5 Tanda Kamu Lakukan Toxic Positivity, Berusaha Bahagia Tapi Nggak Sesuai Realita
Pernahkah Beauties mendengar kalimat seperti “Coba lihat sisi positifnya!”, “Jangan bersedih terus” dan kalimat senada lainnya? Jika ya, maka saatnya Beauties menelaah lebih dalam makna dan maksud kalimat tersebut. Apakah itu benar-benar sesuatu yang positif atau malah sekadar perkataan positif yang tidak diikuti rasa empati?.
Batasan antara keduanya terkadang memang samar dan membuat kita sulit membedakannya. Untuk itu, yuk kenali beberapa tindakan toxic positivity yang tanpa sadar sering dilakukan berikut ini.
1. Memaksa Diri untuk Selalu Tersenyum
Pada dasarnya, kehidupan selalu membawa kita pada hal menyenangkan dan sebaliknya. Tidak ada orang yang kehidupannya terus-terusan bahagia ataupun terus-terusan sedih. Semua datang silih berganti. Ada kalanya rasa sedih, kecewa ataupun marah itu datang, dan itu sepenuhnya normal. Namun, banyak dari kita yang merasa harus tetap terlihat “baik-baik saja” di hadapan orang lain.
Misalnya saja pada saat kehilangan orang yang dicintai, kemudian kita berusaha menekan rasa duka dan berkata “saya nggak apa-apa, saya kuat kok”. Padahal memaksakan diri untuk terlihat bahagia justru bisa membuat emosi terpendam dan semakin sulit disembuhkan.
2. Selalu Mencari Sisi Positif di Setiap Hal
Mencari sisi positif. Tindakan ini akan membuat rasa abai atas kecewa yang sedang dirasakan/ Foto: Freepik.com/freepik
Kita tentu memahami bahwa punya pandangan positif itu sangatlah penting. Namun, yang perlu digarisbawahi bahwa tidak semua hal perlu dicari “hikmahnya” pada saat itu juga. Ini lebih kepada soal waktu dan momentum yang pas. Kita perlu paham bahwa setiap dari kita butuh waktu untuk menyembuhkan sesuatu, tidak hanya luka fisik, tetapi juga luka batin. Semisal, saat mengalami kegagalan atau kehilangan pekerjaan, kemudian ada yang mengatakan “Pasti ada rencana Tuhan yang lebih baik”. Ini akan membuat timbulnya rasa abai atas kecewa yang sedang dirasakan.
3. Menekan Perasaan Negatif
Menekan perasaan. Kemampuan mengindentifikasi perasaan membantu memproses emosi dengan lebih sehat./ Foto: Freepik.com/stockking
Banyak dari kita yang diajarkan untuk tidak mengeluh dan selalu positive thinking. Alhasil, kita terbiasa menekan perasaan sedih, takut, marah, karena takut dianggap lemah ataupun “si paling drama”. Mengutip dari Happierhuman, emosi negatif punya fungsi penting sebagai pemberi sinyal bahwa sesuatu perlu diperhatikan dalam hidup. Memahami emosi yang sedang muncul adalah langkah penting untuk memproses emosi dengan lebih sehat.
4. Meremehkan Perasaan Orang Lain
Mengabaikan perasaan merupakan toxic positivity. Memvalidasi perasaan orang lain dan mendengarkan sangat penting/ Foto: Freepik.com/freepik
Apakah Beauties pernah berusaha menghibur teman atau siapapun sembari berkata “Sudahlah, jangan dipikirin!” atau “Kamu masih beruntung dibanding si A”. Nah, meskipun bermaksud untuk menyemangati, kalimat ini bisa membuat seseorang merasa tidak valid untuk mengekspresikan kesedihan ataupun kemarahannya. Di sinilah pentingnya seni mendengarkan itu. Kita seharusnya bisa belajar bagaimana menjadi “a good listener”.
5. Berpura-pura Selalu Optimis
Berpura pura optimis termasuk toxic positivity. Tindakan ini menyebabkan kelelahan emosional atau burnout./ Foto: Freepik.com/stockking
Menjadi pribadi optimis itu baik, tapi merasa harus selalu optimis bisa berbahaya. Jika Beauties menolak menghadapi realita yang sulit atau pura-pura semuanya baik-baik saja, maka justru Beauties sedang membohongi diri sendiri. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menyebabkan kelelahan emosional atau biasa kita sebut burnout.
***
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!