3 Rahasia Tak Terduga untuk Membesarkan Anak yang Cerdas Secara Emosional
Membesarkan anak bukan hanya soal memberikan pendidikan terbaik atau memenuhi kebutuhan fisiknya, melainkan juga tentang membangun kecerdasan emosional anak yang akan menjadi bekal penting dalam kehidupannya kelak. Meskipun begitu, banyak orang tua yang sering kali hanya fokus pada nilai akademis, padahal kemampuan anak dalam memahami, mengelola, dan mengekspresikan emosi sama pentingnya untuk membangun pribadi yang tangguh dan berempati.
Menariknya, ada cara-cara membesarkan anak yang sederhana dan mungkin tidak terpikirkan sebelumnya, tetapi justru sangat efektif dalam mendukung tumbuh kembang emosional anak. Penasaran bagaimana tips parenting-nya? Mari kita kupas lewat artikel yang dilansir dari Satori Kid ini tentang 3 rahasia tak terduga untuk membesarkan anak cerdas secara emosional.
Reparenting (Mendidik Ulang) Inner Child
![]() Setiap orang tua membawa jejak masa lalu yang memengaruhi cara membesarkan anak/Foto: Unsplash/Cristian Castillo |
Di dalam diri setiap orang, selalu ada bagian kecil yang menyimpan kenangan masa lalu—tentang rasa takut, kesepian, atau perasaan diabaikan. Bagian inilah yang sering kali tanpa disadari ikut berperan dalam cara seseorang membesarkan anaknya.
Ketika anak mengalami ledakan emosi, respons orang tua kadang dipengaruhi oleh luka batin lama yang belum sembuh. Hal ini dapat memicu reaksi berlebihan seolah sedang mencoba memadamkan api dengan bensin. Makin reaktif kita, makin besar pula masalah yang muncul.
Untuk bisa mendampingi anak dengan tenang, orang tua perlu terlebih dahulu menenangkan “anak kecil” di dalam dirinya sendiri. Proses ini dikenal sebagai reparenting, yaitu upaya memberi kasih sayang, pengertian, dan rasa aman kepada diri sendiri, di mana itu mungkin tidak sepenuhnya kita terima saat kecil dulu.
Dengan melakukan reparenting, seseorang belajar memvalidasi emosinya sendiri tanpa mencari pembenaran melalui peran sebagai orang tua. Hasilnya, muncul ketenangan batin yang lebih stabil, kesabaran yang lebih luas, dan hubungan yang lebih sehat dengan anak.
Proses ini memang tidak mudah, tetapi dampaknya luar biasa. Reparenting bukan hanya membantu seseorang menyembuhkan dirinya, tetapi juga menciptakan dasar keamanan emosional yang kuat bagi seluruh keluarga. Ketika orang tua tumbuh menjadi pribadi yang lebih sadar dan utuh, anak pun belajar hal yang sama melalui keteladanan.
Melepaskan Perfeksionisme
Cara membesarkan anak yang bijak bukan tentang kontrol tapi tentang kehadiran dan kehangatan/Foto: Unsplash/Thiago Cerqueira
Perfeksionisme sering membuat orang tua merasa harus selalu melakukan segalanya dengan benar, mulai dari menjaga rumah tetap rapi, menyiapkan makanan yang sempurna, hingga bersikap tanpa batas. Namun, kenyataannya, standar semacam itu sulit dicapai. Hidup penuh dengan hal-hal tak terduga, dan tidak ada persiapan yang benar-benar bisa menjamin semuanya berjalan mulus.
Ketika orang tua berusaha mengendalikan setiap detail kehidupan, tekanan justru makin besar. Tanpa disadari, sikap tersebut dapat menanamkan rasa takut akan kesalahan pada anak-anak. Mereka belajar bahwa gagal adalah sesuatu yang harus dihindari, bukan dijadikan pengalaman untuk tumbuh.
Sebaliknya, ketika orang tua berani melepaskan tuntutan untuk selalu sempurna—dengan terbuka mengakui kesalahan, menunjukkan proses belajar, dan membiarkan kekacauan terjadi tanpa rasa malu—anak-anak pun belajar hal yang jauh lebih berharga. Mereka tumbuh menjadi individu yang berani mencoba, tidak takut gagal, dan mampu melihat setiap kesalahan sebagai bagian dari perjalanan belajar. Dengan cara ini, keluarga dapat hidup lebih bebas dan sehat secara emosional tanpa tekanan untuk selalu terlihat sempurna.
Mempertanyakan Paradigma Lama dalam Pola Asuh
Pola asuh yang membuka ruang ekspresi memberi fondasi bagi berkembangnya kecerdasan emosional anak/Foto: Unsplash/Jonathan Borba
Banyak dari orang tua yang sejak kecil dibesarkan dalam lingkungan dengan aturan tegas dan dipaksa menurut hanya karena orang tua menyuruhnya begitu. Pola semacam ini dulu dianggap cara terbaik untuk menanamkan rasa hormat, tetapi pada kenyataannya, sering kali justru menekan ekspresi emosi anak. Ketika anak terbiasa menahan perasaan mereka, hal ini dapat memicu ledakan emosi di kemudian hari dan menghambat kemampuan mereka untuk mengelola emosi dengan sehat.
Mempertanyakan dan mengubah paradigma lama dalam pola asuh bukanlah hal yang mudah. Proses ini membutuhkan keberanian untuk meninggalkan pandangan tradisional tentang “bagaimana seharusnya menjadi orang tua” dan menggantinya dengan pendekatan yang lebih berfokus pada hubungan emosional dan rasa saling percaya. Saat anak diberikan ruang untuk mengekspresikan diri tanpa takut dihakimi, mereka cenderung tumbuh menjadi individu yang lebih terbuka, komunikatif, dan memiliki kecerdasan emosional yang lebih baik.
***
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!
