'Dupe Culture' Merajalela, Ini Bedanya Produk Palsu, KW, dan Designer-Inspired
Istilah 'dupe' atau duplicate (duplikat) sering terdengar dewasa ini. Biasanya, istilah ini merujuk pada barang-barang tiruan barang mewah yang dijual dengan harga miring, Beauties. Nggak terbatas pada produk fashion saja, barang 'dupe' juga ditemukan sampai ranah beauty.
Mengingat banyaknya konsumen yang sensitif terhadap harga, 'dupe culture' (budaya dupe) pun ikutan merajalela. Hal ini bisa dilihat dari maraknya barang-barang dupe sampai designer-inspired yang menargetkan konsumen mencari barang mirip dengan produk asli, tapi dengan harga lebih terjangkau. Misalnya dari ranah sepatu, ada banyak produk yang menyerupai kreasi Manolo Blahnik, Mach & Mach, Amina Muaddi, sedangkan lebih banyak lagi yang mirip tas branded seperti Goyard, The Row, Loewe, Bottega Veneta, Dior, atau brand asal luar negeri lainnya yang masih belum sepopuler brand mewah global, seperti Bunzaburo dari Jepang.
Namun di sisi lain, ada pula istilah barang counterfeit atau palsu yang disebut sebagai barang ilegal. Lantas, apa sih perbedaannya?
Apa Perbedaan Barang ‘Counterfeit’, ‘Dupe’, dan ‘Designer-Inspired’?
Ilustrasi/ Foto: Pexels.com/Mah___
Barang counterfeit atau barang konsumen palsu adalah barang yang menggunakan merek dagang perusahaan lain tanpa izin, seperti yang dijelaskan dalam situs International AntiCounterfeiting Coalition (IACC). Memproduksi barang palsu merupakan tindak kriminal yang sama saja seperti mencuri, Beauties. Sebab, merek dagang membantu konsumen mengidentifikasi produk milik perusahaan tertentu. Dengan membuat dan menjual barang palsu, penjahat berusaha mendapatkan keuntungan secara tidak adil dari reputasi pemilik merek dagang sesungguhnya.
Konsumen yang cermat pasti mudah mengenali barang palsu. Pasalnya, barang counterfeit dijual dengan harga jauh lebih murah dari aslinya dan tanpa packaging yang sesuai atau berkualitas, meski produk terlihat identik dengan barang orisinalnya.
Oleh karena membuat barang counterfeit merupakan tindakan ilegal, ada “celah” yang bisa dilakukan produsen untuk membuat produk mirip dengan produk orisinal tanpa mengklaim autentik. Inilah yang dikenal sebagai barang imitasi atau KW atau istilah yang lebih kekinian, ‘dupe’. Produsen tidak hanya dapat meniru dari segi barang saja, Beauties. Melansir dari laman Imperial Business School, imitasi bisa berarti meniru produk dan proses, teknologi dan sumber daya perusahaan, atau struktur dan strategi.
Produk ‘dupe’ memang memiliki tampilan yang mirip dengan produk orisinalnya yang lebih mahal, Beauties. Mengutip laman Croud, produk ‘dupe’ tidak secara eksplisit menyalin logo, merek dagang, atau desain yang dipatenkan dari produk asli. Oleh karena perbedaan tersebut, produk ‘dupe’ tidak ilegal, walaupun sangat mirip dengan produk asli dari segi gaya, estetika, dan fungsionalitas. Hal ini pula yang membedakan ‘dupe’ dengan ‘counterfeit’, Beauties.
Nah, produk ‘designer-inspired’ berbeda dengan ‘counterfeit’ dan ‘dupe’. Seperti istilahnya, produsen mengambil inspirasi dari produk rancangan desainer ketika membuat produk miliknya sendiri. Ada modifikasi yang jelas terlihat pada produk ‘designer-inspired’. Mengutip dari situs The Baller on a Budget, barang terinspirasi desainer akan memiliki fitur serupa yang menyerupai karya desainer aslinya, tetapi sama sekali tidak memiliki logo atau merek yang mengklaim bahwa karya tersebut autentik.
Popularitas ‘Dupe Culture’
Ilustrasi/ Foto: Pexels.com/Mart Production
Kini, ‘dupe’ sudah menjadi hal tak terpisahkan dalam ekosistem fashion dan beauty. Budaya dupe ini pun cenderung digemari generasi muda, yakni berdasarkan Vogue Business, khususnya Gen Z. Pergantian tren yang begitu cepat membuat mereka berpikir dua kali untuk merogoh kantong demi produk asli dengan harga selangit. Selama ada produk ‘dupe’, mereka bisa mendapatkan gaya sesuai dengan keinginannya, tanpa harus mengeluarkan biaya tinggi.
Namun pendorong maraknya ‘dupe’ bukan cuma terletak pada harga terjangkau, Beauties. Aksesibilitas sebuah produk termasuk faktor. Misalnya, sebuah tas mewah hanya bisa didapatkan di Paris, padahal konsumen dari berbagai negara menyukai desainnya. Ketersediaan produk ‘dupe’ memungkinkan mereka mendapatkan tas dengan estetika yang sama, tanpa harus melancong ke Prancis.
Meski dengan maraknya ‘dupe culture’, konsumen yang ingin produk autentik tetap akan mendapatkan kemewahan dari barang asli. Sebab, produk ‘dupe’ ataupun ‘designer-inspired’ tidak menyamai produk asli dari segi craftsmanship, kualitas material yang digunakan, pelayanan, dan juga values lainnya seperti budaya atau warisan sebuah brand.
***
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk gabung ke komunitas pembaca Beautynesia B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!