Beauties, saat ini manusia berada di zaman hustle culture, yaitu ketika pencapaian individu dianggap sebagai tolok ukur nilai diri seseorang. Melansir Psychology Today, budaya ini membuat banyak orang bekerja gila-gilaan untuk mencapai target, mulai dari berapa tugas yang selesai, seberapa banyak prestasi, dan seberapa produktif kita hari ini.
Mirisnya, mindset ini ternyata menimbulkan efek samping. Melansir My Inner Creative, banyak orang yang mulai mengalami kecemasan dan masalah psikologis. Kalau hari itu terasa kurang “produktif”, sering muncul rasa bersalah, takut dianggap “malas”, atau merasa diri kurang layak. Kecemasan macam ini banyak menghantui gen Z yang notabene hidup di dunia digital yang cenderung “serba cepat.
Padahal faktanya, self-worth sejatinya adalah sesuatu yang lebih dasar dan dalam daripada output dan hasil kerja seseorang. Karenanya, ada banyak aspek yang perlu dikaji ulang untuk menentukan nilai diri seseorang. Lalu bagaimana seharusnya? Simak penjelasannya berikut ini!
Waspada Toxic Productivity
Ilustrasi/Foto: Freepik.com/cookie_studio |
Produktif adalah sikap positif jika dilakukan dengan benar. Masalahnya, banyak orang kebablasan dan punya mindset “tidak boleh hidup tenang kecuali sudah produktif”. Melansir My Inner Creative, keyakinan toksik semacam ini bisa sangat berbahaya, dan menjadi cikal bakal pemikiran yang mengaitkan self-worth dengan produktivitas.
Dalam artikel The Hidden Cost of Always Being Productive, yang dipublikasikan Psychology Today, psikolog Judy Ho mencatat bahwa banyak orang merasa wajib produktif dulu untuk bisa istirahat. Orang-orang macam ini menganggap bahwa waktu istirahat adalah kemewahan yang harus diusahakan, dan bukan kebutuhan dasar. Padahal, nilai diri seharusnya bukan cuma soal kerja keras atau produktivitas, melainkan bagaimana kita memberi makna pada aktivitas sehari-hari.