Serba-serbi Fenomena 'Artwashing', Upaya Pencitraan hingga Gentrifikasi Lewat Seni

Dimitrie Hardjo | Beautynesia
Senin, 08 Sep 2025 11:00 WIB
Artwashing dan Gentrifikasi
Galeri seni sebagai bentuk 'artwashing'. Pembangunan galeri seni di kawasan komunitas kecil bisa dilihat sebagai upaya 'artwashing' dan gentrifikasi./ Foto: Pexels.com/Bara Cross

Ada banyak cara korporasi menerapkan praktik hubungan masyarakat. Tujuannya pun beraneka macam, mulai dari meningkatkan brand awareness sampai dengan memoles citra perusahaan.

Namun sayangnya, belum tentu semua praktiknya diterapkan secara menyeluruh atau dengan kata lain, hanya performa belaka. Dari situ, muncul istilah-istilah seperti "greenwashing" dan juga "artwashing" yang membedakan perusahaan yang hanya performatif belaka.

"Artwashing" pun makin disoroti belakangan ini setelah terungkap bahwa acara festival musik Pestapora disponsori oleh PT Freeport Indonesia, Beauties. Hal itu pun membuat sejumlah artis pengisi acara memutuskan untuk mundur pada hari kedua dan ketiga.

Arti “Artwashing” dan Upaya Pencitraan

Vivo V60 Pestapora

Festival musik Pestapora 2025. Pestapora putuskan kerja sama dengan Freeport setelah tuai kritik/ Foto: Adi Fida Rahman/detikINET

“Artwashing” dijelaskan dalam Wiktionary sebagai praktik penggunaan seni (musik, seni rupa, teater, film, dan sebagainya) dan seniman dengan cara yang positif untuk mengalihkan perhatian atau melegitimasi tindakan negatif oleh individu, organisasi, negara, atau pemerintah, terutama yang berkaitan dengan gentrifikasi.

Tengok acara Pestapora pada 5-7 September 2025 lalu yang sempat disponsori oleh PT Freeport Indonesia, sebelum akhirnya pihak Pestapora memutuskan kerja sama di hari kedua. Freeport merupakan perusahaan tambang yang dikenal tidak berkelanjutan, merusak lingkungan, dan menyingkirkan masyarakat adat. Dukungan Freeport terhadap Pestapora pun dilihat sebagai “kamuflase” alat pencitraan perusahaan.

Bukan cuma di Indonesia saja, “Artwashing” juga pernah terjadi di acara-acara seni lainnya, seperti SXSW Film & TV Awards, yaitu festival film, media interaktif, musik, serta konferensi yang berlangsung tahunan. Pada perhelatannya di London, Inggris, pada bulan Juni lalu, mereka mengundang tokoh politik, yaitu Tony Blair dan David Cameron yang merupakan mantan Perdana Menteri Inggris, sebagai pembicara pembukaan konferensi, tanpa diumumkan sebelumnya dalam line-up. 

Melansir dari Euro News, di sana, Tony Blair berbicara tentang manfaat penggunaan artificial intelligence (AI) untuk layanan publik, Beauties. Namun sama seperti Pestapora, banyak artis yang batal tampil karena keterlibatan kedua politisi yang disebut sebagai penjahat perang dalam SXSW London.

Artwashing dan Gentrifikasi

Pembangunan galeri seni di kawasan komunitas kecil bisa dilihat sebagai upaya 'artwashing' dan gentrifikasi.

Galeri seni sebagai bentuk 'artwashing'. Pembangunan galeri seni di kawasan komunitas kecil bisa dilihat sebagai upaya 'artwashing' dan gentrifikasi./ Foto: Pexels.com/Bara Cross

“Artwashing” tak selalu sebagai upaya pencitraan, Beauties. Namun juga bisa berkaitan dengan gentrifikasi. Hal ini pernah menjadi sorotan di Los Angeles, Amerika Serikat, tepatnya kawasan Boyle Heights yang dikenal sebagai kawasan yang didominiasi kelas pekerja Hispanik.

Mengutip dari The Guardian, pembukaan galeri seni di kawasan tersebut pada tahun 2016 memicu perdebatan dengan aktivis yang berusaha melindungi komunitas lokal dari gentrifikasi. Menurut aktivis Maga Miranda, “galeri seni adalah bagian dari upaya yang lebih luas oleh para perencana, politisi, dan pengembang yang mengupayakan gentrifikasi melalui seni.”

Hal ini pun menuai pro dan kontra. Sebab pada satu sisi, keputusan tersebut dianggap berakar dari realitas manusia di mana seni dinilai dapat menghidupkan kembali suatu lingkungan. Bukan untuk menutupi ketidaksetaraan.

Namun di sisi lainnya, sebagaimana dikutip dari laman Artspace, bukan berarti warga Boyle Heights tidak menyukai seni; melainkan mereka secara proaktif mengatasi dampak buruk ruang seni terhadap komunitas tersebut. Sebab, ketika pengembang melihat lingkungan yang ramai dengan galeri seni dan kafe-kafe mewah, mereka melihat potensi keuntungan yang sangat besar.



Bagaimana Mengenali “Artwashing”?

Tidak dipungkiri kita bisa saja menemukan praktik “artwashing” di kemudian hari. Oleh karena itu, kita wajib waspada, Beauties. Caranya yaitu dengan bertanya kepada diri sendiri sebelum beli tiket dan mengunjungi acara seni yang bersangkutan.

Coba cek penyelenggara dan sponsornya. Lalu, perhatikan apakah mereka punya rekam jejak yang berhubungan kerusakan lingkungan, eksploitasi pekerja, atau aksi yang merusak image-nya? Apakah pihak tersebut terlibat dalam pengembangan daerah urban atau gentrifikasi yang akan menyingkirkan penduduk asli setempat? Apa tujuan pihak tersebut mendukung acara seni: dirancang untuk meningkatkan citra saja atau benar-benar mendukung seni? Apakah acara seni tersebut diinisiasi oleh perusahaan, atau secara organik oleh seniman komunitas dan inisiatif budaya?

Beberapa pertanyaan tersebut bisa membantumu untuk kritis tentang pihak penyelenggara atau pun sponsor yang “artwashing”.

***

Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk gabung ke komunitas pembaca Beautynesia B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!

(dmh/dmh)
Komentar
0 Komentar TULIS KOMENTAR
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.