Kontroversi Sound Horeg, Ternyata Bisa Ganggu Kesehatan dan Lingkungan Laut
Keberadaan sound horeg menjadi fenomena yang sedang ramai diperbincangkan publik, terutama di media sosial. Istilah ini merujuk pada penggunaan sound system berukuran besar, yang disebut-sebut sebagai tradisi dalam berbagai perayaan di kawasan jawa Tengah dan Jawa Timur.
Namun walaupun dianggap sebagai kemeriahan, sebagian kalangan menganggap suaranya menggema dan ‘menggetarkan bumi’ ini sebagai sebuah gangguan. Saat ini, pembahasan tentang sound horeg sudah masuk ke ranah kesehatan hingga lingkungan hidup.
Laman ipb.ac.id sempat mengulas bahwa fenomena ini ternyata berdampak pada keseimbangan biota laut. Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa haram atas penggunaan sound horeg. Tapi, sebenarnya apa itu sound horeg? Kenapa suara keras ini bisa menimbulkan kontroversi yang begitu luas? Simak penjelasannya berikut ini!
Apa Itu Sound Horeg?
![]() Sound Horeg/Foto: Dian Utoro Aji/detikJateng |
Istilah sound horeg awalnya dikenal dari praktik penggunaan perangkat pengeras suara dengan volume ekstrem dalam acara hajatan, khususnya di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Menurut Kamus Bahasa Jawa-Indonesia (KBJI) Kemendikbud, kata ‘horeg’ berarti bergerak, bergetar, atau berguncang.
Sesuai dengan namanya, sebagaimana dilansir dari Detikcom, sound horeg adalah sebuah fenomena di mana masyarakat menggunakan alat penghasil suara (sound system) berukuran besar dengan volume yang cenderung tinggi. Alat ini menghasilkan dentuman sesuai alunan musik, yang bahkan bisa menggetarkan tanah dan benda-benda di sekitar.
Melansir DetikJateng, fenomena ini kerap dijumpai dalam kegiatan masyarakat di sejumlah wilayah Pulau Jawa, seperti Banyuwangi, Malang, Sidoarjo, hingga Surabaya. Biasanya sound horeg digunakan dalam pertunjukan organ tunggal yang dikombinasikan dengan musik dangdut koplo dan bass yang sangat dalam. Tak jarang, suara ini terdengar hingga radius beberapa kilometer dari lokasi acara.
Asal Usul Sound Horeg
Sound Horeg/Foto: Detikcom
Meskipun belum diketahui secara pasti sejak kapan sound horeg mulai muncul, tren ini disebut baru berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Menurut jurnal Perkembangan Sound System sebagai Budaya dan Kompetisi Sosial di Desa Sumbersewu, Kecamatan Muncar, Banyuwangi karya Allya Salsa Bilatul Kh. dkk., praktik "adu sound" mulai menjadi budaya tersendiri di masyarakat. Adu sound ini merujuk pada ajang unjuk kemampuan sound system, baik dari segi kekuatan, kualitas suara, hingga efek getarannya.
Melansir Detikcom, awalnya penggunaan sound system ini banyak digunakan dalam konteks religius, seperti menyambut malam takbiran Idul Fitri atau Idul Adha. Namun, seiring waktu, sound horeg juga merambah ke berbagai karnaval dan perayaan lain, terutama di wilayah Jawa Timur seperti Blitar, Kediri, dan Tulungagung. Dalam acara-acara ini, komunitas sound horeg biasanya akan membawa truk atau kendaraan yang dimodifikasi khusus untuk membawa speaker besar, lengkap dengan tata lampu dan operatornya.
Mereka yang aktif dalam komunitas ini bahkan sering disebut sebagai “masyarakat horeg,” yakni kelompok orang yang identik dengan sound system besar dan mobilitas tinggi saat ada acara atau perayaan tertentu. Sound horeg pun telah berkembang dari sekadar hiburan lokal menjadi bagian dari ekspresi sosial dan bahkan bentuk kompetisi antarkomunitas sound di berbagai daerah.
Mengapa Sound Horeg Jadi Kontroversial?
Ilustrasi Sound Horeg/Foto: Freepik.com/jcomp
Fenomena sound horeg mulai menuai kontroversi karena volume yang digunakan tak hanya mengganggu warga sekitar, tapi juga menimbulkan efek negatif bagi kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan, khususnya ekosistem laut.
Menurut penjelasan pakar kesehatan dari Universitas Airlangga dalam DetikJatim, suara bervolume tinggi bisa menyebabkan gangguan pendengaran permanen, stres, dan bahkan memicu penyakit jantung. Paparan suara ekstrem dalam jangka panjang jelas bukan hal sepele.
Dampak Terhadap Ekosistem Laut
![]() Ilustrasi Biota Laut/Foto: Freepik.com/wirestock |
Perhatian terhadap sound horeg tak hanya datang dari sisi sosial dan kesehatan, tapi juga dari kalangan akademisi lingkungan. Seperti dijelaskan oleh Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University, Prof Dietriech G Bengen, pada laman ipb.ac.id, suara dengan frekuensi rendah dan keras seperti sound horeg bisa merambat jauh hingga ke ekosistem perairan.
Suara ini mengganggu navigasi ikan, mengacaukan pola komunikasi makhluk laut, dan bahkan menyebabkan stres atau kematian pada beberapa spesies laut sensitif. Meski digunakan di darat, getaran suara dalam intensitas tertentu bisa mencapai kawasan pesisir yang rentan.
Fatwa Haram dan Tanggapan Pemerintah
Ilustrasi/Foto: Detikcom
Melihat dampaknya yang luas, Majelis Ulama Indonesia (MUI) akhirnya mengeluarkan fatwa bahwa penggunaan sound horeg hukumnya haram. Dilansir dari CNBC Indonesia, alasan utama fatwa ini adalah mudaratnya lebih besar dari manfaatnya.
Pihak Kementerian Hukum dan HAM pun turut merespons, menyebut bahwa langkah hukum bisa saja ditempuh jika ada pelanggaran terhadap kebisingan yang merugikan publik. Ini membuka ruang bagi aparat untuk mengambil tindakan tegas dalam penegakan hukum.
Fenomena sound horeg memang membuka diskusi lebih luas tentang batas antara hiburan dan ketertiban umum. Di satu sisi, warga tentu punya hak untuk merayakan hajatan atau pesta. Tapi di sisi lain, ketika suara yang dihasilkan sampai mengganggu kesehatan hingga merusak ekosistem laut, sudah saatnya semua pihak meninjau kembali batas wajar penggunaan sound system dalam kehidupan sehari-hari.
***
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!

