5 Tanda Seseorang Nggak Bahagia, Meskipun Hidupnya Terlihat Sempurna

Dewi Maharani Astutik | Beautynesia
Rabu, 30 Jul 2025 20:00 WIB
5 Tanda Seseorang Nggak Bahagia, Meskipun Hidupnya Terlihat Sempurna
5 Tanda Seseorang Nggak Bahagia, Meskipun Hidupnya Terlihat Sempurna/Foto: Freepik

Di era digital saat ini, mudah sekali tertipu oleh ilusi kebahagiaan. Seseorang bisa tampak sempurna di media sosial dengan cara memamerkan kariernya cemerlang, liburan yang mewah, atau senyumnya yang tak pernah luntur, padahal di balik layar, ia tengah berjuang melawan rasa cemas dan kesepian di dalam hatinya.

Hal tersebut mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati tak bisa diukur dari pencapaian materi atau kesuksesan yang terlihat oleh mata saja. Dilansir dari Worth Explorer, kamu bisa mengetahui tanda orang tidak bahagia dari hal-hal di bawah ini!

Mengejar Pencapaian Layaknya Target yang Selalu Bergerak

Ilustrasi/Foto: Freepik/pressfoto
Ilustrasi/Foto: Freepik/pressfoto

Sering kali, kita terlalu sibuk mengejar prestasi berikutnya sehingga lupa merayakan keberhasilan yang sudah diraih. Kita terus berlari, mengejar promosi, sertifikasi, atau peluang baru, seolah capaian terakhir hanya sebatas pemadam dahaga sementara.

Ketika kita terus bergerak maju tanpa henti, kemajuan yang kita raih tidak akan pernah membawa kedamaian. Tepuk tangan yang kita dengar saat meraih prestasi sesaat akan tampak memuaskan, tetapi begitu reda, kita tidak akan merasakan makna yang tersisa di pengujung hari.

Waktu Luang Malah Menjadi Beban

Ilustrasi/Foto: Freepik/lookstudio

Ciri-ciri orang tidak bahagia yang berikutnya adalah selalu menganggap waktu luang sebagai beban kewajiban. Bagi mereka, beristirahat dengan tenang justru terasa sia-sia. Padahal istirahat bukan semata hadiah setelah kerja keras, melainkan kebutuhan mendasar agar hidup terasa bermakna.

Sayangnya, banyak orang yang hanya berkutat pada pola pencapaiannya sendiri dan justru tidak pernah merasakan apa itu istirahat tanpa rasa bersalah. Mereka bahkan tidak tahu seberapa pentingnya hal itu.

Kesuksesan Tidak Membuat Mereka Berhenti Mengkritik Diri Sendiri

Ilustrasi/Foto: Freepik/cookie_studio

Bagi sebagian orang, kesuksesan ternyata tidak cukup untuk meredam suara kritikus dalam diri mereka. Walaupun dari luar terlihat berhasil, di dalam hati mereka terus bergema bisikan-bisikan meragukan seperti, “Itu cuma keberuntungan,” atau “Kamu bisa lebih baik dari ini,”. Bahkan prestasi dan CV yang mengesankan pun tidak mampu menenangkan suara tersebut dan justru memperkaya bahan bagi si pengkritik batin itu untuk terus mencari celah.

Lingkungan sekitar mungkin menilai sikap ini sebagai bentuk kerendahan hati. Namun, ketika pencapaian tak kunjung mengubah cara seseorang memandang dirinya sendiri, maka kepuasan batin pun menjadi sesuatu yang sulit diraih.

Hal ini bisa diibaratkan seperti memanjat tangga, di mana setiap langkah yang berhasil justru membawa bisikan bahwa seharusnya mereka memulai dari posisi yang lebih tinggi. Lebih ironisnya lagi, makin banyak pujian yang diterima, justru makin besar tekanan yang dirasakan untuk terus membuktikan bahwa mereka memang pantas dipuji.

Mendistraksi Perasaan Mereka dengan Kesibukan

Ilustrasi/Foto: Freepik

Banyak orang tampak sibuk dan produktif, tetapi sebenarnya mereka sedang menghindar dari perasaan mereka sendiri. Mereka menumpuk aplikasi-aplikasi seperti kalender digital, pelacak keuangan, atau penghitung meditasi, lalu menyebutnya sebagai bagian dari gaya hidup sehat. Padahal, di balik semua itu, mereka tidak benar-benar menggunakannya untuk menjalani hidup, melainkan untuk mematikan rasa terhadap emosi yang mengganggu.

Filsuf Romawi Marcus Aurelius pernah berkata bahwa jiwa akan terbentuk sesuai dengan warna pikiran yang kita miliki. Artinya, jika seluruh perhatian kita hanya difokuskan pada kesibukan tanpa makna, maka jiwa kita pun akan menjadi kosong dan hambar, meskipun dari luar tampak penuh warna.

Kesibukan yang terus-menerus, meskipun terlihat produktif, bisa menjadi cara untuk diam-diam menutupi rasa kehilangan arah atau tujuan. Kesibukan ini seperti obat penenang yang dilegalkan secara sosial, di mana kita terus bergerak dan terus bekerja, padahal sebenarnya hanya berputar-putar di tempat yang sama secara emosional. Kita merasa maju, padahal mungkin kita hanya berusaha lari dari sesuatu yang belum sempat kita hadapi.

Hubungan Terasa Seperti Transaksi

Ilustrasi/Foto: Freepik/pressfoto

Kadang hubungan antar manusia bisa terasa seperti sekadar transaksi. Setiap interaksi seolah-olah hanya bagian dari strategi mencari koneksi, makan siang pun berubah menjadi sesi koordinasi, dan pertemanan tak lagi tulus, tetapi penuh dengan tuntutan untuk bekerja sama.

Meskipun terdengar efisien, pendekatan seperti itu justru membuat kita tak benar-benar dilihat atau dikenal secara utuh. Hubungan yang otentik sebenarnya tumbuh dari momen-momen yang bebas dari kepentingan-kepentingan tersebut. Saat kita hadir tanpa agenda, tanpa perlu menjual apapun, dan cukup menjadi diri sendiri.

***

Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!

(naq/naq)
Komentar
0 Komentar TULIS KOMENTAR
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.