Hari Perempuan Internasional: Perempuan Palestina adalah Simbol Kekuatan yang Tak Tergoyahkan

Nadya Quamila | Beautynesia
Jumat, 07 Mar 2025 13:00 WIB
Hari Perempuan Internasional: Perempuan Palestina adalah Simbol Kekuatan yang Tak Tergoyahkan
Hari Perempuan Internasional: Perempuan Palestina adalah Simbol Kekuatan yang Tak Tergoyahkan/Foto: Europa Press via Getty Images/Europa Press News

Kaum perempuan menjadi yang paling terdampak dari genosida yang dilakukan Israel di Palestina. Menurut data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), hampir 70 persen kematian di Gaza adalah perempuan dan anak-anak.

Dilansir dari Al Jazeera Plus, dua ibu terbunuh setiap jamnya selama serangan yang dilancarkan Israel. Sekitar 700 ribu perempuan dan anak perempuan di Gaza mengalami siklus menstruasi, tetapi mereka tidak memiliki akses yang memadai terhadap produk-produk kebersihan dasar seperti pembalut, tisu toilet atau bahkan air mengalir dan toilet. Data juga menunjukkan bahwa satu dari lima ibu hamil yang dirawat di sebuah klinik pusat di Gaza mengalami kekurangan gizi.

Semua itu bukan hanya angka, itu adalah kehidupan perempuan di Palestina. Mereka harus menanggung rasa pilu yang luar biasa; kehilangan orang yang dicintai, bertahan dari serangan keji tentara Israel, kelaparan, kehilangan rumah dan tidak punya tempat bernaung yang layak, hingga kekhawatiran akan masa depan yang tak menentu.

Meski begitu, perempuan Palestina terus menunjukkan keteguhan hatinya dengan tetap berdiri tegar. Bagi mereka, dari semua kehilangan dan berusaha mengikhlaskan apa yang terjadi, kekuatan adalah satu-satunya yang tersisa.

Menyambut Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap 8 Maret, simak kisah para perempuan tangguh Palestina dalam berjuang hidup dan menemukan kekuatan untuk terus bertahan.

Penderitaan Perempuan Palestina saat Genosida Israel

Leen Nahal

Leen Nahal/Foto: Dok. UN Women/Suleiman Hajji

"Perang ini telah mengubah hidup saya secara permanen. Kami telah mengungsi berulang kali, kehilangan pendidikan dan teman-teman saya. Ketakutan yang kami alami tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.”

Itulah kata-kata Leen Nahal, yang pada usia 14 tahun telah mengalami lima perang di Gaza dan telah mengungsi berulang kali. 

“Dulu, kami bisa membeli makanan, buah-buahan, dan pakaian; sekarang, delapan dari kami berdesakan dalam tenda darurat,” katanya kepada UN Women pada November 2024 lalu, saat genosida Israel masih berlangsung. “Saya memikul tanggung jawab yang tidak pernah saya bayangkan.”

Nahal pernah menjadi siswa berprestasi, bahkan saat teman-teman dan teman sekelasnya meninggalkan Gaza untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri. Namun sejak serangan Israel pada Oktober 2023, hidupnya menjadi kacau balau.

“Sekarang, saya duduk di tenda dengan semua buku, seragam sekolah, dan tas saya hilang. Saya merasa seperti kehilangan masa depan, pendidikan, dan masa kecil saya,” katanya. “Mimpi saya adalah mengakhiri genosida ini dan menjadi guru sejarah, untuk berbagi kisah sejarah Palestina dan penderitaan kita yang tak berkesudahan.”

Genosida Israel memengaruhi semua orang di Gaza, mulai dari bayi hingga lansia seperti Thuraya Al Gourani yang berusia 85 tahun.

“Hidup saya dibentuk oleh pengungsian,” kata Al Gourani kepada UN Women.

“Saya masih ingat hari di tahun 1948 ketika ayah saya buru-buru mengumpulkan kami untuk melarikan diri dari rumah kami di Al Faluja, sebuah desa kecil yang terletak di antara Hebron dan Gaza, saat milisi Israel mendekat,” katanya. “Kami melarikan diri ke Khan Younis, meninggalkan segalanya.”

Sejak saat itu, Al Gourani telah mengalami tujuh perang, dan menceritakan bagaimana setiap kali keluarganya mengungsi, mereka tidak tahu apakah rumah mereka masih berdiri saat mereka kembali.

“Setiap perang semakin merenggut martabat kami,” katanya. “Genosida saat ini adalah yang paling kejam, berlangsung lebih lama dari sebelumnya.”

Kisah Perempuan Palestina saat Fase Pertama Gencatan Senjata: Pulang ke Rumah Seorang Diri tanpa Keluarga

GAZA CITY, GAZA - OCTOBER 17: Palestinian women carry their bottles of water after Israeli authorities have ceased supplying electricity, water and food as Israeli airstrikes continue in Gaza Strip on October 17, 2023. (Photo by Ali Jadallah/Anadolu via Getty Images)

Ilustrasi/Foto: Anadolu via Getty Images/Anadolu Agency

Gencatan senjata antara Hamas dan Israel resmi berlaku di Jalur Gaza Palestina pada 19 Januari 2025 sekitar pukul 11.15 waktu setempat. Mimpi buruk yang menghantui sejak serangan Israel pada Oktober 2023 kini berganti dengan adanya harapan baru untuk menjalani hidup tanpa bayang-bayang teror, bunyi ledakan, atau menyaksikan yang tercinta berpulang akibat kekejian Israel.

Warga berbondong-bondong pulang ke rumah setelah lama mengungsi selama genosida Israel di Palestina. Namun, kegembiraan itu berganti dengan rasa pilu ketika mereka melihat kenyataan yang terpampang di depan mata.

Aya Hassouna menjadi satu dari ratusan ribu warga Gaza yang pulang ke rumah. Namun, ia  pulang ke rumah seorang diri. Suami dan kedua anaknya tewas akibat serangan Israel.

“Sejak saat itu, saya berusaha untuk tetap kuat. Saya berusaha untuk bertahan dalam perpisahan ini,” kata Aya kepada Al Jazeera. “Namun, semua yang ada di sekitar saya mengingatkan saya pada mereka.”

Perjalanan pulang ke lingkungan as-Saftawi di Kota Gaza minggu lalu, sebagai bagian dari perjanjian gencatan senjata antara Israel dan Hamas, mengingatkan Aya pada banyak kenangan menyakitkan.

Ia ingat betapa suaminya, Abdullah, sangat ingin pulang. Pria itu sudah menyiapkan pakaian yang akan dikenakannya untuk perjalanan itu. Namun, impian pulang ke rumah itu tidak akan pernah terwujud.

Aya membawa pakaian suaminya dalam perjalanan panjangnya ke utara, begitu pula pakaian anak-anaknya. Meski hatinya dipenuhi kesedihan, ia tetap berjalan.

“Kesedihan menggerogoti hati saya,” kata Aya. “Kadang-kadang saya menangis. Saya melihat keluarga-keluarga berjalan bersama, seorang ibu, seorang ayah, dan anak-anak mereka. Sedangkan saya sendirian tanpa mereka.”

Aya tak tahu berapa lama perjalanannya sampai ke rumah. Pikirannya disibukkan dengan kehilangan yang tampak seperti lubang menganga di hatinya. Sesampainya di rumah, ia melihat apa pun yang tersisa dari rumahnya yang telah hancur selama genosida Israel.

Saat ia mencari-cari barang-barang lama di antara puing-puing untuk dijadikan kenangan, ia membayangkan dirinya mencari orang-orang yang dicintainya yang telah hilang, dan akhirnya menemukan mereka lagi.

“Apa yang bisa saya lakukan? Ini takdir saya," ucapnya.

Perempuan Palestina: Kekuatan Kami adalah Satu-satunya yang Tersisa

KHAN YUNIS, GAZA - OCTOBER 24: Women mourn after losing their relative in Israeli attacks as Israeli airstrikes continue on the 18th day, at Nasser Hospital in Khan Yunis, Gaza on October 24, 2023. (Photo by Abed Zagout/Anadolu via Getty Images)

Ilustrasi/Foto: Anadolu via Getty Images/Anadolu

Di tengah penderitaan tanpa henti yang dialami perempuan Palestina, mereka memilih untuk tetap berjuang dan mencari kekuatan untuk bertahan. Keteguhan perempuan Palestina adalah cerminan dari semangat mereka yang tak pernah padam. Perempuan Palestina menjadi bukti bahwa kekuatan sejati tidak hanya perihal fisik, tapi pada keteguhan hati.

Perempuan Palestina menjadi simbol keteguhan yang tak tergoyahkan. Mereka menghadapi penderitaan yang tak terbayangkan dengan keberanian yang menginspirasi. 

“Kami tidak meminta banyak—hanya hak untuk hidup dalam damai, untuk bernapas tanpa rasa takut,” kata Abu Harb kepada UN Women.

“Perempuan Palestina telah menanggung beban penderitaan ini, namun, kami masih di sini. Kami masih berdiri. Kekuatan kami adalah satu-satunya yang tersisa.”

***

Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!

(naq/naq)
Komentar
0 Komentar TULIS KOMENTAR
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.

RELATED ARTICLE