Pernikahan dini di Indonesia masih dianggap sebagai jalan pintas keluar dari kemiskinan. Tak heran perempuan yang masih duduk di usia SD hingga SMP, seperti di Blitar memutuskan menikah di bawah umur.
Mudah terpikat pada lawan jenis karena ketertarikan fisik juga jadi ciri khas pubertas remaja yang bisa saja berujung pada gaya berpacaran yang berlebihan. Kekeliruan berpikir dan kecemasan orangtua pada gaya berpacaran itu malah mendorong anaknya terjebak pada pernikahan dini.
Beauties, yuk! Kenali dampak psikologis akibat pernikahan dini yang telah dirangkum dari penelitian psikososial Erik Erikson.
1. Krisis Identitas yang Belum Selesai
Erikson dalam pandangan perkembangan psikosial, menilai remaja ada di krisis identity versus identity confusion, dengan goal tekun mencapai cita-cita. Remaja sedang dihadapkan pada eksplorasi tentang jati dirinya sendiri. Sedangkan pernikahan, idealnya berada di tahap perkembangan dewasa awal yang ditandai krisis intimacy versus isolation, dan cinta adalah goal utama yang dicapai.
Beauties, saat perempuan memaksa dirinya untuk menikah di usia dini, tapi masih bingung dengan jati dirinya, maka intimacy untuk berbagi kedekatan emosi dan cinta dengan pasangan akan sulit terwujud. Karena dalam intimacy sebuah pernikahan bukan lagi berpikir tentang 'aku' tapi 'kita'.
2. Disharmoni karena Cara Berpikir yang Berpusat pada Diri Sendiri
Cara berpikir berpusat pada diri sendiri. foto freepik.com: tonefotografia |
Piaget menilai, secara kognitif, remaja cenderung labil dalam pengambilan keputusan. Ketika tinggal bersama pasangan, Beauties tak lagi hanya memikirkan yang terbaik untuk dirimu, tapi juga untuk pasanganmu.
Nyatanya pernikahan dini, dengan latar usia yang terbilang sangat muda pastinya masih berfokus pada egosentris atau kesenangan yang berpusat pada diri sendiri. Sewaktu muncul konflik pernikahan, orang yang menjalani pernikahan dini cenderung melarikan diri sebagai bentuk penyelesaian masalahnya.