3 Perilaku yang Muncul saat Seseorang Tidak Merasa Dihargai Menurut Psikologi

Dewi Maharani Astutik | Beautynesia
Selasa, 02 Dec 2025 20:00 WIB
3 Perilaku yang Muncul saat Seseorang Tidak Merasa Dihargai Menurut Psikologi
Perilaku yang Muncul saat Seseorang Tidak Merasa Dihargai Menurut Psikologi/Foto: Freepik/freepik

Beauties, ketika seseorang merasa tidak dihargai, mereka sering kali tidak langsung mengatakannya secara terbuka. Sebaliknya, emosi itu muncul dalam bentuk perilaku samar, nyaris tak terlihat, tetapi menyimpan makna yang dalam.

Perilaku samar tersebut adalah cara bawah sadar seseorang melindungi diri dari rasa sakit akibat diabaikan. Lalu, seperti apa sebenarnya perilaku-perilaku samar yang menjadi tanda seseorang tidak dihargai itu? Mari kita bahas lebih dalam menurut pandangan psikologi dilansir dari Your Tango.

Tidak Memiliki Batasan

Menyesuaikan diri tanpa batas dengan pasangan bisa jadi tanda seseorang tidak dihargai. Kondisi itu membuat nilai dan identitas pribadi perlahan tergeser demi keinginan orang lain. Hubungan yang baik sendiri adalah hubungan yang tetap menjaga keseimbangan antara keintiman dan kebebasan individu.
Sering mengorbankan diri demi pasangan bisa menjadi tanda seseorang tidak dihargai/Foto: Unsplash/KaLisa Veer

Dalam hubungan yang sehat, seseorang seharusnya tetap mampu menjaga jati dirinya tanpa harus kehilangan arah hanya demi pasangan. Namun, sayangnya, sebagian orang terjebak dalam dinamika yang membuat mereka lupa siapa diri mereka sebenarnya. Pada akhirnya, nilai-nilai pribadi yang dulu dijunjung tinggi perlahan memudar dan digantikan oleh keinginan untuk menyesuaikan diri sepenuhnya dengan sosok yang dicintai.

Kondisi itu sendiri sering kali muncul karena kurangnya penghormatan terhadap diri sendiri dan ketiadaan batasan yang jelas. Batasan bukanlah bentuk jarak, melainkan pagar yang menjaga agar seseorang tetap setia pada dirinya sendiri.

Ketika kebutuhan, keinginan, dan identitas pribadi menjadi hal yang selalu dikorbankan, hubungan justru kehilangan keseimbangan. Para ahli menegaskan, seperti yang dikutip dari jurnal Family Process pada tahun 2018, bahwa hubungan yang benar-benar sehat bukanlah tentang pengorbanan diri tanpa batas, melainkan tentang menyatukan dua individu yang tetap utuh dan saling terhubung, tetapi tidak saling mendominasi.

Terjebak dalam Kebiasaan Buruk

Tindakan berulang yang merugikan diri sendiri sering muncul sebagai mekanisme koping terhadap rasa sakit batin/Foto: Unsplash/Helena Lopes

Ketika seseorang terus menuruti kebiasaan buruk secara berlebihan, sesungguhnya mereka sedang menghukum diri sendiri. Tindakan itu menjadi cara bawah sadar untuk menumpahkan rasa sakit batin, meskipun hasilnya memang justru memperburuk keadaan.

Ada batas yang jelas antara sekadar memiliki rasa percaya diri rendah dan benar-benar menolak untuk menghargai hidup sendiri. Dalam kondisi yang terakhir itu, kasih sayang terhadap diri lenyap, begitu pula rasa hormat terhadap tubuh dan kehidupan.

Kecenderungan untuk menenggelamkan diri dalam kebiasaan yang tidak sehat dapat dianggap sebagai mekanisme koping yang keliru untuk menghadapi stres atau emosi sulit yang muncul akibat kebutuhan yang tidak terpenuhi.

Namun, meskipun ada hubungan antara kebutuhan yang tidak terpenuhi dan perilaku yang tidak sehat, sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal Nature and Science of Sleep pada tahun 2020 mengingatkan bahwa penting untuk diakui bahwa banyak faktor lain yang juga dapat berperan dalam membentuk pola tersebut.

Menoleransi Perlakuan Buruk

Seseorang yang terus menoleransi perlakuan buruk seringkali tak menyadari bahwa harga dirinya telah tergerus/Foto: Freepik/yanalya

Seseorang yang terus menoleransi pasangan atau orang-orang yang memperlakukannya dengan buruk sering kali melakukannya karena tanpa sadar merasa pantas menerima perlakuan itu. Sekali atau dua kali, mereka mungkin pernah diperlakukan dengan baik, dan momen singkat itu terus diingat, seolah menjadi pembenaran untuk semua luka yang datang setelahnya.

Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Children and Youth Services Review pada tahun 2012 menunjukkan bahwa kebiasaan menoleransi perlakuan buruk tidak sesederhana karena cinta atau ketergantungan semata. Di baliknya, ada keterikatan traumatis (trauma bonding), rendahnya harga diri, persepsi yang keliru, serta kebutuhan besar untuk diterima dan divalidasi.

Untuk memutus lingkaran ini, seseorang perlu terlebih dahulu mengakui bahwa ada masalah, belajar menegakkan batas yang sehat, membangun kembali harga diri, dan mencari dukungan profesional atau emosional agar dapat sembuh dari luka lama dan menumbuhkan pola hubungan yang lebih sehat di masa depan.

***

Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!

(naq/naq)
Komentar
0 Komentar TULIS KOMENTAR
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.

RELATED ARTICLE