People say, “When life gives you lemons, make lemonade”. Pasti sudah tidak asing, kan, dengan frasa itu? Frasa yang digunakan agar kita tetap memiliki pemikiran positif dan optimis saat menghadapi suatu hal yang tidak sesuai dengan keinginan.
And we are not alone, this happens to everyone. Yang membedakan hanyalah waktu terjadinya. Kita semua pernah mengalami kecemasan, stres, dan perubahan perasaan yang cepat.
Penyebabnya beragam, bisa karena hubungan yang saat ini kurang baik, penolakan, masalah finansial, atau kehilangan lainnya. One way or another we need to get ourselves back. Tapi, terkadang kita juga membutuhkan bantuan orang lain untuk bangkit. Tidak perlu malu mengakui kalau kita butuh bantuan, justru dengan melakukannya, menjadi tanda kalau kita menyayangi diri sendiri.
Jadi, apa saja tanda kalau kita harus menemui psikolog?
1. Mengalami Trauma
Mengalami Trauma/Foto: Freepik/Freepik |
Melansir dari Forbes, salah satu yang menjadi tanda kalau kita harus menemui psikolog ketika kita mengalami trauma. Mereka yang mengalami kekerasan fisik dan seksual atau trauma lainnya yang belum sepenuhnya “sembuh”. Trauma seperti ini biasanya cukup melekat, sehingga kita perlu melakukan tindakan agar tidak semakin tertekan dengan trauma itu.
2. Berduka
Berduka/Foto: Freepik/benzoix |
Berduka bisa banyak macamnya, bisa karena kehilangan seseorang, putus cinta, atau mengalami perceraian. Masih dari Forbes, untuk bisa mengatasi kesedihan dalam bentuk apa pun, pada beberapa kasus bisa menjadi proses yang panjang dan menyakitkan, apalagi jika kita hanya bisa memendamnya sendirian.
3. Kesulitan Mengatur Emosi
Kesulitan Mengatur Emosi/Foto: Freepik/rawpixel.com |
Setiap orang pasti pernah mengalami berbagai emosi, entah itu bahagia, sedih, marah, cemas, dan berbagai perasaan lainnya. Penting bagi kita untuk memerhatikan seberapa sering atau seberapa kuat luapan emosi ini kita rasakan.
Menurut Dr. Ramani Durvasula, psikolog dan penulis Don’t You Know Who I Am?: How to Stay Sane in an Era of Narcissism, Entitlement, and Incivility kepada Forbes, “Kemarahan sering menjadi bagian dari presentasi depresi. Kenyataannya, pada pria, depresi sering kali disalahartikan, menganggap menjadi pemarah adalah sifat maskulin.”
Jika seseorang terus menerus merasa sedih, hampa, dan tidak tertarik pada segala hal, bisa menjadi tanda mengalami depresi klinis.