Sibuk Perbaiki Pasangan, Ini 5 Tanda Kamu Adalah Seorang "Fixer" dalam Hubungan

Florence Febriani Susanto | Beautynesia
Senin, 04 Aug 2025 22:30 WIB
Sibuk Perbaiki Pasangan, Ini 5 Tanda Kamu Adalah Seorang
Tanda Kamu Seorang Fixer/Foto: Freepik

Beauties, apakah kamu sering merasa harus memperbaiki pasanganmu? Mungkin kamu pikir kamu cuma perhatian. Tapi bisa jadi kamu sedang terjebak dalam peran fixer dalam hubungan. Tanpa disadari, kamu terlalu sibuk “menyelamatkan” orang lain, hingga lupa menyelamatkan dirimu sendiri.

Gaya cinta seperti ini memang terlihat penuh kasih. Tapi jika tidak kamu sadari, lama-lama bisa melelahkan dan nggak sehat. Yuk, cek apakah kamu termasuk orang yang suka jadi fixer dilansir dari Bolde!

Kamu Melihat Potensi, Bukan Masalah

Pasangan Berkonflik/Foto: Freepik

Tanda kamu adalah seorang fixer yang paling jelas adalah kamu jatuh cinta pada “potensi” pasangan, bukan pada orangnya sekarang. Seolah kamu punya radar khusus untuk melihat “permata tersembunyi” dalam diri mereka. Kamu yakin dia bisa jadi lebih baik, dengan bantuanmu.

Tapi hati-hati, Beauties. Psikolog Dr. John Mayer mengingatkan, "Ada garis tipis antara melihat potensi dan mengabaikan kenyataan." Kamu bisa jadi terlalu sibuk merancang masa depan pasangan, sampai lupa apakah dia layak diperjuangkan sekarang. Niat baikmu bisa berubah jadi beban yang melelahkan, lho!

Ketika kamu terus fokus pada siapa mereka bisa menjadi, kamu kehilangan kesempatan untuk bertanya, apakah kamu bahagia dengan dia sekarang? Ini bukan soal menyerah, tapi realistis. Jangan sampai kamu menyusun masa depan untuk seseorang yang bahkan belum siap berjalan bersamamu hari ini.

Kamu Menunjukkan Cinta Lewat “Membantu”

Pasangan Berusaha Menyelesaikan Masalah/Foto: Freepik

Gaya cinta kamu mungkin penuh aksi. Kamu masak, bantu kerjaan, urus masalahnya, semua karena kamu peduli. Dalam gaya pacaran Gen Z, ini sering disebut sebagai love language acts of service. Tapi kalau berlebihan, bisa bikin pasanganmu merasa ditekan, bukan dicintai.

Menurut Dr. Gary Chapman, penulis buku The 5 Love Languages, setiap orang mengekspresikan cinta dengan cara berbeda. Jadi meski kamu merasa sudah "berusaha maksimal", belum tentu pasanganmu merasa dicintai. Apalagi jika kamu berharap ada balasan setimpal.

Gestur kasih sayang harus tulus, bukan karena kamu menghitung-hitung siapa berbuat lebih banyak. Kalau kamu mulai merasa kesal saat bantuanmu tak dihargai, itu tanda kamu perlu refleksi. Jangan sampai kamu jatuh ke dalam pola fixer di hubungan, yang tanpa sadar menjadikan cinta sebagai transaksi.

Kamu Menghindari Konflik Demi Damai Semu

Menghindari Konflik/Foto: Freepik

Fixer cenderung menghindari konfrontasi. Kamu mungkin takut konflik akan merusak hubungan, jadi kamu memilih diam. Kamu berusaha menjaga semuanya tetap damai, meski kamu sendiri menanggung rasa tak nyaman.

Kamu ingin menjadi penengah, bukan pemicu pertengkaran. Tapi Beauties, damai yang dipaksakan itu nggak sehat. Seperti menyapu debu ke bawah karpet, masalahnya nggak hilang cuma disembunyikan. Akhirnya, emosi menumpuk dan meledak dengan cara yang lebih buruk.

Padahal konflik yang sehat justru bisa memperkuat hubungan. Saat kamu berani menyuarakan isi hati dan mendengar keluhan pasangan, kamu membangun jembatan pengertian. Jadi, kalau kamu selalu memilih diam demi damai, tanyakan lagi apakah ini benar-benar damai atau cuma takut kehilangan?

Kamu Merasa Bertanggung Jawab Atas Emosi Pasangan

Pertengkaran Pasangan/Foto: Freepik

Kalau pasanganmu sedih, kamu panik. Kalau dia marah, kamu merasa bersalah. Bahkan saat itu bukan salahmu, kamu tetap merasa harus menyelesaikan semuanya. Fixer dalam hubungan sering kali memikul emosi orang lain seolah itu tanggung jawab pribadinya.

Penelitian dalam Journal of Social and Clinical Psychology menyebutkan bahwa mengambil tanggung jawab emosional secara berlebihan bisa memicu codependency. Artinya, kamu terlalu terikat secara emosional sampai kehilangan batas diri.

Ingat Beauties, pasanganmu bukan masalah yang harus kamu pecahkan. Emosi mereka bukan tugas sekolah yang harus kamu selesaikan. Tugas kamu adalah mendampingi, bukan mengambil alih. Ketika kamu memberi ruang pada pasangan untuk mengelola emosinya sendiri, kamu menghormati mereka sebagai individu dewasa.

Kamu Sulit Melepaskan Hubungan yang Toxic

Pertengkaran Pasangan Toxic/Foto: Freepik

Tanda fixer di hubungan yang sering muncul adalah sulit melepaskan meski tahu hubungannya menyakitkan. Kamu percaya bahwa cinta bisa menyembuhkan semuanya. Kamu terus bertahan dengan harapan bahwa pasanganmu akan berubah, asal kamu cukup sabar dan gigih.

Sayangnya, tidak semua orang mau atau bisa berubah. Kadang, bertahan bukan berarti setia, tapi takut kehilangan. Dan kamu menyebut pengorbanan sebagai cinta, padahal itu bentuk penyangkalan.

Melepaskan bukan tanda menyerah. Itu adalah tanda kamu menyayangi dirimu sendiri. Menurut banyak terapis hubungan, kamu nggak bisa menyelamatkan semua orang, apalagi mereka yang bahkan belum mau menyelamatkan dirinya sendiri. Jadi, jika kamu merasa terus terluka, mungkin inilah waktunya memilih dirimu lebih dulu.

Beauties, jadi fixer itu bukan hal buruk. Banyak fixer adalah orang-orang yang tulus, peduli, dan penuh cinta. Tapi jika kamu terus-menerus menempatkan kebutuhan orang lain di atas kebahagiaanmu, hubungan bisa jadi tidak seimbang. Kamu yang akhirnya merasa kelelahan sendiri.

Hubungan sehat adalah tempat dua orang tumbuh bersama. Bukan satu orang memperbaiki yang lain. Kalau kamu merasa mulai kehilangan arah karena terlalu fokus pada "memperbaiki", mungkin sudah saatnya mengalihkan energi itu ke dirimu sendiri. Kamu juga pantas dicintai tanpa harus jadi penyelamat!

***

Ingin jadi salah satu pembaca yang dapat ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!

(naq/naq)
Komentar
0 Komentar TULIS KOMENTAR
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.

RELATED ARTICLE