Mudik dengan Perjalanan Jauh di Bulan Ramadan, Apa Harus Tetap Berpuasa?

Belinda Safitri | Beautynesia
Kamis, 27 Mar 2025 03:00 WIB
Musafir Tidak Wajib Berpuasa
Musafir tidak wajib puasa/ Foto: Freepik.com/senivpetro

Mudik saat Ramadan selalu menjadi tantangan tersendiri bagi umat Muslim. Selain harus menyiapkan segala kebutuhan perjalanan, ada satu permasalahan yang sering muncul soal apakah harus tetap berpuasa saat menempuh perjalanan jauh. 

Di satu sisi, menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Namun, di sisi lain, perjalanan jauh saat mudik bisa menjadi kondisi yang melelahkan dan berisiko bagi kesehatan. 

Lantas, bagaimana sebenarnya hukum berpuasa saat akan bepergian jauh? Apakah harus tetap berpuasa atau ada keringanan? Yuk, simak penjelasan lengkapnya! 

Musafir Tidak Wajib Berpuasa

Musafir tidak wajib puasa/ Foto: Freepik.com/senivpetro

Dalam Islam, seseorang yang sedang dalam perjalanan jauh atau disebut musafir tidak diwajibkan berpuasa. Namun, jika memilih untuk tetap berpuasa dan mampu menjalaninya tanpa kesulitan, puasanya tetap sah.

Melansir Detik Hikmah, perjalanan jauh yang membolehkan seseorang untuk tidak berpuasa adalah perjalanan yang menempuh jarak minimal empat marhalah atau sekitar 88 km. Dalam kondisi ini, seseorang diberi keringanan untuk tidak menjalankan puasa selama perjalanan dan bisa menggantinya di hari lain.

Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 184: "Barang siapa di antara kalian sedang sakit atau dalam perjalanan, maka gantinya adalah pada hari-hari yang lain."

Ayat ini menjadi dasar bahwa perjalanan jauh termasuk salah satu kondisi yang memperbolehkan seseorang tidak berpuasa. Namun, tetap ada pilihan bagi musafir untuk berpuasa jika ia merasa mampu.

Musafir Boleh Membatalkan Puasa

Musafir membatalkan puasa/ Foto: Freepik.com/prostooleh

Mengutip Detik Sumbagsel, dalam beberapa hadis, Nabi Muhammad saw. menunjukkan bahwa membatalkan puasa saat perjalanan adalah keringanan yang diberikan Allah Swt. Salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Darda’ RA dalam HR. Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1122 menceritakan:

"Kami pernah bepergian bersama Nabi SAW pada bulan Ramadan ketika hari sangat panas, sampai ada seorang di antara kami meletakkan tangannya di atas kepala karena saking panasnya hari itu. Di antara kami tidak ada yang puasa kecuali Rasulullah saw. dan Abdullah bin Rawahah."

Hadis ini menunjukkan bahwa meskipun Nabi Muhammad saw. memilih tetap berpuasa, sebagian besar sahabat lebih memilih untuk tidak berpuasa karena kondisi perjalanan yang berat.

Selain itu, dalam hadis lain, Sayyidah Aisyah RA meriwayatkan bahwa Hamzah bin Amr al-Aslami RA bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang puasa dalam perjalanan. Kemudian, beliau menjawab:

"Jika kamu menghendaki maka berpuasalah, dan jika kamu menghendaki maka batalkanlah." (HR. Muslim dan Bukhari)

Hadis ini menegaskan bahwa membatalkan puasa adalah pilihan yang sah dalam perjalanan jauh dan tidak ada dosa bagi musafir yang memilih untuk tidak berpuasa.

Mana yang Lebih Utama bagi Musafir, Puasa atau Tidak?

Ilustrasi musafir/ Foto: Freepik.com/freepik

Meskipun ada keringanan, mana sebenarnya yang lebih utama dilakukan oleh musafir? Apakah tetap berpuasa atau membatalkannya? Dikutip dari NU Online, ulama terbagi menjadi dua kelompok soal permasalahan ini. 

Pendapat dari kelompok pertama menyatakan berpuasa lebih utama jika mampu menjalankannya tanpa kesulitan. Pendapat ini didukung oleh Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi'i. Mereka berpendapat bahwa jika seseorang kuat menjalankan puasa saat perjalanan, maka itu lebih baik karena tidak perlu mengganti di lain waktu.

Pendapat kedua, yaitu tidak berpuasa lebih utama karena Allah telah memberikan keringanan. Pendapat ini didukung oleh Imam Ahmad, Imam al-Auza’i, dan Imam Ishaq. Mereka berargumen bahwa membatalkan puasa adalah bagian dari kemudahan yang diberikan oleh Allah dan mengambil kemudahan tersebut lebih dianjurkan.

Kesimpulannya adalah musafir bisa memilih antara tetap berpuasa atau tidak, tergantung pada kondisi masing-masing. Hal itu sebagaimana pernyataan Imam al-Haramain al-Juwaini dalam Nihayah al-Mathlab fi Dirayah al-Madzhab:

"Maka musafir bisa memilih antara berpuasa dan tidak. Dan berpuasa itu lebih utama apabila tidak tampak adanya bahaya."

Jika perjalanan mudik terasa berat, lebih baik tidak berpuasa dan menggantinya di hari lain. Namun, jika perjalanan ringan dan tidak mengganggu ibadah puasa, maka berpuasa tetap menjadi pilihan yang utama. Jadi, keputusan terbaik bisa disesuaikan dengan kondisi fisik dan kemampuan masing-masing. Hal ini untuk memastikan agar ibadah tetap bisa dilakukan dengan maksimal tanpa membahayakan kesehatan.

***

Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk gabung ke komunitas pembaca Beautynesia B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!

(ria/ria)
Komentar
0 Komentar TULIS KOMENTAR
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.

RELATED ARTICLE