Fearful Avoidant, Gaya Keterikatan Hubungan Unik yang Umum di Kalangan Gen Z

Florence Febriani Susanto | Beautynesia
Jumat, 08 Aug 2025 20:00 WIB
Fearful Avoidant, Gaya Keterikatan Hubungan Unik yang Umum di Kalangan Gen Z
Fearful Avoidant/Foto: Freepik

Beauties, kamu pernah nggak, sih, merasa butuh kedekatan tapi juga takut disakiti? Mungkin kamu sering dekat dengan seseorang, tapi tiba-tiba menjauh tanpa alasan jelas? Kalau iya, bisa jadi kamu atau pasanganmu sedang mengalami gaya keterikatan hubungan yang dikenal sebagai fearful avoidant. Gaya ini makin banyak muncul di kalangan Gen Z, lho!

Kita tumbuh di era digital. Penuh cinta virtual, ghosting, overthinking, dan konsumsi cerita cinta dari TikTok, Netflix, atau YouTube. Tapi saat kita mulai membangun hubungan nyata, banyak dari kita justru bingung dan takut. Ingin dekat, tapi merasa tidak aman. Nah, di sinilah fearful avoidant jadi topik penting buat kamu pahami.

Mengenal Fearful Avoidant

Mengenal Fearful Avoidant/Foto: Freepik

Di antara berbagai gaya keterikatan hubungan, fearful avoidant dianggap paling rumit. Psikolog Dr. Sarah Hensley menjelaskan bahwa fearful avoidant kini jadi pola yang paling umum di kalangan dewasa muda.

“Ini seperti roller coaster emosi. Hari ini ingin dekat, besok menghilang,” kata Hensley. Mereka mencintai dan takut dicintai pada waktu yang bersamaan.

Berbeda dari gaya hubungan secure, anxious, atau dismissive avoidant, fearful avoidant adalah campuran kacau dari semuanya. Gaya ini tampak seperti gabungan antara ingin dekat dan ingin menjauh dalam waktu yang hampir bersamaan. Hensley menyebut mereka bisa terlihat sangat hangat hari ini, lalu esoknya menghilang tanpa jejak. Intinya, bingung sendiri dengan emosinya.

Kalau kamu merasa cocok dengan deskripsi ini, jangan buru-buru menyalahkan diri. Gaya hubungan Gen Z yang seperti ini bukanlah “drama”, tapi pola psikologis yang dipengaruhi banyak hal sejak kecil. Penting untuk kamu pahami, bukan buat membenarkan perilaku, tapi untuk belajar mengelola hubungan dengan lebih sehat.

Penyebab Fearful Avoidant

Penyebab Fearful Avoidant/Foto: Freepik

Apa, sih, yang menyebabkan seseorang punya gaya fearful avoidant? Jawabannya adalah pengalaman masa kecil yang membentuk cara otak dan hati bekerja dalam hubungan. Nggak selalu harus trauma besar. Bisa jadi kamu tumbuh di rumah yang emosinya tidak stabil, atau punya orang tua yang cuek dan tidak hadir secara emosional.

“Yang paling umum adalah keyakinan bahwa kedekatan itu berbahaya,” jelas Hensley. “Bukan takut ditinggalkan, tapi takut dikhianati.” Jadi bukan hanya soal takut sendirian, tapi lebih dalam lagi, yaitu takut kepercayaan yang sudah diberikan malah dilukai. Ini bikin sistem saraf kamu waspada terus, dan susah tenang saat sedang dekat dengan orang lain.

Orang dengan fearful avoidant cenderung cepat merasa dekat, lalu tiba-tiba menjauh. Mereka ingin percaya, tapi sedikit sinyal penolakan saja langsung bikin panik dan menutup diri. Ini bukan drama, tapi reaksi bertahan hidup. Sistem saraf mereka terbiasa untuk mendeteksi “bahaya” emosional, bahkan saat tidak nyata.

Fenomena ini makin banyak terjadi di generasi kita. Kenapa? Karena kita besar di era yang penuh ketidakstabilan emosi. Banyak dari kita adalah anak-anak dari Gen X atau milenial awal yang dibesarkan tanpa dukungan emosional cukup.

“Banyak Gen Z dibesarkan oleh orang tua yang dulu juga belajar mandiri terlalu dini,” kata Hensley. “Kekosongan itu diwariskan.”

Lalu datanglah era digital. Semakin banyak waktu dihabiskan dengan layar, semakin sedikit interaksi emosional tatap muka. “Semakin sedikit anak berinteraksi langsung dengan orang tua, semakin kecil peluang mereka membentuk sistem saraf yang aman,” tambah Hensley. Scrolling drama percintaan di TikTok nggak cukup bikin kamu siap hadapi konflik nyata.

Fearful Avoidant Bisa Berubah!

Fearful Avoidant Bisa Berubah/Foto: Freepik

Nah Beauties, ini bagian yang melegakan. Menurut Hensley, fearful avoidant bukan diagnosis yang permanen, tapi pola yang bisa diubah. “Ini bukan identitas, ini pola. Dan pola bisa dilatih ulang,” ujarnya. Tapi tentu, bukan lewat kuis Instagram atau self-awareness ala konten viral.

Perubahan datang dari proses perlahan, melalui healing dan latihan regulasi emosi. Gaya keterikatan bukanlah alasan untuk terus menyakiti atau menghindar. Justru, itu bisa jadi titik awal buat kamu mulai sembuh. “Tujuan akhirnya adalah jadi seseorang dengan gaya hubungan yang secure,” kata Hensley. Orang yang bisa tetap tenang saat konflik. Orang yang tidak langsung panik saat pasangan butuh jarak.

Kedengarannya seperti mimpi? Nggak juga. Menurut Hensley, orang yang punya rasa aman batin, terutama secara spiritual, akan sembuh lebih cepat. “Mereka yang memiliki keyakinan bahwa cinta Tuhan itu tidak berubah, cenderung lebih stabil,” ujarnya. Karena rasa aman itu tidak bergantung pada validasi dari orang lain.

Tapi tentu, pemahaman saja tidak cukup. Harus ada tindakan nyata. “Wawasan adalah langkah pertama,” kata Hensley. “Tapi perubahan terjadi saat kamu berani mencoba hal baru. Tetap tinggal saat ingin kabur. Bicara jujur saat ingin diam. Menahan rasa takut, bukan lari darinya.” Di situlah penyembuhan dimulai.

Kalau kamu pacaran dengan orang yang suka tarik-ulur, jangan langsung berpikir mereka main-main. Kalau kamu sendiri sering berperilaku seperti itu, bukan berarti kamu rusak. Kamu hanya belum belajar cara bertahan dalam hubungan yang sehat. 

Jadi Beauties, gaya pacaran Gen Z memang beda dari generasi sebelumnya. Kita lebih sadar soal trauma, lebih terbuka soal emosi, tapi juga lebih cemas soal koneksi. Gaya keterikatan hubungan seperti fearful avoidant muncul sebagai respons dari ketidakpastian dan minimnya rasa aman sejak dini. Masih bisa berubah, kok. Kamu hanya butuh latihan dan dukungan yang tepat.

***

Ingin jadi salah satu pembaca yang dapat ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!

(naq/naq)
Komentar
0 Komentar TULIS KOMENTAR
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.

RELATED ARTICLE