaimana menjalin hubungan yang sehat dengan orang lain.
"Secara umum sebenarnya hubungan antara lawan jenis itu sebenarnya bisa dikategorikan sehat apabila mereka saling mendukung antara satu sama lain, baik sisi akademis, sisi regulasi emosi, sisi kematangan, dan dengan memiliki hubungan yang sehat mereka jadi mengenal diri mereka masing-masing, itu yang terpenting, karena dia jadi tau apa kekuatan dan kelemahannya, apa yang harus diperbaiki," tambah Sani.
Selain itu, menurut Sani, orangtua juga bisa terlibat untuk mencermati apakah hubungan yang sedang dijalani anak mengarah ke hubungan yang sehat atau justru sebaliknya. Baru setelah itu, orangtua bisa memberikan arahan yang diperlukan anak.
"Orangtua juga harus mencermati apakah hubungan ini bisa jadi lebih sehat, meningkatkan akademis atau bahkan sebaliknya. Nah, dari situ orangtua bisa memberikan arahan kepada anak batasan batasan mana yang perlu dilakukan, seperti apa hubungan yang sehat, yang menghargai hak dan kewajiban masing-masing, dan orangtua bisa mengarahkan nilai apa yang ingin diinginkan, orangtua bisa terlibat dalam hal itu," ungkapnya.
Lantas, seperti apa tanda anak yang sedang menjalani hubungan toxic atau beracun?
"Hubungan toksik itu ketika saling mencela satu sama lain, membunuh karakter, menyakiti, menyalahkan, menuntut, mengganggu akademisnya, apalagi spending time dengan keluarga bisa jadi sangat berkurang, jadi fokus spending time mereka sendiri dan pasangan, itu bisa jadi toxic," papar Sani.
Di sisi lain, orangtuaa juga bisa memberikan batasan sesuai dengan nilai dan prinsip yang dianut dalam keluarga. Tapi yang terpenting adalah komunikasi dua arah antara anak dan orangtua sehingga paham dukungan dan arahan seperti apa yang perlu diberikan.
"Salah satunya juga orangtua bisa lakukan yang namanya batasan, jam berapa boleh pergi, pulang jam berapa, boleh jalan berdua atau ramai-ramai dengan teman yang lain, jadi balik lagi orangtua menentukan tergantung dari nilai dan valuenya. Orangtua perlu berkomunikasi dua arah, saling terbuka, sheingga tahu dukungan apa yang perlu diberikan," tutupnya.
***
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!