Benarkah 'Jodoh Tak Akan ke Mana'? Ini Kata Psikologi tentang Pasangan yang 'Ditakdirkan'

Ayuliy Lestari | Beautynesia
Minggu, 10 Aug 2025 15:00 WIB
Benarkah 'Jodoh Tak Akan ke Mana'? Ini Kata Psikologi tentang Pasangan yang 'Ditakdirkan'
Foto: Freepik.com/Freepik

Kalimat “jodoh tak akan ke mana” sering kali kamu dengar ketika kisah cinta tidak berjalan sesuai harapan. Ucapan itu seolah menjadi pelipur lara bahwa jika seseorang memang ditakdirkan untukmu, seberapa jauh ia pergi, ia akan kembali. Namun, apakah benar cinta dan jodoh semurni itu? Ataukah sebenarnya, hubungan butuh usaha dan kesadaran penuh dari kedua belah pihak?

Psikologi memandang cinta bukan sebagai hal yang semata-mata digerakkan oleh takdir, tetapi juga dipengaruhi oleh keterampilan emosional, kesiapan komitmen, dan kesesuaian nilai. Dikutip dari Journal of Social and Personal Relationships (2018), relasi langgeng lebih ditentukan oleh faktor kompatibilitas psikologis dan kemampuan menyelesaikan konflik dibanding faktor kebetulan”. Artinya, jodoh bukan hanya soal menunggu waktu, tetapi tentang cara kamu dan dia saling bertumbuh.

Berikut fakta psikologi tentang “jodoh tak akan ke mana”.

 

1. ‘Ditakdirkan’ Tidak Berarti ‘Tanpa Usaha’

Ilustrasi/ Foto: Freepik.com/Freepik

Kalau kamu percaya pada jodoh, itu tidak salah. Tapi hubungan yang berhasil bukan datang dari langit tanpa peran aktifmu. Cinta tetap perlu dipelihara lewat komunikasi, empati, dan kepercayaan. Bahkan pasangan yang “katanya jodoh” pun bisa berpisah jika keduanya tidak belajar menyayangi dengan cara yang dewasa.

2. Ada Faktor Psikologis yang Membentuk ‘Kecocokan’

Ilustrasi/ Foto: Freepik.com/Freepik

Menurut teori Triangular Theory of Love dari psikolog Robert Sternberg, cinta terdiri dari tiga unsur, yaitu keintiman, gairah, dan komitmen. Ketiganya harus tumbuh seimbang agar hubungan bertahan. Jadi, pasangan yang tampak ditakdirkan sering kali adalah dua orang yang kebetulan cocok dalam banyak aspek psikologis, bukan karena semesta menyatukan mereka secara ajaib.

3. Ketertarikan Bisa Bersifat Temporer

Ilustrasi/ Foto: Freepik.com/Freepik

Kadang kamu merasa yakin sekali pada seseorang karena koneksi emosional yang kuat. Namun, apakah itu jodoh? Belum tentu. Psikologi menyebutkan bahwa emosi tinggi di awal hubungan bisa menipu (emotional flooding), dan hanya waktu serta situasi sulit yang bisa menguji apakah seseorang benar-benar bisa bertahan bersamamu.

4. Jodoh Juga Tentang Kesiapan Emosional

Ilustrasi/ Foto: Freepik.com/Freepik

Banyak orang melewatkan pasangan baik bukan karena mereka tidak berjodoh, tapi karena salah satu pihak belum siap secara emosional. Kesiapan mental untuk membina relasi jangka panjang adalah bagian penting dari “takdir” yang sering diabaikan. Jodoh bukan hanya soal bertemu, tapi juga soal bertahan.

5. Kamu Bisa ‘Menemukan’ Jodoh Lewat Versi Terbaik Dirimu

Ilustrasi/ Foto: Freepik.com/Freepik

Psikologi positif menyebutkan bahwa kamu akan menarik hubungan yang sehat saat kamu sendiri berada dalam kondisi yang sehat secara emosional. Jadi, mungkin pertanyaannya bukan lagi “Siapa jodohku?”, tapi “Sudahkah aku menjadi seseorang yang pantas untuk hubungan yang kutunggu?”

Percaya pada jodoh boleh saja, asal tidak membuatmu pasif dalam mencintai atau terlena dalam penantian. Kamu berhak atas cinta yang hadir karena kesadaran, bukan kebetulan. Jika memang “tak akan ke mana”, maka biarkan ia menemukanmu saat kamu berdiri tegak dengan cinta yang utuh pada diri sendiri maupun pada hidup itu sendiri.

***

Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk gabung ke komunitas pembaca Beautynesia B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!

 

(dmh/dmh)
Komentar
0 Komentar TULIS KOMENTAR
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.

RELATED ARTICLE