Tanpa Memandang Status, Siapa Saja Bisa Jadi Pelaku KDRT! Berhenti Salahkan Korban

Firzaputri Maulida Maharani | Beautynesia
Senin, 18 Mar 2024 08:00 WIB
Tanpa Memandang Status, Siapa Saja Bisa Jadi Pelaku KDRT! Berhenti Salahkan Korban
KDRT bisa dilakukan siapa saja/Foto: Freepik

Baru-baru ini, netizen dihebohkan dengan kasus KDRT yang dilakukan oleh seorang public figure. Aktivis perempuan Kalis Mardiasih melalui akun Instagramnya (@kalis.mardiasih), mengatakan bahwa pelaku KDRT dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa memandang status, usia, maupun kondisi ekonomi. 

Unggahan Kalis Mardiasih tentang KDRT/Foto: instagram.com/kalis.mardiasih
Unggahan Kalis Mardiasih tentang KDRT/Foto: instagram.com/kalis.mardiasih

Namun, pada unggahan ini, beberapa netizen justru menganggap bahwa istri dari figur publik tersebut meminta cerai karena suaminya sudah jatuh miskin, bukan karena KDRT.

Kemudian, beberapa netizen lainnya menceritakan pengalaman pribadi mereka mendapat KDRT, yang memperkuat realita bahwa siapa saja dapat menjadi pelaku KDRT, bahkan seorang figur publik sekalipun. 

Lantas, mengapa masih saja ada orang yang tidak percaya bahwa sosok idola atau publik figur bisa menjadi pelaku KDRT? Simak rangkumannya berikut ini!

Adanya Fenomena Celebrity Worship

Celebrity Worship. Foto freepik.com: Rawpixel.com

Ilustrasi/Foto freepik.com: Rawpixel.com

Alasan mengapa ada anggapan bahwa seorang figur publik atau idola tidak akan melakukan suatu kesalahan adalah karena terlalu 'mendewakan' mereka. Terkadang, penggemar lupa bahwa selebriti, aktor, atau siapa pun yang mereka idamkan adalah manusia biasa.

Dilansir dari Very Well Mind, terdapat istilah yang disebut sebagai "Celebrity Worship", yaitu perasaan keterikatan yang kuat terhadap idola. Berdasarkan Celebrity Attitude Scale, terdapat tiga tingkatan celebrity worship, yaitu:

  1. The entertainment-social level, yaitu penggemar yang terhibur dan mengikuti interaksi sosial dari idolanya, seperti mengikuti klub penggemar selebriti tertentu.
  2. The intense-personal level, yaitu penggemar yang terobsesi dan terus menerus menunjukkan ekspresi emosi terhadap idola.
  3. The borderline-pathological level, yaitu taraf tertinggi pemujaan terhadap selebriti, di mana penggemar tidak lagi bisa mengontrol kegiatan yang berkaitan dengan idolanya atau berfantasi terkait idola mereka.

Ekspektasi Berlebihan pada Idola

Ekspektasi Berlebihan pada Idola/Foto: Freepik/benzoix

Jika dikaitkan dengan tingkatan tersebut, penggemar yang tidak dapat menerima fakta bahwa idolanya menjadi pelaku kekerasan berada pada tahap kedua atau ketiga, karena mereka mulai membangun fantasi bahwa idolanya tidak akan berbuat salah.

Selain itu, menurut laman Survivor's Network, penggemar yang terikat erat dengan idola akan sangat tersakiti bila mengetahui idolanya menjadi pelaku kekerasan. Mengingat segala prestasi, pencapaian, bahkan pesona idola membuat mereka sulit menerima kenyataan.

Maka dari itu, tak heran apabila ada penggemar yang membela idolanya mati-matian dan tidak akan membiarkan citra idolanya ternodai.

Selain itu, terlepas penggemar atau bukan, alasan lain mengapa ada sebagian orang yang sulit percaya publik figur menjadi pelaku kekerasan adalah karena imej publik yang dibangun pelaku. Publik figur tentu membangun karakter yang positif dan karismatik, sehingga sulit bagi orang untuk membayangkan mereka melakukan tindakan kejam seperti KDRT.

Ditambah pula, media sosial dan publikasi sering menampilkan sisi terbaik mereka, sehingga menyembunyikan sisi gelap dan perilaku abusive mereka.

Menyalahkan Korban (Victim Blaming)

Menyalahkan Korban/Foto: Freepik/dragonimages

Alhasil, ketika penggemar terlalu mendewakan idola, reaksi mereka terhadap korban yang mendapat kekerasan akan cenderung menyalahkan. Fenomena ini disebut victim blaming, di mana korban peristiwa kekerasan justru disalahkan karena anggapan bahwa tindakan korban sendiri yang memicu kekerasan tersebut.

Dilansir dari Betterhelp, menyalahkan korban memiliki dampak yang berbahaya karena membuat peristiwa traumatis yang dialami seakan tidak valid. Selain itu, pelaku yang seharusnya mendapat sanksi malah menjadi tidak bersalah dan termaafkan.

Maka dari itu, hal yang tepat dilakukan pada korban adalah bersikap empati. Dengarkan dan tempatkan dirimu pada posisi mereka, sehingga hal tersebut memvalidasi perasaan dan peristiwa yang mereka alami.

Semoga ke depannya tidak ada lagi budaya menyalahkan korban, ya, Beauties!

***

Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!

(naq/naq)
Komentar
0 Komentar TULIS KOMENTAR
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.

RELATED ARTICLE