3 Contoh Menerapkan Mottainai, Prinsip Ala Orang Jepang yang Bantu Menghindari Hidup Boros
Mottainai, secara harfiah berarti ‘sayang sekali’ atau ‘tidak terpakai dengan baik’. Konsep ini merujuk pada rasa sesal saat sesuatu tidak dimanfaatkan secara maksimal, baik itu benda, waktu, atau energi.
Di Jepang, mottainai sudah mendarah daging dalam budaya mereka, diwariskan dari generasi ke generasi. Filosofi ini menekankan penghargaan terhadap segala hal yang ada di sekitar kita, mulai dari barang-barang kecil hingga waktu yang dimiliki agar tidak menjadi pemborosan.
Mottainai bukan sekadar ungkapan, tetapi pandangan hidup yang mengajarkan kita untuk hidup lebih bijak. Misalnya, menggunakan barang hingga benar-benar habis atau memanfaatkannya kembali agar tidak terbuang percuma.
Bukan hanya soal barang fisik, konsep ini juga bisa diterapkan pada waktu atau kesempatan.
Membiarkan kesempatan berlalu tanpa dimanfaatkan adalah bentuk lain dari ‘mottainai’, karena waktu adalah salah satu hal paling berharga yang tidak bisa diputar ulang.
Saat kita membeli sesuatu yang sebenarnya tidak perlu atau membuang barang yang masih bisa dipakai, di situlah rasa mottainai muncul. Demikian pula ketika kita menyia-nyiakan waktu, seperti kesempatan untuk belajar hal baru atau melakukan sesuatu yang produktif.
Filosofi ini mengajak kita untuk lebih sadar akan pilihan yang kita buat sehari-hari, agar tidak ada penyesalan di kemudian hari. Mottainai mendorong kita untuk hidup lebih efisien dan bertanggung jawab, bukan hanya demi diri sendiri, tapi juga demi keberlanjutan lingkungan.
Prinsip ini membantu kita menjalani hidup yang lebih bermakna dengan memanfaatkan segala sumber daya yang ada sebaik mungkin. Berikut beberapa contoh penerapan mottainai yang sering terlihat, Beauties!
Tidak Mubazir Makanan
Tidak mubazir makanan/ Foto: pexels.com/cottonbro studio
Masyarakat Jepang sudah diajarkan sejak kecil untuk menghargai  makanan  dengan prinsip yang kuat: ambil secukupnya agar tidak terbuang. Kebiasaan ini tidak hanya berlaku di rumah, tetapi juga saat makan di luar, termasuk di restoran.
Anak-anak dibimbing untuk menyadari bahwa makanan adalah sumber kehidupan, dan menyia-nyiakannya sama saja dengan mengabaikan usaha yang telah dilakukan untuk memproduksinya.
Di banyak restoran, porsi yang disajikan biasanya pas dan tidak berlebihan, sehingga memudahkan pelanggan untuk menghabiskan makanan mereka. Jika pengunjung merasa porsi yang disajikan terlalu banyak, mereka seringkali akan memilih untuk berbagi atau meminta porsi yang lebih kecil.
Ini adalah bentuk konkret dari filosofi mottainai, yang menekankan pemanfaatan setiap suapan makanan sebaik mungkin. Dengan cara ini, tidak hanya mengurangi limbah makanan, tetapi juga menunjukkan rasa hormat terhadap proses produksi makanan.
Selain itu, banyak restoran di Jepang menawarkan pilihan untuk mengambil sisa makanan, sehingga pelanggan dapat membawa pulang apa yang tidak habis.
Ini semakin memperkuat kesadaran bahwa makanan adalah hal berharga dan seharusnya tidak berakhir di tempat sampah. Kebiasaan ini diperkuat oleh edukasi tentang dampak lingkungan dari pemborosan makanan dan pentingnya keberlanjutan.
Di rumah, orang tua biasanya mendorong anak-anak untuk tidak hanya mengambil makanan secukupnya, tetapi juga untuk belajar memasak. Mereka diajarkan cara memanfaatkan bahan makanan yang ada, sehingga setiap bagian dari sayuran atau daging bisa diolah menjadi hidangan lezat.
Melalui pembelajaran ini, anak-anak tidak hanya memahami nilai dari setiap makanan, tetapi juga bagaimana berkontribusi pada lingkungan dengan mengurangi pemborosan.
Dengan membiasakan diri mengambil secukupnya dan menghargai setiap makanan yang ada, masyarakat Jepang tidak hanya menciptakan kebiasaan yang baik untuk diri mereka sendiri, tetapi juga mengajarkan generasi mendatang untuk hidup lebih berkelanjutan dan penuh rasa syukur, Beauties.
Menghindari Sifat Konsumtif
Menghindari sifat konsumtif/ Foto: freepik.com/lifeforstock
Sifat konsumtif yang sering muncul dalam masyarakat modern adalah kebiasaan boros, di mana banyak orang membeli barang yang sebenarnya tidak diperlukan.
Di tengah berbagai promosi dan iklan yang menggoda, seringkali kita terjebak dalam impuls membeli yang bisa berdampak negatif, baik bagi keuangan pribadi maupun lingkungan.
Ini menjadi penting untuk mengenali perbedaan antara kebutuhan dan keinginan sebelum memutuskan untuk membeli. Ketika ingin membeli sesuatu, kita harus merenungkan terlebih dahulu: apakah barang tersebut benar-benar dibutuhkan atau sekadar keinginan sesaat? Mengajukan pertanyaan ini membantu kita untuk lebih sadar dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambil.
Mengelola keinginan ini bisa dimulai dengan membuat daftar belanja sebelum pergi ke toko, memastikan hanya barang-barang yang benar-benar diperlukan yang masuk ke dalam keranjang belanja.Â
Selain itu, penting juga untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari pembelian tersebut. Apakah barang yang dibeli akan berguna dalam waktu lama atau hanya menjadi hiasan yang nantinya terlupakan?
Dengan berpikir kritis seperti ini, kita bisa menghindari pemborosan dan memastikan bahwa setiap pengeluaran memiliki nilai yang jelas. Kebiasaan membeli dengan bijak tidak hanya membantu menghemat uang, tetapi juga mengurangi limbah.
Masyarakat yang bijak dalam berbelanja cenderung memilih produk yang berkualitas dan tahan lama, bukan barang sekali pakai yang hanya akan berakhir di tempat pembuangan sampah.
Dengan demikian, kita bisa berkontribusi pada keberlanjutan dan menghormati sumber daya yang ada.
Dengan mengedepankan prinsip kebutuhan dibandingkan keinginan, kita tidak hanya mengelola keuangan lebih baik, tetapi juga mendidik diri sendiri untuk menjadi konsumen yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Ini adalah langkah kecil yang dapat memberikan dampak besar bagi diri sendiri dan lingkungan di sekitar kita.
Reduce, Reuse, Recycle, dan Respect
Reduce, reuse, recycle, dan respect/ Foto: Pexels/Greta Hoffman
Mottainai mengajarkan pentingnya menjaga dan merawat sumber daya dengan sebaik mungkin, sebuah filosofi yang sangat relevan dalam menghadapi tantangan lingkungan saat ini.
Konsep ini berkaitan erat dengan prinsip 3R+R: reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali), recycle (mendaur ulang), dan respect (menghormati).
Dalam praktiknya, mottainai mengajak kita untuk menjaga barang-barang yang kita miliki agar tetap berfungsi dengan baik dan mengurangi pemborosan sumber daya alam.
Salah satu cara untuk menerapkan mottainai adalah dengan memanfaatkan barang bekas. Barang-barang yang masih layak pakai bisa diolah kembali menjadi sesuatu yang berguna, alih-alih dibuang. Misalnya, botol plastik bisa dijadikan pot tanaman, atau pakaian yang tidak terpakai bisa disumbangkan.
Dengan memanfaatkan barang bekas, kita tidak hanya menghemat uang, tetapi juga membantu mengurangi limbah yang masuk ke tempat pembuangan sampah, sehingga berdampak positif bagi lingkungan.
Nuansa mottainai mengingatkan kita bahwa tidak boleh menyia-nyiakan sesuatu, baik itu barang maupun sumber daya. Setiap tindakan individu, sekecil apapun, memiliki potensi untuk memengaruhi gerakan yang lebih besar.
Misalnya, ketika kita membuang sampah sembarangan, mungkin kita berpikir bahwa satu sampah tidak akan menjadi masalah. Namun, jika ratusan orang berpikir seperti itu, dampaknya bisa sangat merusak, mencemari sungai dan lingkungan sekitarnya.
Oleh karena itu, praktik mottainai menjadi contoh yang sangat baik untuk dilakukan demi keberlangsungan hidup yang lebih baik.
Dengan mengadopsi filosofi ini dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak hanya menjaga sumber daya yang ada, tetapi juga berkontribusi pada kelestarian lingkungan untuk generasi mendatang.
Mottainai bukan sekadar slogan, melainkan sebuah komitmen untuk hidup lebih bijak dan bertanggung jawab. Mari bersama-sama menerapkan mottainai agar setiap tindakan kita berkontribusi pada dunia yang lebih baik, Beauties!
---
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk gabung ke komunitas pembaca Beautynesia B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!