Sepenggal Kisah Cinta Kartini yang Mengharukan

Phanie Fauziah | Beautynesia
Rabu, 21 Apr 2021 16:30 WIB
Sepenggal Kisah Cinta Kartini yang Mengharukan
Foto: detik news

Raden Ajeng Kartini, nama yang tak akan pernah usang di telinga masyarakat Indonesia. Wanita Jepara kelahiran 21 April 1879 ini membawa kisah yang sangat menginspirasi sekaligus mengharukan. Perjuangannya merupakan salah satu alasan kehidupan perempuan Indonesia maju dan modern seperti sekarang. 

Namun, tahukah Beautynesians? Disamping memperjuangkan hak-hak perempuan, Kartini memiliki sepenggal kisah cinta yang mengharukan.

Kehidupan Keluarga Poligami

Poligami
Poligami/Freepik

Kartini seolah tak asing dengan istilah poligami. Ibunya M.A. Ngasirah bukanlah satu-satunya istri dari ayahnya Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Ayahnya menikah lagi dengan seorang darah biru bernama Raden Ajeng Woerjan. Kondisi keluarganya ini yang membuat ia menentang perkara poligami dengan alasan sejumlah adat yang terlibat di dalamnya akan merugikan pihak perempuan. Namun, seolah Kartini tak bisa menolak takdir dengan keadaan bahwa ia harus menerima menjadi istri keempat seorang Bupati Rembang, Adipati Djojoadiningrat.

Syarat Pernikahan

Perempuan dengan Adat Jawa
Perempuan dengan Adat Jawa/Vecteezy

"Bagaimana mungkin seorang pria dan wanita dapat mencintai ketika mereka baru bertemu untuk pertama kalinya ketika mereka sudah dikunci dalam hubungan pernikahan?” begitulah Kartini bertutur dalam suratnya. Saat itu, perempuan dengan umur 24 tahun sudah dianggap sebagai perawan tua, jika tidak segera menikah. Kecintaan dan baktinya terhadap sang ayah menjadi alasan Kartini menerima takdir untuk menjadi istri keempat.

Namun, bukanlah Kartini jika tanpa perjuangan atas hak-hak perempuan. Kartini mengajukan syarat agar mau dinikahi Adipati Djojoadiningrat. Kartini meminta ayahnya mengizinkan ia mendirikan sekolah untuk anak-anak perempuan, diperbolehkan mengajar, dan menggapai cita-citanya untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan.

Selain itu, ia juga dikenal tak sepaham dengan cara hidup feodal Jawa. Ibunya, Ngasirah rela berjalan membungkuk saat melewati Kartini dan duduk di bawah mengikuti cara hidup feodal Jawa dengan alasan hanya seorang selir. Melihat kenyataan seperti itu tentunya Kartini tidak merasa bangga menjadi seorang keturunan bangsawan. Hal tersebut menjadi salah satu syarat pernikahan, dimana Kartini tak mau melakukan prosesi adat berjalan jongkok, berlutut, dan menyembah kaki suami. 

Meninggal Setelah Melahirkan

Peringatan RA Kartini
Peringatan RA Kartini/Freepik

Kartini menikah setelah syarat-syaratnya terpenuhi. Menginjak usia 25 tahun, Kartini melahirkan seorang putra dari Adipati Djojoadiningrat yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat pada tanggal 13 September 1904. Empat hari setelah kelahiran putranya, Kartini meninggal di usianya yang masih terbilang cukup muda. Ia kemudian dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang. Meski raganya sudah tak ada, kisah cinta dan perjuangannya tetap kekal terasa di benak masyarakat Indonesia.

Alasan tanggal kelahirannya dijadikan sebagai Hari Kartini adalah sebagai peringatan perjuangannya.

(mel/mel)
CERITA YUK!
Theme of The Month :

Theme of The Month :

Theme of The Month :

Theme of The Month :

Theme of The Month :

Komentar
0 Komentar TULIS KOMENTAR
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.