Mengenal 4 Suku Paling Primitif di Indonesia pada Era Modern, Kamu Sudah Tahu?
Indonesia memiliki beragam suku. Bahkan, beberapa di antaranya berlokasi terpencil yang hidupnya primitif dan terasingkan dari dunia luar.
Tentunya banyak orang luar yang penasaran dengan kehidupan suku-suku primitif tersebut. Apalagi di era modern dengan teknologi yang semakin canggih, suku-suku itu tetap lebih mempertahankan kehidupannya yang sederhana dan tidak mau menerima budaya dari luar.
Oleh karena itu, keberadaan suku primitif tersebut harus dijaga dan dilestarikan. Berikut ini ada empat suku paling primitif di Indonesia pada era modern.
1. Suku Togutil, Halmahera Timur, Maluku Utara
Suku Togutil, Halmahera Timur, Maluku Utara/Foto: detikTravel
Pertama, ada suku Togutil yang terletak di Halmahera Timur, Maluku Utara. Kehidupan suku ini masih sangat sederhana dan bergantung pada hutan. Di samping itu, mereka juga masih mempertahankan nilai dan tradisi leluhur. Maka tak heran jika keberadaan suku ini masih jauh dari teknologi, pembangunan fasilitas, maupun infrastruktur publik.
Melansir detikTravel, suku Togutil hidup nomaden di pedalaman hutan-hutan Halmahera Timur dekat aliran sungai. Namun, ada sedikit warga suku Togutil yang hidup di pesisir dan sudah mengenal peradaban modern serta berinteraksi dengan dunia luar.
Aktivitas para lelaki dengan mengumpulkan sagu, mencari getah damar dan gaharu, mencari ikan di sungai, hingga berburu babi serta rusa. Ada juga yang berkebun dengan menanam ubi kayu, pepaya, pisang, ubi jalar, dan tebu. Sementara itu, para perempuan bertugas meramu hasil buruan dan membersihkan kebun.
Rumah suku Togutil terbuat dari bambu, kayu, tidak berdinding, berlantai papan, dan beratap daun palem. Di dalamnya terdapat balai sebagai tempat tidur, dapur berupa tungku, dan para-para untuk meletakkan minuman dan makanan untuk para roh leluhur.
Mereka menganut kepercayaan pada roh alam lingkungan yakni Jou Ma Dutu, pemilik alam semesta yang disebut juga dengan ‘o -gokiri- moi’. Kemudian bahasa yang digunakan ialah bahasa Tobelo.
2. Suku Baduy, Lebak, Baten
Suku Baduy, Lebak, Banten/Foto: Kompas.com
Kalau Beauties pernah melihat orang melintas di pinggir jalan dengan baju kain sederhana berwarna hitam atau putih, ikat kepala, dan tak beralas kaki, maka ia adalah warga suku Baduy (Badui). Biasanya mereka hendak menjual madu atau mengunjungi saudara di kota.
Mengutip CNN Indonesia, orang Baduy menggunakan Bahasa Sunda dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa utama. Ada tiga lapisan dalam suku ini yakni Baduy Luar, Baduy Dangka, dan Baduy Dalam. Khusus untuk Baduy Dangka, mereka sudah tinggal di luar tanah adat dan tidak terikat aturan atau kepercayaan animism Sunda Wiwitan.
Untuk warga suku Baduy Luar bisa terlihat dari pakaiannya yang serba hitam dan ikat kepala biru. Sementara itu Baduy Dalam atau Baduy Jero mengenakan pakaian serba putih. Warga suku Baduy Dalam juga masih memiliki kedekatan dengan leluhur sehingga kepercayaan Sunda Wiwitan masih kental.
Baduy Dangka dan Baduy Luar selalu menyaring informasi dunia luar sehingga itulah yang membuat adat istiadat Suku Baduy tetap terjaga. Suku Baduy Dangka lebih sering membuka usaha jasa pemandu wisata, penjual oleh-oleh, dan tempat makan. Warga suku Baduy Dalam masih banyak yang Bertani dan beternak.
Â
3. Suku Polahi, Gorontalo
Suku Polahi, Gorontalo/Foto: detikNews
Suku Polahi merupakan suku terdalam asli dari Gorontalo. Bahasa yang digunakan pun bahasa asli Gorontalo zaman dahulu ataupun bahasa tubuh yang hanya dimengerti suku mereka sendiri.
Mereka tidak mau menerima pendatang dan hanya berdiam diri di gunung. Oleh karena itu, apabila Beauties ingin berkunjung dan bertemu dengan suku Polahi maka harus menggunakan pemandu yang sudah diterima oleh suku tersebut, seperti yang dilaporkan detikSulsel.
Di samping itu, karena mereka sangat tertutup dan tidak menerima budaya luar, maka masyarakat suku Polahi tidak memiliki kepercayaan atau agama apapun. Informasi tentang kehidupan masyarakat juga sangat terbatas. Tak heran juga, jika suku Polahi juga melakukan perkawinan sedarah namun keturunan suku Polahi tetap normal.
Mereka pun juga hidup secara nomaden daripada harus menetap di suatu tempat. Unikya, jika salah satu anggota suku ada yang meninggal, maka suku Polahi akan mencari tempat tinggal lain di Gunung Boliyohuto, Gotontalo.
Suku Polahi terbagi menjadi empat klister, yakni kelompok 9, 18, 21, dan 70. Angka ini menunjukkan jumlah keluarga di dalam satu kelompok. Kelompok 9 menjadi kelompok paling primitive dan sulit ditemui lantaran mendiami wilayah gunung tertinggi. Sementara klister 70 bermukim di sekitar kaki gunung dan sudah beradaptasi dengan penduduk Goronlao dengan turun ke pasar dan belajar berpakaian layak.
4. Suku Dani, Lembah Baliem, Papua
Suku Dani, Lembah Baliem, Papua/Foto: detikTravel
Suku Dani terletak di Lembah Baliem, pedalaman Papua yang dikelilingi Pegunungan Jayawijaya. Kehidupannya masih sangat primitif dan mereka tidak mengenakan pakaian, tetapi koteka yang menutupi alat kelamin pria dan rok Jerami untuk perempuan.
Berdasarkan detikTravel, suku Dani tinggal di Honai, sebutan gubuk bundar yang beratap Jerami. Mereka pun menganut kepercayaan pada nenek moyang, dinamisme, serta animisme. Mereka juga percaya pada Atou, kekuatan sakti nenek moyang yang diturunkan kepada anak laki-laki.
Ada banyak tradisi yang dilakukan masyarakat suku Dani. Mereka masih memasak tradisional dengan Bakar Batu untuk menyambut kelahiran, syukuran, pernikahan, hingga upacara kematian. Selain itu, mereka juga melakukan tradisi potong jari dengan kapak batu. Tradisi ini dilakukan oleh para perempuan di mana itu sebagai bentuk belasungkawa dari anggota keluarga yang meninggal.
***
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk gabung ke komunitas pembaca Beautynesia B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!