Marak Kasus Kekerasan dan Pelecehan Seksual, Apa Penyebab Psikologisnya?

Patricia Astrid Nadia | Beautynesia
Kamis, 10 Oct 2024 07:45 WIB
Marak Kasus Kekerasan dan Pelecehan Seksual, Apa Penyebab Psikologisnya?
Foto: pexels.com/Karolina Grabowska

Dikenal sebagai seorang rapper dan musisi berbakat, Sean Combs atau yang akrab dipanggil P. Diddy terampil dalam menemukan talenta-talenta hebat bersuara khas. Bahkan, Diddy juga memiliki bisnis di bidang fashion dan rekaman yang digelutinya. Meski begitu, dari berbagai bukti yang dilaporkan, Diddy terjerat dalam kasus pelecehan seksual. 

Pada 16 September 2024 terkuak bahwa Diddy terlibat kasus perdagangan seks dan bisnis ilegal. Kasus-kasus Diddy berhubungan dengan isu kekerasan seksual, fisik, dan emosional pada bintang-bintang yang ia pilih untuk dijanjikan kerja sama dan kesuksesan dalam industri musik.

Bahkan korbannya pun meningkat dan diduga melibatkan korban di bawah umur. Meski sudah terkumpul bukti, P. Diddy menyangkal melakukan pelecehan seksual terhadap sejumlah korbannya. 

Isu tentang pelecehan seksual bukan hal baru. Namun, Beauties apa yang sebenarnya melandasi seseorang melakukan perilaku pelecehan seksual? Simak fakta-fakta psikologis yang dirangkum dari situs Verywellmind dan penelitian psikologi dari Elizabeth Hartney.

1. Pengalaman di Masa Kecil

Pengalaman Masa Kecil/Foto: Freepik.com/kamon_saejueng
Pengalaman Masa Kecil/Foto: Freepik.com/kamon_saejueng

Penyebab seseorang melakukan kekerasan seksual tentu bukan berakar dari satu sumber saja. Namun berbagai kemungkinan. Untuk itu Beautynesia ingin menyajikan berbagai kemungkinan yang bisa saja menjadi dasar penyebabnya. Ketika dalam sebuah hubungan keluarga, rasa cinta dan kedekatan yang positif muncul dalam bentuk kemarahan yang berujung pada kekerasan, maka yang melekat dalam pikiran seseorang adalah, idealnya sebuah hubungan harus didasari oleh kekerasan.

Hal tentang kekerasan seolah menjadi sesuatu yang biasa dan terkesan dimaklumi. Rasa marah yang bercampur dengan kekerasan seksual membuat anak menjadi bingung tentang bagaimana mengekspresikan cinta dengan baik.

Akibatnya, ketika dewasa jadi menormalisasi bahwa dalam sebuah hubungan hanya ada satu-satunya yang dapat dijalankan yaitu dengan kekerasan.

2. Punya Kekuasaan atau Power

Punya Kekuasaan atau Power/Foto: Freepik.com/Benzoix

Hadirnya power atau kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang dapat membuat pelaku kekerasan seksual memanfaatkan popularitas yang ia miliki untuk berhak mengatur orang lain. Mengatur di sini berbeda dengan memimpin seseorang. Tapi di sini kekuasaan dimanfaatkan secara semena-semena.

Kekuasaan yang dimiliki hanya dipakai untuk memenuhi kepentingan diri mereka sendiri atau ego si pelaku. Umumnya, sebagai pelaku juga tentu akan tampil lebih dominan dibandingkan korban yang berada dalam posisi di bawah atau lebih lemah.

3. Merasa Tidak Mampu dan Tidak Layak

Merasa Tidak Mampu dan Tidak Layak/Foto: Freepik.com/Freepik

Korban yang mengalami kekerasan seksual bisa jadi telah diyakinkan oleh pelaku bahwa mereka memang pantas mendapatkan perlakuan seperti itu. Misalnya, karena korban tidak lebih baik atau tidak lebih hebat dari si pelaku sehingga korban menjadi semakin merasa dirinya tidak berdaya dan tidak layak.

Di kemudian hari, ketika ingin menjalin relationship, berteman, atau bekerja dengan orang lain cenderung membiarkan diri mereka membangun suatu hubungan yang didasari oleh kekerasan seksual. Karena itu yang mereka anggap baik dan benar.  Mereka menerima bahwa memang sudah sepatutnya di dalam hubungan, tidak ada rasa perhatian dan cinta. Kedua hal itu dianggap sulit untuk digapai, sehingga terus dilakukan hal-hal yang mengarah kepada kekerasan.

4. Ingin Lari dari Realitas

Ingin Lari dari Realitas/Foto: Freepik.com/Freepik

Tak menutup kemungkinan, ketika seseorang sudah merasakan rasa tidak aman akibat kekerasan yang ia alami, bisa jadi ia ingin bergegas menyelesaikannya dengan jalan pintas. Kapasitas dirinya yang belum siap untuk menerima kondisi tersebut, membuatnya rela melakukan apapun, termasuk menjalin hubungan atau relasi percintaan yang dipenuhi oleh kekerasan.

Di mata pelaku kekerasan seksual, mendapatkan pasangan yang kerap melakukan kekerasan pada dirinya akan dinilai tetap ideal. Hal ini pun terus menjadi intensitas yang bertambah dan pelaku kekerasan seksual pun menormalisasi hal tersebut.

5. Rape Culture atau Sifat Meremehkan

Sifat Meremehkan/Foto: Freepik.com/tiko33

Ketika masyarakat menormalisasi kasus kekerasan seksual maka peluang untuk munculnya kasus kekerasan seksual akan semakin meningkat. Tentu tindakan ini akan terus terjadi karena pelaku berpikir, orang-orang tidak akan peduli dengan hal itu. Ditambah lagi korban yang merasa tidak memiliki power, akan merasa semakin tidak berdaya.

Korban cenderung memilih untuk diam, apalagi saat tahu pelaku memiliki power, kekuasaan atau pengaruh serta populer. Daripada mencari masalah lebih lanjut, maka korban pun diam dan aksi kekerasan ini terjadi terus. Pelaku pun berpikir ia punya celah untuk terus melancarkan aksinya.

Selain itu, korban pun malu dan khawatir untuk melaporkan karena menganggap hal tersebut adalah aib yang memalukan.

Oke, Beauties itu tadi berbagai ulasan dari fakta-fakta psikologis yang kemungkinan menjadi prediktor kenapa seseorang terdorong untuk melakukan kekerasan seksual. Jika kamu menjadi korban pelecehan seksual, jangan takut untuk melapor dan melakukan konseling, ya, Beauties!

***

Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk gabung ke komunitas pembaca Beautynesia B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!

(dmh/dmh)
Komentar
0 Komentar TULIS KOMENTAR
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.

RELATED ARTICLE