Wajib Tahu! Kasus KDRT Meningkat, Ini 4 Mitos Seputar KDRT yang Masih Sering Beredar
Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) meningkat sepanjang pandemi COVID-19. Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (CATAHU Komnas Perempuan) merekam pengaduan langsung kasus kekerasan terhadap perempuan, yaitu sebanyak 2.389 kasus dibandingkan tahun sebelumnya yakni 1.419 kasus, atau terjadi peningkatan pengaduan 970 kasus (40 persen) di tahun 2020. Ranah kekerasan yang paling banyak terjadi diadukan langsung ke Komnas Perempuan adalah ranah personal (KDRT) sebanyak 1.404 kasus (65 persen).
Di tengah fenomena tersebut, masih banyak mitos-mitos yang beredar seputar KDRT. Apa saja? Simak penjelasannya berikut ini.
Jika Alami KDRT, Perempuan Pasti Mudah Meninggalkan Hubungan
Ilustrasi KDRT/Foto: Pexels.com/RODNAE Production |
Ketika seorang perempuan mengaku mengalami KDRT, terkadang masih banyak pihak yang meragukannya. Pertanyaan yang paling sering muncul adalah, "kamu mengalami KDRT, jika memang seburuk itu, kenapa kamu tidak meninggalkan hubungan tersebut?"
Faktanya, masih banyak istri yang bertahan di hubungan KDRT karena berbagai alasan dan bukanlah yang mudah untuk meninggalkan suaminya yang kasar, bahkan walaupun ia sangat menginginkannya.
Beberapa alasannya mungkin sang istri percaya bahwa sang suami akan menyesali perbuatannya dan berjanji untuk berubah. Kemudian, sang istri bisa jadi takut akan nyawanya atau keselamatan sang anak akan terancam jika ia memutuskan untuk bercerai. Selain itu, mungkin saja ia tidak punya tempat untuk pergi dan tidak mandiri secara finansial.
Sering kali, pelaku KDRT mencoba untuk mengisolasi pasangannya dari keluarga atau teman, sehingga semakin sulit bagi korban untuk pergi dari hubungan yang beracun tersebut. Korban KDRT butuh dukungan dan pengertian, bukan penghakiman.
KDRT Selalu Melibatkan Kekerasan Fisik
Ilustrasi KDRT/Foto: Pexels.com/Alex Green |
Masih banyak yang menganggap bahwa KDRT hanya dianggap menjadi KDRT ketika melibatkan kekerasan fisik. Kenyataannya, KDRT tidak selalu dalam bentuk kekerasan fisik. Melansir dari Women's Aid, definisi dari KDRT adalah suatu insiden atau pola insiden perilaku mengontrol, memaksa, mengancam, merendahkan, termasuk kekerasan seksual, oleh pasangan atau mantan pasangan. Insiden-insiden ini dapat berbentuk seperti pelecehan psikologis dan/atau emosional, kekerasan fisik, pelecehan seksual, penyalahgunaan keuangan, dan masih banyak lagi.
KDRT adalah Masalah Pribadi Keluarga
Ilustrasi korban KDRT/Foto: Pexels/Polina Zimmerman |
Salah satu alasan mengapa korban sulit melapor KDRT yang ia alami karena merasa bahwa KDRT adalah hal personal atau pribadi dalam keluarga, bukan masalah sosial. Faktanya, KDRT dapat melibatkan banyak pihak, perawatan di rumah sakit bagi korban, pengobatan, proses pengadilan, biaya pengacara, belum lagi dampak psikologis dan fisik bagi mereka yang mengalaminya.
Sayangnya, ketika korban mengungkapkan KDRT yang dialami, masih banyak yang terlalu cepat menghakimi dan tidak mau mendengarkan. KDRT terjadi setiap hari di seluruh dunia dan mempengaruhi perempuan dari segala usia dan latar belakang. Ini adalah kejahatan yang serius dan meluas. Dibutuhkan peran seluruh masyarakat untuk meningkatkan kesadaran bahwa suara korban akan didengar dan didampingi.
Semua Pasangan Pasti Berdebat, KDRT adalah Hal Normal
Kekerasan dan perdebatan adalah dua hal yang sangat berbeda. Perdebatan atau perselisihan pendapat adalah hal yang normal terjadi dalam sebuah hubungan yang sehat jika dibarengi dengan penyelesaian. Namun, KDRT bukanlah perdebatan. KDRT melibatkan kekerasan dan ancaman, baik berbentuk fisik, emosional, dan psikologis, untuk mengatur dan mengendalikan pemikiran, pendapat, emosi, dan perilaku orang lain.
***
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!
Ilustrasi KDRT/Foto: Pexels.com/RODNAE Production
Ilustrasi KDRT/Foto: Pexels.com/Alex Green
Ilustrasi korban KDRT/Foto: Pexels/Polina Zimmerman