Inovasi Kain Alternatif Paling Sustainable yang Banyak Digunakan Industri Versi Business of Fashion

Dimitrie Hardjo | Beautynesia
Senin, 23 Jan 2023 16:00 WIB
Inovasi Kain Alternatif Paling Sustainable yang Banyak Digunakan Industri Versi Business of Fashion
Foto: Unsplash.com/Alyssa Strohman

Fashion merupakan salah satu industri paling tidak berkelanjutan di dunia dengan kontribusi 3% - 5% emisi karbon global––sebuah fakta yang diungkapkan dalam data State of Fashion 2023 yang dirilis Business of Fashion dan Mckinsey.

Dalam laporan tersebut, fashion berkelanjutan turut jadi tema besar fashion 2023. Mereka menyebutkan hasil analisis terhadap sejumlah kain alternatif yang dibuat sebagai opsi lebih ramah lingkungan.

Namun diantara banyaknya inovasi tekstil tersebut, hanya segelintir yang dinilai signifikan, terukur dan punya skala besar. Berikut daftarnya.

Certified Cotton

Label certified cotton oleh GOTS/
Label certified cotton oleh GOTS/ Foto: instagram.com/globalorganictextilestandard

Cotton merupakan kain yang paling umum digunakan untuk pakaian. Selain nyaman, lembut, dan menyerap keringat, harga material cotton juga masih terjangkau. Namun mungkin Beauties pernah mendengar bagaimana proses pembuatan cotton konvensional sangat tidak ramah lingkungan, mulai dari pestisida yang digunakan saat membudidayakan tanaman kapas hingga menjadi hasil akhirnya berupa pakaian.

Certified cotton menggunakan serat organik bersertifikasi internasional di mana setiap proses produksinya harus memenuhi standar. Misalnya pembudidayaan secara etis tidak membahayakan pekerja serta manufaktur bertanggung jawab. Sertifikasi ini dikenal sebagai Global Organic Textile Standards (GOTS).

 

Man-Made Cellulosic Fibre (MMCF)

Man-made Cellulosic Fibre yang diterapkan Tencel/
Man-made Cellulosic Fibre yang diterapkan Tencel/ Foto: instagram.com/tencel_global

Karena serat alami, maka MMCF merupakan kain plant-based. Pembuatannya biasa menggunakan ampas bambu atau tanaman lain yang diolah menjadi kain. Dengan MMCF, industri dapat mengurangi penggunaan serat sintetis dari minyak serta penggunaan air dalam pengolahannya.

Viscose, Acetate, Lyocell, Modal, dan Cupro merupakan lima jenis diantaranya yang mulai banyak dipergunakan industri fashion. Sederet kain ini juga diketahui mudah terurai alias biodegradable.

Hanya saja masih terdapat kontra dari penerapan MMCF karena bisa menimbulkan deforestasi. Closed-loop cycle serta pengambilan bahan baku dari hutan yang diizinkan masih diusahakan oleh para pelaku industri untuk membuat alternatif kain ini lebih ramah lingkungan. 



Recycled Polyester

Puffer jacket Patagonia yang menggunakan recycled polyester/
Puffer jacket Patagonia yang menggunakan recycled polyester/ Foto: patagonia.com

Polyester konvensional membutuhkan substansi minyak dalam pembuatannya. Karena itu, tercetuslah recycled polyester atau polyester daur ulang yang berasal dari PET Bottles atau botol plastik untuk mengurangi dampak negatif bagi lingkungan.

Recycled Polyester sudah mulai diproduksi dalam skala besar. Namun kendalanya ialah banyaknya industri lain yang juga mulai beralih ke rPET dan menyebabkan permintaan yang tinggi. Sementara kendala lainnya yaitu setelah penggunaan kain recycled polyester, maka kain ini tidak bisa didaur ulang lagi.

Siklus Fashion Konvensional yang Buruk Bagi Lingkungan

Foto: instagram.com/fashionforgood

McKinsey menyebutkan produksi material punya dampak negatif paling besar terhadap lingkungan dari keseluruhan siklus fashion. Setiap tahapan pembuatan kain mengeluarkan emisi dan serta substansi yang membahayakan lingkungan. 

Produksi material timbulkan kerusakan lingkungan/
Produksi material timbulkan kerusakan lingkungan/ Foto: instagram.com/fashionforgood

Pada tahapan pertama, sebesar 35% pengaruh negatif muncul dari proses pengolahan bahan baku menjadi serat kain. Angka yang cukup besar itu diikuti oleh tahapan berikutnya, yaitu kain dibasahkan dengan air dan pemintalan benang–– 30% kerusakan lingkungan terjadi dari proses ini. Bukan sekadar dari jumlah air yang digunakan, tapi proses ini juga menghasilkan microplastic yang mencemari lingkungan.

Tahapan selanjutnya dalam siklus yakni manufaktur pakaian yang memberi dampak 5%, dilanjutkan retail/konsumsi sebesar 25% dan penggunaan terakhir 5%.

Dengan adanya inovasi tekstil berkelanjutan melalui teknologi, persentase tersebut bisa dikurangi hingga mencapai gol 0%. Perusahaan yang mengembangkannya pun menggiurkan para investor–– menciptakan simbiosis karena salah satu faktor penghambat adalah keterbatasan pendanaan.

Tentu hasil maksimal tidak segera didapatkan. Butuh banyak waktu dan serial trial-and-error menyertai proses demi capai hasil signifikan, berskala besar, dan berkelanjutan.

---

Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk gabung ke komunitas pembaca Beautynesia B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!

(raf/raf)
Komentar
0 Komentar TULIS KOMENTAR
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.

RELATED ARTICLE