Ada banyak istilah di dunia kerja yang mungkin telah sering kamu dengar, mulai dari quiet quitting, bare minimum Mondays, hingga acting your wage. Kesamaan dari istilah-istilah itu adalah karena adanya hubungan yang kurang baik antara pekerja dan pemimpin perusahaan yang memicu kemunculan sikap tersebut.
Baru-baru ini, muncul pula istilah lain yang tak kalah populernya dibandingkan quiet quitting, yakni loud quitting. Bahkan dilansir dari Forbes, loud quitting ini lebih berbahaya daripada quiet quitting!
Dipicu Kurangnya Keseimbangan antara Kehidupan Profesional-Personal
Satu dari lima pekerja melakukan loud quitting, menurut penelitian terbaru yang dilakukan oleh Gallup. Ini adalah bagian dari tren penarikan diri dan ketidakpuasan yang ditunjukkan oleh para golongan pekerja kepada perusahaan.
Keputusan untuk menunjukkan kepada banyak orang bahwa mereka tidak puas dengan perusahaan biasanya adalah sebuah usaha balas dendam atau protes. Selain itu, tindakan ini biasanya dilakukan karena pekerja tidak lagi bisa merasakan keseimbangan antara kehidupan kerja dan personal.
Kekacauan dalam Perusahaan
Perilaku yang ditunjukkan oleh pelaku loud quitting, tentu, akan memberikan dampak negatif terhadap perusahaan. Pekerja yang melakukan loud quitting ini bisa saja meninggalkan perusahaan secara mendadak, menimbulkan keributan di depan umum, mengunggah komentar buruk secara daring, menolak mengerjakan tugas yang diberikan, dan melakukan tindakan lain yang bertujuan untuk mengganggu ataupun menyabotase perusahaan.
Tindakan berbahaya yang dilakukan oleh pelaku loud quitting ini akan menghancurkan moral dan produktivitas sehingga berdampak pada tradisi dan reputasi perusahaan. Jika dibiarkan berkelanjutan, gangguan ini akan membuat perusahaan kehilangan orang-orang berbakat dan meningkatkan beban kerja bagi pekerja yang tersisa.
Gallup melaporkan bahwa tren penarikan diri di dunia kerja ini merugikan perekonomian negara hingga 8,8 triliun USD.