Protes di Iran masih bergejolak pasca kematian Mahsa Amini, perempuan berusia 22 tahun yang ditangkap-tewas pada 16 September lalu karena diduga melanggar aturan hijab di negara tersebut.
Pada 29 Oktober, Hussein Salami selaku Kepala Pengawal Revolusi Iran memperingatkan para pemuda Iran bahwa dia tidak akan membiarkan protes berlanjut. Pasukan keamanan Iran telah mencoba menghentikan protes yang pecah setelah kematian Mahsa Amini, namun proses penghentian tersebut tidak berhasil.
Seperti dilansir The List, kelompok hak asasi manusia telah melaporkan universitas dan media sosial menjadi medan pertempuran bagi para pemrotes seperti halnya jalanan. Menurut laporan Kantor Berita Aktivis Hak Asasi Manusia, protes telah pecah lebih dari 130 universitas pada Rabu (02/11), mengakibatkan penangkapan hampir 400 mahasiswa. Terlepas dari kenyataan bahwa media sosial dilarang di Iran, seruan protes berubah menjadi tagar viral berkat rekaman demonstrasi yang dibagikan secara online.
Tagar #mahsamini saja memiliki 1,4 miliar tampilan di TikTok, aplikasi media sosial yang secara teknis dilarang di Iran. Pada Kamis (3/11), koresponden BBC Persia, Rana Rahimpour, membagikan rekaman para perempuan yang meneriakkan "Matilah Sang Ditaktor", salah satu seruan yang populer di kalangan pemrotes Generasi Z.
Seruan lainnya, "Perempuan. Hidup. Kebebasan" juga terdengar di beberapa universitas di Iran yang telah berubah menjadi tagar yang dikaitkan dengan gerakan hak-hak perempuan Kurdi.
Perempuan Generasi Z Berada di Posisi Terdepan
Perintah Hussein Salami datang setelah protes memperoleh kekuatan baru pada 26 Oktober, 40 hari setelah kematian Amini. Menurut The Washington Post, protes berlanjut di universitas-universitas Iran, memenuhi media sosial dengan rekaman langsung dari demonstrasi tersebut. Barisan depan protes diisi oleh para perempuan dari Generasi Z.
PBS NewsHour melaporkan bahwa gerakan tanpa pemimpin, yang kebanyakan non-kekerasan ini didorong oleh mahasiswi, di mana banyak dari mereka telah membakar hijab sebagai pernyataan protes. Universitas telah lama menjadi medan pertempuran untuk hak-hak perempuan dan gerakan pro-demokrasi di Iran. Pada tahun 2009, masyarakat Iran yang dipimpin oleh mahasiswa memenuhi jalan-jalan menuntut reformasi politik.
Tanggapan pemerintah Iran adalah untuk membatasi tidak hanya jumlah perempuan yang bisa kuliah, tapi juga mata pelajaran yang boleh mereka pelajari. Ketika PBS NewsHour bertanya apa yang diinginkan para pemrotes, seorang mahasiswa mengatakan bahwa mereka menginginkan perubahan rezim.
Seruan "Woman, Life, Freedom"
"Perempuan. Hidup. Kebebasan," salah satu seruan protes di media sosial yang sama populernya di jalanan. Pada 26 Oktober, gambar Mahsa Amini dengan kalimat, "Woman. Life. Freedom" menghiasi Times Square dan tagar #womanlifefreedom telah dilihat 21,1 juta kali di TikTok.
"Slogan universal untuk perjuangan perempuan ini lebih dari sekadar kata-kata," ucap Elif Saican, seorang aktivis dalam gerakan perempuan Kurdi. Menurut NPR, slogan itu mendapatkan popularitas arus utama di Turki pada tahun 2009 selama pawai Hari Perempuan Internasional di negara itu.
"Jujur saja, ini adalah apartheid gender yang diterapkan rezim pada perempuan selama lebih dari 40 tahun," kata Yeganeh Rezian, seorang reporter kelahiran Iran dan peneliti senior untuk Komite Perlindungan Jurnalis. Rezian mengatakan bahwa bagi Generasi Z, hidup mereka layak dikorbankan jika itu bisa memastikan bahwa perempuan tidak lagi menjadi warga negara kelas dua di negara asalnya.
Apa yang Membuat Generasi Z Berbeda?
Juga disebut Zoomers, Generasi Z mencakup mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Memprotes status quo adalah aspek fundamental dari DNA generasi ini. Forough Alaei, seorang pengacara yang kini menjadi jurnalis foto mengatakan sebelum kejadian Mahsa Amini terjadi, para Zoomers perempuan akan mengikat dada mereka, memakai rambut wajah palsu, dan memakai pakaian pria hanya untuk menyelinap ke pertandingan sepak bola.
"Generasi Z melihat diri mereka dalam suasana dystopian," kata sosiolog Maghsoud Farastkhah kepada Donyaye Eqtesad. Dengan meningkatnya akses ke internet, generasi ini dapat melihat cara mereka menjalani hidup, jika saja rezim Iran saat ini terbuka untuk direformasi. Holly Dangres, seorang jurnalis menganggap Generasi Z sebagai kekuatan yang harus diperhitungkan.
Berbekal pengetahuan dan alat untuk menghindari tindakan keras internet Iran, generasi baru pengunjuk rasa Iran ini mempertaruhkan segalanya untuk memberitahu dunia apa yang terjadi di Iran secara real time. Aktivis Hak Asasi Manusia di Iran melaporkan pasukan keamanan telah membunuh sedikitnya 287 pemrotes pada 31 Oktober dan usia rata-rata para korban adalah 23 tahun.
***
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!