dr Qory Cabut Laporan, Ini Alasan Korban KDRT Susah Lepas dari Jerat Pasangannya
Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami oleh perempuan bernama dr Qory masih menjadi sorotan publik. Awalnya, dr Qory dilaporkan hilang oleh suaminya, Willy Sulistio (39), di media sosial.Â
Namun setelah diselidiki dan berhasil ditemukan oleh pihak kepolisian, rupanya dr Qory meninggalkan rumah karena menjadi korban KDRT oleh suami berulang kali.
Kabar terbaru, dr Qory dilaporkan ingin mencabut laporan KDRT yang dilayangkannya terhadap suami. Menurut Kasat Reskrim Polres Bogor AKP Teguh Kumara, dr Qory menyampaikan keinginan tersebut secara lisan.
Sementara baru penyampaian lisan, belum ada penyampaian secara tertulis kepada kami terkait rencana pencabutan laporan tersebut. Jadi sampai saat ini perkara terus bergulir," kata Teguh di Mapolres Bogor, Senin (20/11), dilansir dari detikNews.
Namun, polisi memastikan Willy belum tentu bebas dari hukuman meski dr Qory punya niat mencabut laporan. Willy ditetapkan jadi tersangka KDRT dengan sejumlah bukti antara lain dua pisau dan hasil visum dr Qory yang mengalami sejumlah luka. Dokter Qory juga dianiaya suaminya saat tengah hamil 6 bulan.
Alasan Korban KDRT Susah Lepas dari Jerat Pasangannya
dr Qory Cabut Laporan, Ini Alasan Korban KDRT Susah Lepas dari Jerat Pasangannya/Foto: Pexels/Karolina Grabowska
Netizen yang mengikuti kasus dr Qory kemudian bertanya-tanya, mengapa dr Qory masih hendak bertahan di hubungan KDRT. Tak sedikit yang melontarkan komentar kecewa dan bernanda menghakimi atas keputusan dr Qory.
Di satu sisi, ada pula netizen yang mengimbau untuk berusaha memahami sudut pandang dr Qory. Menurut mereka, pasti ada alasan tersendiri yang membuat dr Qory mengambil keputusan tersebut.
Terlepas dari komentar pro kontra netizen, satu hal yang harus dipahami adalah hubungan yang penuh kekerasan adalah situasi yang sangat kompleks dan membutuhkan banyak keberanian untuk meninggalkannya.
Kekerasan adalah tentang kekuasaan dan kendali. Ketika seorang penyintas meninggalkan hubungan yang penuh kekerasan, aksi mereka terlihat seperti ancaman bagi pelaku. Hal ini bisa membuat pelaku melakukan balas dendam dengan cara yang lebih berbahaya.
Berikut ada beberapa alasan yang membuat korban KDRT susah lepas dari jerat pasangannya dan memutuskan untuk bertahan, dirangkum dari National Domestic Violence Hotline dan Women Against Abuse.
Rasa Takut
dr Qory Cabut Laporan, Ini Alasan Korban KDRT Susah Lepas dari Jerat Pasangannya/Foto: Freepik.com/@jirawatfoto
Korban KDRT memutuskan bertahan dengan pasangannya karena adanya rasa takut. Mereka takut akan berbagai konsekuensi yang harus dihadapi jika mereka memutuskan untuk mengakhiri hubungan.
Rasa takut ini bisa muncul dalam berbagai bentuk. Misalnya, takut akan tindakan pasangan mereka, khawatir dirinya tidak bisa mandiri, hingga memikirkan anak yang masih membutuhkan sosok sang ayah.
Menormalisasi Kekerasan
dr Qory Cabut Laporan, Ini Alasan Korban KDRT Susah Lepas dari Jerat Pasangannya/Foto: Pexels/RDNE Stock project
Jika seseorang tumbuh di lingkungan yang sering melakukan kekerasan, mereka mungkin tidak tahu seperti apa hubungan yang sehat. Akibatnya, mereka mungkin tidak menyadari bahwa perilaku pasangannya tidak sehat atau kasar.
Rasa Malu
dr Qory Cabut Laporan, Ini Alasan Korban KDRT Susah Lepas dari Jerat Pasangannya/Foto: Getty Images/iStockphoto/Pheelings Media
Mengakui pernah mengalami atau sedang mengalami kekerasan bukanlah hal yang mudah. Korban mungkin merasa bahwa mereka telah melakukan kesalahan, bahwa mereka pantas menerima kekerasan, atau bahwa mengalami kekerasan adalah tanda kelemahan.
Ingatlah bahwa pengalihan kesalahan adalah taktik umum yang mungkin digunakan pelaku KDRT dan dapat memperkuat rasa tanggung jawab korban atas perilaku kasar pasangannya.
Memikirkan Masa Depan Anak
dr Qory Cabut Laporan, Ini Alasan Korban KDRT Susah Lepas dari Jerat Pasangannya/Foto: Getty Images/iStockphoto/Kiwis
Alasan lain korban KDRT susah lepas dari jerat pasangannya karena memikirkan masa depan anak. Banyak penyintas yang tidak yakin bahwa keputusan meninggalkan pasangan adalah yang terbaik bagi anak-anak mereka.
Kekhawatiran yang mungkin timbul antara lain, "akankah pasangan saya mendapatkan hak asuh atas anak-anak mereka?", "bagaimana saya bisa menghidupi anak-anak saya tanpa penghasilan pasangan saya?", hingga "saya ingin anak-anak saya memiliki dua orang tua."
Korban mungkin akan pergi dan kembali beberapa kali sebelum berpisah secara permanen dari pasangannya yang melakukan kekerasan. Faktanya, penelitian menunjukkan bahwa dibutuhkan sekitar 7 kali percobaan sebelum seorang penyintas meninggalkan pasangannya yang melakukan kekerasan secara permanen.
***
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!