Viral Anak Muda Mau Setop Ngevape Usai Tahu Jerit Tangis Pekerja Anak di Kongo, Ada Apa?
Baru-baru ini banyak anak muda mengaku ingin berhenti menggunakan vape atau rokok elektrik. Bukan karena alasan kesehatan atau biaya, namun karena solidaritas terhadap rakyat Republik Demokratik Kongo.
Seruan untuk berhenti menggunakan vaping ini bermula dari video yang viral di TikTok, diunggah oleh Kristina (@itskristinamf). Video itu kini sudah mencapai 1,5 juta penanyangan dan menjadi viral.
"Saya tahu ini adalah kata-kata terakhir yang Anda pikir akan pernah saya ucapkan dalam hidup saya, tapi saya berhenti vaping," ungkap Kristina dalam video TikToknya, dilansir dari VICE.
Menurut Badan Pengungsi PBB (UNHCR), Kongo saat ini sedang menghadapi "salah satu krisis kemanusiaan paling kompleks di dunia". Ketidakstabilan dan kekerasan selama puluhan tahun telah meningkat dalam beberapa bulan terakhir ketika sekitar 120 kelompok bersenjata berusaha untuk menguasai sumber daya dan tanah.
Menurut PBB, sekitar enam juta orang telah mengungsi akibat konflik dan menghadapi kelaparan serta kekerasan berbasis gender.
Jerit Tangis Warga Kongo, Korban Tambang Kobalt
Tambang Kobalt Tindas Warga Kongo/Foto: AFP via Getty Images/JUNIOR KANNAH
Konflik di Kongo terkonsentrasi di provinsi-provinsi timur, yang kaya akan mineral seperti kobalt, yang memainkan peran penting dalam pembuatan baterai litium-ion untuk perangkat elektronik seperti telepon, kendaraan listrik, dan vape. Sekitar 74 persen kobalt dunia ditambang di Kongo pada tahun 2021, menurut Cobalt Institute.
Menurut Pelacak Konflik Global dari Pusat Tindakan Pencegahan, seiring dengan meningkatnya permintaan akan kobalt dan mineral lain yang digunakan untuk membuat perangkat elektronik canggih, industri pertambangan telah mengambil alih sebagian besar wilayah Kongo, sehingga menyebabkan lebih banyak warganya mengungsi dan timbul konflik.
“Saya telah mempelajari apa yang terjadi di Kongo dan kondisi di sana karena kobalt, karena kita membutuhkannya untuk barang elektronik,” kata Kristina dalam video tersebut. “Dan saya bertanya-tanya, apa yang bisa saya lakukan untuk membantu apa yang terjadi di Kongo?”
Diperkirakan sebanyak 150 juta vape terbuang setiap tahunnya, membuang material bernilai miliaran dolar seperti besi, tembaga, dan kobalt ke tempat pembuangan sampah. Ketika banyak orang mencari cara untuk membantu masyarakat Kongo dari jauh, seruan untuk membatasi limbah elektronik menjadi viral di TikTok.
“Berhenti menggunakan vaping sebagai bentuk solidaritas dengan Kongo, anak-anak di seluruh dunia, dan Bumi itu sendiri sebenarnya adalah praktik yang fenomenal,” kata akun @queeratine dalam sebuah video yang sudah ditonton satu juta kali.
Banyak Pekerja Anak di Tambang Kobalt Kongo
Banyak Pekerja Anak di Tambang Kobalt Kongo/Foto: Getty Images/Lynsey Addario
Penambangan kobalt tidak hanya memicu konflik, tetapi juga berbahaya dalam praktiknya. Penambangan kobalt disebut sebagai perbudakan modern oleh Siddharth Kara, pakar penambangan kobalt di Kongo.
Kara mengatakan kepada NPR, "kobalt beracun jika disentuh dan dihirup—dan ada ratusan ribu masyarakat miskin Kongo yang menyentuh dan menghirupnya setiap hari. Ibu-ibu muda dengan bayi terikat di punggung mereka, semuanya menghirup debu kobalt beracun ini. ”
Departemen Tenaga Kerja AS menambahkan baterai litium-ion ke dalam daftar produk yang dibuat oleh pekerja anak pada tahun 2022, khususnya karena betapa seringnya anak-anak dipaksa menambang kobalt di Kongo.
Menurut situs resmi Amnesty International, lebih dari 40 ribu anak di Kongo harus memikul 20 hingga 40 kilogram hasil tambang kobalt setiap hari. Pekerjaan itu dilakukan 12 jam penuh, dengan upah hanya 1-2 USD per hari (setara Rp15-30 ribu).
Banyak pekerja anak yang sering jatuh sakit akibat pekerjaan tersebut. Menghirup debut kobalt dapat menyebabkan penyakit pada paru-paru. Sedangkan kulit yang kontak langsung dengan kobalt dapat menyebabkan dermatitis atau peradangan pada kulit. Fakta menyayat hati lainnya, sering kali mereka tidak memiliki masker atau sarung tangan untuk melindungi diri saat bekerja.
Eksploitasi pekerja anak sendiri adalah isu global berbagai negara di dunia. Menurut UNICEF, sekitar 160 juta anak menjadi sasaran pekerja anak pada awal 2020, dengan tambahan 9 juta anak berisiko akibat dampak COVID-19.
***
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!