Negara Mayoritas Muslim Tajikistan Larang Hijab dan Tradisi Islam Lainnya, Apa Alasannya?
Pemerintah Tajikistan meloloskan undang-undang yang mengatur pelarangan atribut asing, termasuk hijab, di pertengahan bulan Juni lalu. Sebagai gantinya, penduduk lokal wajib mengenakan pakaian tradisional negaranya bernama Tajik.
Bagi yang melanggarnya akan dikenakan denda yang jumlahnya tidak sedikit. Dikutip dari Euronews, sejumlah 7.920 somoni (Rp12,1 juta) untuk warga sipil, 54.000 somoni (Rp82,6 juta) untuk pejabat pemerintah, dan 57.600 somoni (Rp88,1 juta) untuk tokoh agama.
Pelolosan undang-undang itu disorot dunia, mengingat bahwa lebih dari 90 persen penduduk negara tersebut beragama Islam. Lantas, mengapa Tajikistan melarang hijab? Simak penjelasannya di bawah ini.
Alasan Pelarangan Hijab
Ilustrasi perempuan mengenakan hijab /Foto: Pexels/Nirosh Jeyarajah
Ternyata, pemerintah setempat telah melarang penggunaan atribut Muslimah ke semua lembaga publik dan sekolah sejak tahun 2007, dikutip dari Middle East Monitor. Mereka tak segan untuk melakukan penggerebekan dan pengenaan denda walau belum ada undang-undang yang mengatur.
Mereka tak main-main dengan aturan ini. Di tahun 2017 pun mereka merilis buku panduan dengan 376 halaman untuk mengatur cara berpakaian yang menurut mereka benar. Perempuan terus didesak untuk mengenakan busana tradisional Tajik.
Pelarangan hijab ini adalah salah satu cara pemerintah negara tersebut untuk memberantas takhayul dan paham ekstremisme di negaranya. Hijab juga dianggap sebagai pakaian asing yang tidak mencerminkan budaya asli mereka.
Selain itu, pernah terjadi perang sipil sejak tahun 1992 hingga 1997 dengan Partai Kebangkitan Islam Tajikistan. Partai itu telah dibubarkan oleh presiden seumur hidup bernama Emomali Rahmon di tahun 2015 dan menetapkannya sebagai organisasi teroris karena adanya dugaan kudeta yang gagal.
Pelarangan Tradisi Islam Lainnya
Ilustrasi/Foto: Pexels.com/thirdman
Selain hijab, mereka juga melarang tradisi iydgardak. Tradisi itu biasa dilakukan anak-anak yang berkunjung ke rumah satu ke rumah lainnya untuk meminta uang lebaran saat hari raya Idulfitri.
Di tahun 2017, pemerintah setempat telah menutup sebanyak 1938 masjid dalam setahun. Mereka mengubah fungsi masjid menjadi ladang bisnis lainnya, seperti kedai teh dan pusat kesehatan.
Mengutip Radio Free Europe, pemerintah setempat pernah melarang penggunaan nama Arab di tahun 2016. Mereka menyarankan memberikan nama yang sesuai dengan budaya mereka, alih-alih menamai anak dengan nama Muhammad, Sumayah, Aisha, Yusuf, dan nama-nama Islami lainnya.
Tak hanya itu saja, terdapat aturan tak tertulis di mana pria dilarang menumbuhkan jenggot. Lagi-lagi, jenggot diasosiasikan dengan paham ekstremisme di sana.
Tajikistan bukanlah satu-satunya negara yang melarang hijab. Aturan yang sama juga terjadi di Kazakhstan yang sama-sama memiliki mayoritas penduduk beragama Islam. Namun, aturan itu hanya berlaku untuk siswa dan guru di sektor lembaga pendidikan.
***
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!