Di Balik Canggih dan Mahalnya Smartphone, Ada Tangis dan Jerit Minta Tolong Pekerja Anak di Kongo
Smartphone atau ponsel pintar adalah barang yang begitu erat dengan kehidupan manusia di era digital saat ini. Setiap tahunnya, berbagai jenama ponsel berlomba-lomba untuk mengeluarkan produk terbaru dengan spesifikasi yang begitu canggih dan pastinya, harga yang selangit.
Namun, di balik canggih dan mahalnya smartphone yang digenggam setiap hari, tahukah kamu benda tersebut 'menyimpan' tangisan dan jerit minta tolong pekerja anak di Kongo?
Dalam smartphone, laptop, ataupun kendaraan listrik, terdapat baterai yang salah satu bahan bakunya adalah kobalt. Tanpa bahan baku satu ini, kamu tidak bisa scrolling media sosial menggunakan smartphone, membuka email di laptop, atau mengendarai mobil listrik.
Sayangnya tak banyak yang tahu, kobalt tersebut didapatkan dari hasil kerja paksa yang melibatkan anak-anak di Kongo.
Anak-anak di Kongo/ Foto: Getty Images/Lynsey Addario |
Dilansir dari Reuters, bekerja sama dengan kelompok kampanye African Resources Watch (Afrewatch), organisasi Amnesty Internasional mengungkapkan bahwa jenama raksasa di bidang teknologi, seperti Apple, Samsung, Microsoft, hingga Sony menggunakan baterai lithium dari kobalt hasil eksploitasi anak-anak Kongo.
Sebagian besar pasokan kobalt berasal dari Kongo, di mana negara ini memiliki catatan yang panjang soal eksploitasi anak. Menurut situs resmi Amnesty International, lebih dari 40 ribu anak di Kongo harus memikul 20 hingga 40 kilogram hasil tambang kobalt setiap hari. Pekerjaan itu dilakukan 12 jam penuh, dengan upah hanya 1-2 USD per hari (setara Rp15-30 ribu).
Banyak pekerja anak yang sering jatuh sakit akibat pekerjaan tersebut. Menghirup debut kobalt dapat menyebabkan penyakit pada paru-paru. Sedangkan kulit yang kontak langsung dengan kobalt dapat menyebabkan dermatitis atau peradangan pada kulit. Fakta menyayat hati lainnya, sering kali mereka tidak memiliki masker atau sarung tangan untuk melindungi diri saat bekerja.
Salah seorang anak yang bekerja di tambang kobalt di Kongo, Paul (14), memulai pekerjaan tersebut di usia 12 tahun. Ia bekerja di bawah tanah, dan menghabiskan 24 jam di dalam terowongan.
"Saya tiba [di tempat kerja] di pagi hari dan baru pulang keesokan paginya," tuturnya, dikutip dari situs resmi Amnesty.
KAWAMA, DEMOCRATIC REPUBLIC OF CONGO - JUNE 8 A creuseur, or digger, descends into a copper and cobalt mine in Kawama, Democratic Republic of Congo on June 8, 2016. Cobalt is used in the batteries for electric cars and mobile phones. Working conditions are dangerous, often with no safety equipment or structural support for the tunnels. The diggers say they are paid on average US$2-3/day. (Michael Robinson Chavez/The Washington Post via Getty Images)/ Foto: The Washington Post via Getty Im/The Washington Post |
Alasan anak-anak tersebut rela bekerja di tambang kobalt adalah supaya mereka bisa mengenyam pendidikan di sekolah. Mereka yang bersekolah akan bekerja selama 10-12 jam di akhir pekan dan liburan sekolah, serta sebelum dan sepulang sekolah.
Meskipun menurut undang-undang di Kongo pendidikan dasar gratis dan wajib, namun kurangnya dana negara mengindikasikan bahwa sekolah membebankan biaya kepada orangtua untuk menutupi biaya seperti gaji guru dan buku.
Mantan pekerja anak di Kongo, Yannick juga mengalami hal serupa. Ia putus sekolah dan memutuskan untuk bekerja di tambang pada usia 7 tahun. Ia bekerja demi menghidupi keluarganya; sang ibu jatuh sakit, ayahnya sudah tiada, dan tidak ada keluarganya yang dapat membantu.
Yannick menggambarkan seperti apa beratnya bekerja di tambang. Bekerja di tambang melibatkan kerja fisik yang intens, di mana ia hanya menggunakan alat berupa linggis. Selain itu, kondisi di bawah tanah umumnya panas dan lengket.
Lingkungan kerja yang toxic juga dirasakannya. Ia mengungkapkan bahwa mantan bosnya memaksa pekerja di bawah umur untuk bekerja dalam waktu yang lama tanpa istirahat.
A child and a woman break rocks extracted from a cobalt mine at a copper quarry and cobalt pit in Lubumbashi on May 23, 2016. - The price of copper has fallen heavily, directly impacting workers in the town. (Photo by JUNIOR KANNAH / AFP) (Photo by JUNIOR KANNAH/AFP via Getty Images)/ Foto: AFP via Getty Images/JUNIOR KANNAH |
"Orang-orang meninggal di tambang, dan Anda bisa mati lemas saat berada jauh di dalam tambang. Saat hujan, banyak tanah longsor," ungkapnya, dilansir dari ABC News.
"Ketika kami bekerja di sana dan ketika seseorang melukai dirinya sendiri, kami bahkan tidak bisa melihatnya, orang itu harus pergi dan dirawat sendiri, karena kami ada di sana untuk bekerja," tambahnya.
Sebelum merilis laporan soal eksploitasi anak di Kongo, Amnesty Internasional menerima sejumlah tanggapan dari perusahaan elektronik yang mereka sebutkan. Beberapa perusahaan tidak menanggapi. Beberapa perusahaan lainnya mengatakan sedang mempelajari hasil temuan tersebut.
Namun Amnesty International menerbitkan sebuah laporan pada akhir tahun 2017: tidak satupun dari perusahaan tersebut melakukan upaya yang cukup untuk memastikan bahwa kekayaan yang mereka dapatkan tidak dibangun di atas kerja keras, upah yang buruk, hingga risiko kematian pekerja anak yang tertindas di Kongo.
Tak bisa dipungkiri smartphone berperan penting dalam menunjang aktivitas sehari-hari di era masa kini. Namun tentu kita tidak bisa menutup mata soal fakta eksploitasi anak di Kongo; perjuangan, jerih payah, dan jeritan minta tolong yang sering kali dibungkam itu yang ada di balik canggihnya sebuah smartphone.
Partisipasi anak dalam pertambangan diakui sebagai salah satu bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Pemerintah memiliki kewajiban hukum tidak hanya untuk mencegah hal ini, tetapi menghilangkannya sama sekali.
Ilustrasi smartphone/Foto: freepik/jcomp |
Tak hanya itu, perusahaan yang menghasilkan produk tersebut memiliki tanggung jawab untuk memeriksa pekerja anak dalam rantai pasokan mereka, menanganinya di tempat mereka menemukannya, dan mengungkapkan kepada publik langkah-langkah yang telah mereka ambil dalam mengatasinya.
Menurut Amnesty Internasional, perusahaan juga harus mengakui pelanggaran hak asasi manusia yang ada dalam rantai pasokan mereka jika mereka menemukannya. Jika perusahaan telah berkontribusi, atau mendapat manfaat dari, pekerja anak atau orang dewasa yang bekerja dalam kondisi berbahaya, ia bertanggung jawab untuk memulihkan kerugian yang diderita.
Ini berarti bekerja dengan perusahaan lain dan pemerintah untuk menghapus anak-anak dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dan mendukung reintegrasi mereka ke sekolah, serta menangani kebutuhan kesehatan dan psikologis.
Eksploitasi pekerja anak sendiri adalah isu global berbagai negara di dunia. Menurut UNICEF, sekitar 160 juta anak menjadi sasaran pekerja anak pada awal 2020, dengan tambahan 9 juta anak berisiko akibat dampak COVID-19.
***
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk gabung ke komunitas pembaca Beautynesia B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!
Anak-anak di Kongo/ Foto: Getty Images/Lynsey Addario
KAWAMA, DEMOCRATIC REPUBLIC OF CONGO - JUNE 8 A creuseur, or digger, descends into a copper and cobalt mine in Kawama, Democratic Republic of Congo on June 8, 2016. Cobalt is used in the batteries for electric cars and mobile phones. Working conditions are dangerous, often with no safety equipment or structural support for the tunnels. The diggers say they are paid on average US$2-3/day. (Michael Robinson Chavez/The Washington Post via Getty Images)/ Foto: The Washington Post via Getty Im/The Washington Post
A child and a woman break rocks extracted from a cobalt mine at a copper quarry and cobalt pit in Lubumbashi on May 23, 2016. - The price of copper has fallen heavily, directly impacting workers in the town. (Photo by JUNIOR KANNAH / AFP) (Photo by JUNIOR KANNAH/AFP via Getty Images)/ Foto: AFP via Getty Images/JUNIOR KANNAH
Ilustrasi smartphone/Foto: freepik/jcomp