Beauties, apakah ada dari kalian yang punya hobi membaca buku? Jika iya, kalian pasti pernah berinteraksi secara sempit atau luas dengan book lovers lain. Interaksi ini bisa melalui forum diskusi atau sekadar komunikasi dua pihak. Misalnya untuk sekadar menanyakan update buku yang disuka maupun saling memberikan pandangan terhadap buku yang pernah dibaca.
Lalu, pernah nggak sih kalian mendengar pendapat orang yang menjelekkan satu genre buku tertentu?
Misalnya mengomentari orang yang menyukai genre fiksi sebagai orang berselera buruk. Biasanya juga dengan membandingkan genre tersebut dengan genre lain yang menurutnya lebih menarik.
Dalam forum pecinta buku, kejadian semacam ini tidak jarang ditemui.
Salah satu jenis buku/novel yang sering dipandang sebelah mata adalah genre romance teenlit atau novel yang menceritakan cerita cinta remaja. Genre ini ditandai dengan tokohnya yang masih remaja (biasanya anak SMA) dengan perjalanan cintanya serta dibumbui konflik keluarga, pertemanan, dan penemuan jati diri.
Banyak orang meremehkan novel cinta remaja. Mereka menanggap genre ini terlalu picik dan klise. Bahkan, beberapa orang membandingkannya dengan genre lain seperti novel klasik yang konfliknya lebih serius.
Apakah anggapan tersebut benar? Bahwa novel remaja terlalu remeh dan klise?
Well, begini jawabannya.
Setiap orang bebas mempunyai opini atau pandangan terhadap suatu hal, tak terkecuali genre buku. Picik, remeh, atau layaknya suatu genre untuk digemari tergantung pada masing-masing pribadi, bagaimana mereka menilainya. Lagipula bagaimana persepsi orang juga di luar kendali kita.
Yang menjadi masalah adalah ketika ketidaksukaan itu dikoarkan sehingga menyinggung perasaan orang lain sampai orang lain merasa tidak percaya diri dengan kesenangannya. Apalagi, sampai membuat pernyataan yang mengakibatkan orang lain ikut menjelekkan genre tertentu.
Dalam Bahasa kerennya, peristiwa ini dinamakan book-shaming. Mengutip merriam-webster.com, book-shaming merupakan kondisi ketika seseorang meremehkan orang lain karena bacaannya atau genre yang disukainya. Akibat dari perilaku ini adalah orang merasa tersinggung, risih, dan tidak percaya diri.
Ilustrasi Book-shaming/pexels.com/Keira Burton |
Jika sudah sampai taraf begini, ketidaksukaan orang tersebut tentunya tidak bisa dibenarkan. Selain toxic, hal ini bahkan bisa mempengaruhi minat baca komunitas karena stigma miring yang disebabkan.
Lagipula nih, novel cinta remaja punya andil dalam proses peningkatan budaya literasi. Berdasarkan Jurnal Bahasa Lingua Scientia, produksi novel remaja mampu meningkatkan literasi di Indonesia (Agustina, 2017). Dengan menyukai novel remaja, orang bisa semakin tertarik untuk terus membaca buku bahkan dari berbagai genre yang lain.
Jadi, kalau kamu pecinta novel cinta remaja terutama korban book-shaming, jangan pernah insecure ya. Abaikan komentar negatif orang lain, dan buktikan kalau genre ini tidak seburuk yang orang lain pikirkan. Semangat!
---
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!