Proyek Penulisan Ulang Sejarah Indonesia Tuai Pro-Kontra, Ini Sederet Hal yang Perlu Kamu Tahu

Nadya Quamila | Beautynesia
Kamis, 05 Jun 2025 12:00 WIB
Kritik Netizen di Media Sosial
Ilustrasi/Foto: pexels.com/picjumbo-com-55570

Beauties, tahukah kamu kalau sejarah Indonesia sedang ditulis ulang? Ya, Kementerian Kebudayaan kini tengah menggarap proyek penulisan ulang sejarah Indonesia.

Menurut Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon, penyusunan ulang Sejarah Nasional Indonesia ini melibatkan 113 sejarawan dari seluruh Nusantara. Pemerintah menargetkan proyek ini selesai digarap pada Agustus, bertepatan dengan peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke-80 pada 17 Agustus.

Namun, proyek penulisan ulang sejarah Indonesia ini rupanya menuai pro dan kontra dari masyarakat, Beauties. Ada yang setuju dengan harapan penulisan ulang ini dapat membuat catatan sejarah Indonesia menjadi lebih lengkap dan akurat.

Di sisi lain, sejumlah masyarakat merasa resah karena takut penulisan ulang bisa jadi bermakna ada sejarah yang dihilangkan, mengubah narasi, hingga distorsi kebenaran. Terlebih, baru-baru ini Fadli Zon mengungkapkan bahwa hanya ada dua dari 12 kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dicantumkan dan akan ditulis ulang dengan tone positif.

Dirangkum dari berbagai sumber, berikut ini beberapa hal yang perlu kamu ketahui soal proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang tuai pro kontra dari masyarakat.

Tujuan Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

Menteri Kebudayaan Fadli Zon.

Fadli Zon/Foto: Deni Wahyono/detikcom

Menurut Fadli Zon, penulisan ulang sejarah Indonesia ini bukan proyek baru, melainkan kelanjutan dari misi Kementerian Kebudayaan sejak awal dibentuk, Beauties. Rencanana, akan ada 10 jilid besar yang mencakup seluruh periode sejarah Indonesia, mulai dari masa prasejarah hingga era Presiden Joko Widodo.

“Sudah 26 tahun kita tidak menulis sejarah secara komprehensif. Terakhir buku Sejarah Nasional Indonesia diperbarui pada 2008, dan hanya sampai era Presiden Habibie. Kini kita menulis sejarah dari 1,8 juta tahun lalu hingga masa kini,” ujar Fadli, dikutip dari laman Indonesia.go.id.

Siapa saja yang terlibat sebagai tim penulis di proyek ini? Ada guru besaar, doktor, akademisi, serta pakar-pakar sejarah, arkeologi, antropologi, hingga arsitektur dari berbagai wilayah Indonesia. Mereka dibagi berdasarkan periode keahlian masing-masing, dengan sistem editor per-jilid dan satu editor umum.

Lantas, apa, sih, tujuan penulisan ulang sejarah Indonesia? Menurut Fadli Zon, ada enam alasan, Beauties.

"Pertama adalah menghapus bias kolonial dan menegaskan perspektif Indonesia-sentris, apalagi sekarang ini kita 80 tahun Indonesia merdeka sudah saya kira waktunya kita memberikan satu pembebasan total dari bias kolonial ini dan menegaskan perspektif Indonesia sentris," kata Fadli dalam rapat Komisi X DPR, dikutip dari detikNews.

Kedua, sejarah Indonesia akan ditulis ulang untuk menjawab tantangan terbaru. Alasan selanjutnya, untuk membentuk identitas nasional yang kuat.

"(Alasan keempat) menegaskan otonomi sejarah, sejarah otonom. (Kelima) kemudian relevansi untuk generasi muda," sebutnya.

"Dan (keenam) reinventing Indonesian identity," lanjut dia.

Telan Anggaran Rp9 Miliar-Ada 11 Jilid

Fadli Zon

Fadli Zon/Foto: Kementerian Kebudayaan

Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang digarap sejak Januari 2025 ini menelan anggaran sebesar Rp9 miliar, Beauties. Nantinya, hasil penulisan ulang sejarah Indonesia ini akan dijadikan bahan pembelajaran siswa di berbagai jenjang sekolah. Rencananya, 10 jilid buku sejarah Indonesia hasil penulisan ulang bakal dilakukan uji publik secara terbuka pada Juni atau Juli 2025 mendatang.

Dilansir dari CNN Indonesia, berikut 11 jilid buku sejarah yang sedang digarap tim sejarawan yang direncanakan rampung pada Agustus 2025:

1. Sejarah Awal Nusantara
2. Nusantara dalam Jaringan Global: India dan Cina
3. Nusantara dalam Jaringan Global: Timur Tengah
4. Interaksi dengan Barat: Kompetisi dan Aliansi
5. Respons Terhadap Penjajahan
6. Pergerakan Kebangsaan
7. Perang Kemerdekaan Indoensia
8. Masa Bergejolak dan Ancaman Integrasi
9. Orde Baru (1967-1998)
10. Era Reformasi (1999-2024)
11. Indeks

Pemerintah Ganti Istilah Orde Lama di Penulisan Sejarah Ulang Indonesia

Soekarno

Soekarno/Foto: instagram.com/soekarno_hatta_1945

Dalam penulisan ulang ini, ada beberapa istilah yang akan direvisi, salah satunya istilah "Orde Lama". Alasannya, istilah Orde Lama dianggap tidak inklusif. Fadli menjelaskan bahwa istilah tersebut tidak pernah digunakan oleh pemerintahan masa itu dan hanya muncul dari narasi tertentu di era berikutnya, sebagaimana dikutip dari laman Indonesia.go.id.

"Jadi sebenarnya itu para sejarawan yang membuat ya, kalau kita lihat istilah Orde Lama, pemerintahan Orde Lama, tidak pernah menyebut dirinya Orde Lama, kalau Orde Baru memang menyebut itu adalah Orde Baru," kata Fadli usai rapat kerja dengan Komisi X di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (26/5), dikutip dari CNN Indonesia.

"Jadi sebenarnya itu juga perspektif yang kita ingin membuat lebih inklusif, lebih netral," tambahnya.

Sebagai informasi, Orde Lama merujuk pada masa pemerintahan Presiden Soekarno di Indonesia, yang berlangsung dari tahun 1945 hingga 1966. Di sepanjang tahun ini, meski sudah merdeka Indonesia masih terus mengalami gejolak dan peperangan.

Penghapusan istilah Orde Lama dalam proyek penulisan ulang sejarah Indonesia ini mengundang sejumlah reaksi, salah satunya dari Ketua DPR RI Puan Maharani. Ia mengingatkan pemerintah agar tidak menghilangkan kejadian-kejadian yang ada dalam sejarah.

"Ya itu, apapun kalimatnya, apapun kejadiannya, jangan sampai kemudian ada yang tersakiti, jangan sampai ada yang kemudian dihilangkan, karenanya sejarah ya tetap sejarah. Jadi harus dikaji dengan baik dan harus dilakukan dengan hati-hati," kata Puan di kompleks parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (27/5), dikutip dari detikNews.

Puan juga mengatakan penulisan ulang sejarah Indonesia harus dilakukan secara hati-hati, transparan, dan tidak terburu-buru. Menurutnya, jangan sampai penulisan ulang ini menghapus sejarah yang ada. Meski pahit, sejarah tetap harus disampaikan dengan transparan.

Ia juga menyinggung istilah "jas merah", yaitu singkatan dari "jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah" yang merupakan kutipan dari pidato Presiden Pertama Indonesia, Soekarno.

"Jadi jas merah, jangan sekali-sekali merupakan sejarah, kalau memang ingin diperbaiki silahkan, tapi namanya sejarah apakah itu pahit, apakah itu baik, ya kalau memang diulang harus diulang dengan sebaik-baiknya," sambungnya.

Dua Peristiwa HAM Berat Bakal Ditulis Ulang dengan Tone Positif

Tepat 17 tahun silam, insiden berdarah di tengah kerusuhan Semanggi terjadi. Mahasiswa Trisakti hari ini menggelar aksi demonstrasi di depan Istana Merdeka, menagih janji pemerintah untuk mengusut kasus itu. Seribuan mahasiswa Universitas Trisakti melakukan aksi unjuk rasa memperingati tragedi 1998 di depan Istana Negara, Selasa (12/5/2015). Dalam aksinya mereka meminta Presiden Jokowi untuk membentuk pengadilan Ad Hoc guna menuntaskan tragedi 1998. Agung Pambudhy/detikcom.

Mahasiswa Trisakti Demo Di Depan Istana Negara/Foto: Agung Pambudhy/detikcom

Selain istilah Orde Lama yang direvisi, Fadli Zon juga mengungkapkan bahwa hanya akan ada dua dari 12 pelanggaran HAM berat yang dimasukkan ke dalam proyek penulisan ulang sejarah Indonesia. Alasannya, pemerintah tak mau mencari kesalahan setiap era kepemimpinan. Selain itu, menurut Fadli, buku ini bukan bertujuan merinci pelanggaran HAM secara spesifik, namun menekankan pencapaian bangsa dan garis besar peristiwa penting dalam rangka memperkuat integritas nasional.

Lebih lanjut, dua pelanggaran HAM berat ini akan ditulis ulang dengan narasi yang lebih positif.

"Tone kita adalah tone yang lebih positif karena kalau mau mencari-cari kesalahan mudah, pasti ada saja kesalahan dari setiap zaman, setiap masa," kata Fadli usai menghadiri soft launching Sumitro Institute di Taman Sriwedari Cibubur, Depok, Jawa Barat, Minggu (1/6), dikutip dari CNN Indonesia.

"Ini bukan menulis tentang sejarah HAM, ini sejarah nasional Indonesia yang aspeknya begitu banyak dari mulai prasejarah atau sejarah awal hingga sejarah keseluruhan," ujarnya.

Keputusan ini menuai banyak kritik dari berbagai kalangan, Beauties. Hal ini dikhawatirkan dapat menghilangkan pemahaman yang akurat tentang apa yang terjadi di masa lalu. Selain itu, sejarah seharusnya bisa menjadi media pembelajaran agar tidak mengulangi kesalahan yang lampau. 

Sebagai informasi, ada 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang telah diakui negara pada 11 Januari 2023 oleh Presiden ketujuh RI Joko Widodo (Jokowi), dikutip dari CNN Indonesia.

1. Peristiwa (1965-1966)
2. Penembakan Misterius (Petrus) (1982-1985)
3. Talangsari, Lampung (1989)
4. Rumoh Geudong dan Pos Sattis Aceh (1998-1999)
5. Penghilangan Paksa Aktivis (1997-1998)
6. Tragedi Trisakti dan Semanggi I & II (1998-1999)
7. Kerusuhan Mei (1998)
8. Simpang KKA, Aceh (1999)
9. Wasior, Papua (2001)
10. Wamena, Papua (2003)
11. Jambo Keupok, Aceh (2003)
12. Peristiwa Timor Timur pasca-referendum (1999, diadili di Pengadilan HAM ad hoc, namun hasilnya kontroversial).

Penulisan Ulang Sejarah Indonesia Tuai Pro-Kontra

Ilustrasi orang membaca buku/Foto: Freepik.com/freepik

Ilustrasi/Foto: Freepik.com/freepik

Keputusan pemerintah untuk menulis ulang sejarah Indonesia menuai reaksi pro kontra dari masyarakat. Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menjadi salah satu yang mendukung proyek ini.

Lebih rinci, ia mengomentari soal penulisan ulang dua kasus pelanggaran HAM berat dengan tone positif. Menurutnya, penulisan ulang sejarah dengan narasi positif bukan berarti menulis sejarah yang sesuai dengan keinginan pihak tertentu saja, melainkan menuliskan sejarah secara apa adanya.

Di sisi lain, Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menganggap program yang digagas oleh Fadli Zon ini berpotensi menjadi instrumen legitimasi kekuasaan dan menutup peluang diskusi tentang masa lalu bangsa secara demokratis. Sebagai informasi, AKSI terdiri dari sejarawan, aktivis hak asasi manusia, tokoh masyarakat, dan akademisi.

Menurut AKSI, penulisan ‘sejarah resmi’ negara lewat tangan pemerintah bukan hanya tidak lazim dalam sistem demokrasi, kebijakan tersebut juga berpotensi menghilangkan fakta-fakta sejarah masa lalu khususnya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang pernah terjadi di masa lalu.

“Yang paling berbahaya adalah proyek ini bisa digunakan untuk mencuci dosa rezim baik yang berjalan saat ini maupun yang terjadi selama masa Orba dimana pelanggaran HAM berat masif terjadi,” kata Ketua AKSI, Marzuki Darusman, setelah melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi X DPR, Senin (19/5), dikutip dari laman Amnesty International Indonesia.

Sementara itu, menurut sejarawan Asvi Warman, proyek penulisan ulang sejarah Indonesia ini berpotensi menghasilkan penggelapan sejarah bangsa, Beauties. 

"Penyebarluasannya akan berdampak luas bagi kesalahan berpikir generasi muda dan akan merugikan kelanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan,” kata sejarawan Asvi Warman Adam sekaligus anggota AKSI, dikutip dari laman Amnesty International Indonesia.

“Sejarah bukanlah monumen tunggal yang bisa dipahat oleh satu kekuasaan, dihasilkan dari suatu proyek politik, yang diragukan akuntabilitas dan kredibilitas metodenya,” lanjutnya.

Alih-alih menulis ulang sejarah, Asvi meminta pemerintah fokus untuk untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu agar tercipta sejarah baru yang menjadi rujukan publik.

“Proses pembentukan sejarah lewat kebijakan negara melawan impunitas dengan menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM lebih baik ketimbang melakukan penggelapan sejarah lewat proyek politik penulisan ulang sejarah,” tambah Asvi.

Salah Satu Editor Penulisan Ulang Sejarah Indonesia Mengundurkan Diri

Rekomendasi buku novel detektif buat kamu yang suka memecahkan sebuah kasus/ Foto : Freepik/ Freepik

Ilustrasi/Foto : Freepik/ Freepik

Arkeolog ahli pra-sejarah atau prasejarawan Prof. Harry Truman Simanjuntak yang semula tergabung sebagai editor buku jilid kesatu dalam proyek penulisan ulang sejarah Indonesia mengundurkan diri. 

Harry melihat ada ketidakterbukaan dalam penentuan konsep dan terminologi yang digunakan dalam proyek ini. Dalam surat terbuka pengunduran dirinya tertanggal 22 Januari 2025, ia menyatakan keberatan penggantian terminologi “Prasejarah” menjadi “Sejarah Awal”.

“Menggantikan Prasejarah dengan “Sejarah Awal” sama dengan menghapuskan istilah dan ilmu prasejarah dari nomenklatur keilmuan, sebuah keputusan yang betul-betul aneh, hanya dan baru kali ini terjadi di Indonesia,” tulis Harry Truman dalam surat terbukanya, dikutip dari laman Amnesty International Indonesia.

Menurutnya, masyarakat harus membedakan “sejarah” sebagai sebuah terminologi dan cakupan studi sejarah sebagai ilmu. Berbeda dengan terminologi sejarah secara umum yang mengaitkan dengan kehidupan masa lampau, tetapi tidak seluruh kehidupan masa lampau diteliti sejarah sebagai disiplin ilmu. Ada disiplin lain yang meneliti sebagian, yaitu Arkeologi, khususnya Prasejarah. Ini berlaku tidak hanya di Indonesia, tetapi global di seluruh dunia.

“Saya tidak ingin ilmu pengetahuan dan ilmuwan terkesan menghamba pada kekuasaan sampai rela menerobos nomenklatur keilmuan,” ujar Harry Truman yang juga tergabung dalam AKSI.

Kritik Netizen di Media Sosial

Ilustrasi membatasi sosial media/Foto: pexels.com/picjumbo-com-55570

Ilustrasi/Foto: pexels.com/picjumbo-com-55570

Kritik juga bermunculan dari netizen di media sosial. Tak sedikit yang menilai proyek penulisan ulang sejarah Indonesia ini berpotensi menjadi alat propaganda hingga menghilangkan menghapus bagian-bagian penting yang bisa menjadi pembelajaran.

"Esensi menulis ulang sejarah harusnya adalah mengisi bagian-bagian sejarah yang kosong, yang tidak populer. Yang hilang. Ini kok malah di pilih2 yang bagus2 doang. Aneh, padahal sifat nya menulis ulang sejarah adalah memberikan informasi, bukan mempropaganda. Tulis apa adanya aja, urusan interpretasi orang gimana itu udh bukan lagi tanggung jawab pemerintah. Yg penting udh ngasih informasi yang jelas dan utuh," tulis akun @gil***.

"Menulis ulang sejarah pelanggaran HAM berat dengan tone positif bukanlah langkah rekonsiliasi. Itu bentuk pengingkaran. Luka tidak sembuh dengan dibungkus narasi manis. Luka sembuh ketika kebenaran diakui dan keadilan ditegakkan. Sejarah bukan untuk dipoles. Sejarah untuk dipelajari agar tidak diulang," komentar netizen @roh***.

"Tidak ada unsur positif dalam kasus pelanggaran HAM berat. itu jadi jejak bahwa negara ini pernah berbuat dosa dengan harapan kejadian yang serupa tidak terulang lagi. kok ngide banget menuliskan DOSA-DOSA itu dengan tone POSITIF?" tulis akun @aro***.

Bagaimana menurutmu, Beauties?

***

Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!

(naq/naq)
Komentar
0 Komentar TULIS KOMENTAR
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.