Kafe-Restoran yang Putar Suara Burung hingga Alam Tetap Wajib Bayar Royalti, Ini Penjelasan LMKN

Nadya Quamila | Beautynesia
Selasa, 05 Aug 2025 12:00 WIB
Kafe-Restoran yang Putar Suara Burung hingga Alam Tetap Wajib Bayar Royalti, Ini Penjelasan LMKN
Kafe-Restoran yang Putar Suara Burung hingga Alam Tetap Wajib Bayar Royalti, Ini Penjelasan LMKN/Foto: Pexels/Mehmet Turgut Kirkgoz

Polemik royalti musik masih menjadi perbincangan hangat dan panjang di kalangan masyarakat Indonesia, Beauties. Baru-baru ini Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menegaskan bahwa pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik, seperti kafe, restoran, hingga gym, wajib membayar royalti.

Hal ini membuat para pelaku usaha menghindari pemutaran lagu-lagu Indonesia agar tidak membayar royalti. Alternatifnya, mereka memilih untuk memutar suara burung hingga suara alam.

Namun, menurut ketua LMKN, memutar suara burung hingga alam di ruang publik juga bisa dikenai royalti, Beauties. Simak penjelasannya berikut ini, yuk!

Putar Suara Burung-Alam Tetap Wajib Bayar Royalti, Ini Alasannya

Kafe Instagramable di Jakarta/Foto: Freepik

Putar Suara Burung-Alam Tetap Wajib Bayar Royalti, Ini Alasannya/Foto: Freepik

Ketua LMKN Dharma Oratmangun menjelaskan bahwa suara alam hingga burung juga tetap terikat dengan pihak yang pertama kali merekam alias produser fonogram. Artinya, pelaku usaha akan tetap harus membayar royalti jika memutar suara tersebut, Beaties.

"Enggak ada kewajiban harus memutar musik. Tapi kalau mereka memutar musik di dalam itu, mau itu musik Indonesia atau lagu barat atau lagu tradisional itu wajib membayar hak cipta," ujar Dharma, dilansir dari detikcom

Apa alasannya menyetel suara burung atau alam di ruang publik dikenakan royalti?

"Nah sekarang kalau dia putar suara burung atau suara apapun, itu ada hak dari produsen fonogramnya. Produsen yang merekam itu kan punya hak terkait. Hak terhadap materi rekaman itu, itu juga hak terkait dari bentuk rekaman audio itu," jelas Dharma lagi.

Lantas, bagaimana dengan lagu-lagu dari musisi luar negeri? Hal sama tetap berlaku, pelaku usaha harus membayar royalti jika menyetel lagu luar negeri di tempat usaha mereka. Pembayaran royalti bisa dilakukan melalui LMKN.

"Jadi pakai lagu luar negeri pun harus bayar royalti melalui LMKN. Iya itu kan kita collab dengan LMKN yang ada di masing-masing negara gitu. Jadi himbauannya itu adalah, pakai aja musik, bayar royalti, selesai," tambahnya.

Pelaku Usaha yang Putar Musik di Ruang Publik Wajib Bayar Royalti, Termasuk Kafe, Gym, hingga Hotel

Restoran/Foto: Freepik

Pelaku Usaha yang Putar Musik di Ruang Publik Wajib Bayar Royalti, Termasuk Kafe, Gym, hingga Hotel /Foto: Freepik

Sebelumnya, sebuah gerai restoran di Bali dilaporkan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Sentra Lisensi Musik Indonesia (Selmi) karena tidak membayar lisensi atas lagu-lagu yang diputar di gerai mereka untuk komersial. Kasus ini telah masuk ke ranah pidana dan perdata.

Selama ini, jika kita pergi ke ruang publik, seperti restoran, kafe, gym, mall, kita sering mendengar lagu-lagu disetel, baik dari musisi Indonesia ataupun luar negeri. Tujuannya adalah agar pengunjung merasa terhibur, rileks, nyaman, dan betah saat menikmati pelayanan yang ditawarkan ruang publik.

Perlu dipahami, kewajiban membayar royalti untuk pemanfaatan produk seni, termasuk lagu, telah diatur dalam undang-undang yang berlaku, Beauties. 

Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum menegaskan bahwa setiap pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik termasuk restoran, kafe, toko, pusat kebugaran, dan hotel wajib membayar royalti kepada pencipta dan pemilik hak terkait.

Hal ini berlaku meskipun pelaku usaha telah berlangganan layanan seperti Spotify, YouTube Premium, Apple Music, atau layanan streaming lainnya, Beauties.

Direktur Hak Cipta dan Desain Industri, Agung Damarsasongko menjelaskan bahwa langganan pribadi seperti Spotify dan YouTube Premium tidak mencakup hak pemutaran musik untuk tujuan komersial di ruang publik.

“Layanan streaming bersifat personal. Ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, itu sudah masuk kategori penggunaan komersial, sehingga dibutuhkan lisensi tambahan melalui mekanisme yang sah,” ungkap Agung di Kantor DJKI, Jakarta Selatan, Senin (28/7), dikutip dari keterangan yang diunggah di situs resmi DJKI.

Pembayaran royalti dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sesuai amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.

LMKN bertugas menghimpun dan mendistribusikan royalti kepada para pencipta dan pemilik hak terkait. Skema ini memastikan transparansi dan keadilan bagi seluruh pelaku industri musik, serta memudahkan pelaku usaha karena tidak perlu mengurus lisensi satu per satu dari setiap pencipta lagu. Hal ini memberikan keseimbangan agar pencipta atau pemilik hak terkait musik/lagu mendapatkan hak ekonominya serta pengguna merasa nyaman dalam berusaha atau menggunakan lagu. 

Lantas, bagaimana jika pelaku usaha memutar musik instrumental bebas lisensi atau lagu dari luar negeri? Agung menyampaikan bahwa pelaku usaha tetap perlu berhati-hati.

“Tidak semua musik instrumental bebas dari perlindungan hak cipta. Beberapa lagu yang diklaim 'no copyright' justru bisa menjerat pelaku usaha dalam pelanggaran apabila digunakan tanpa verifikasi sumber. Termasuk lagu luar negeri jika mereka dilindungi hak cipta, kewajiban royalti tetap berlaku,” katanya.

Jika pelaku usaha tidak memiliki anggaran untuk membayar royalti musik, alternatif yang dapat dipilih adalah menggunakan musik bebas lisensi (royalty-free) atau musik dengan lisensi Creative Commons yang memperbolehkan penggunaan komersial, memutar musik ciptaan sendiri, menggunakan suara alam/ambience, atau bekerja sama langsung dengan musisi independen yang bersedia memberikan izin tanpa biaya.

Menanggapi hal ini, sebagian pelaku usaha khawatir terkait penggunaan lagu, bahkan ada yang menyatakan akan memblokir pemutaran lagu-lagu Indonesia demi menghindari pembayaran royalti.

Namun, Agung mengimbau agar tidak perlu khawatir dan takut. Pemblokiran pemutaran lagu-lagu Indonesia justru dapat melemahkan ekosistem musik lokal. Di sisi lain, aksi ini juga jadi menghilangkan apresiasi terhadap musisi Indonesia. 

Bagaimana menurutmu, Beauties?

***

Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!

(naq/naq)
Komentar
0 Komentar TULIS KOMENTAR
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.

RELATED ARTICLE