Baru-baru ini netizen Indonesia menyoroti sebuah potongan video ceramah seorang ustazah yang ramai beredar di media sosial seputar kisah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami oleh seorang istri.
Isi dari ceramah tersebut menceritakan seorang istri yang ditampar suaminya. Namun sang istri berusaha menutupi aib suaminya tersebut. Timbul perdebatan di kalangan netizen karena ceramah tersebut dianggap menormalisasi perbuatan KDRT.
Lantas, bagaimana sebenarnya Islam memandang KDRT? Dan benarkah suami memukul istri adalah aib yang harus ditutupi? Simak penjelasan berikut ini.
KDRT Dilarang dalam Islam
Menurut Kiai Faqih Abdul Kodir, dosen di IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan ISIF Cirebon sekaligus Sekretaris ALIMAT, KDRT dilarang dalam Islam, bahkan terbilang haram. Sebab KDRT tergolong kekerasan dan hal yang zalim.
"Dalam hadis dijelaskan bahwa tidak boleh seseorang melakukan keburukan dan kerusakan kepada orang lain. Cemberut saja tidak baik, apalagi kekerasan seperti memukul, saya kira jelas itu haram," ungkapnya saat dihubungi Beautynesia, Jumat (4/2).
Kiai Faqih atau biasa disapa Kang Faqih juga mengungkapkan bahwa KDRT adalah bentuk kezaliman dan bukan suatu hal yang bisa dinormalisasi.
"Nabi Muhammad SAW tidak pernah memukul istri, dan Nabi menyindir orang yang suka memukul kemudian disebut itu bukan orang yang berakhlak baik," tambahnya.
Dalam Islam disebutkan bahwa tujuan pernikahan adalah untuk beribadah dan membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Ketiga istilah itu memiliki arti tenteram, penuh cinta kasih, dan mendapatkan rahmat.
"Istilah sakinah mawaddah warahmah kan terkenal sekali, apakah memukul termasuk sakinah?" ungkapnya.
Apakah Suami Memukul Istri Aib yang Harus Ditutupi?
Menurut Faqih, melaporkan KDRT yang dialami bukanlah suatu aib. Ia menceritakan pada masa Nabi Muhammad SAW ada seorang perempuan yang datang kepada Nabi SAW dan menceritakan suaminya yang telah memukulnya.
"Hal itu nggak dibilang aib sama Nabi SAW. Jadi menceritakan suami memukul itu bukan aib, yang aib itu suami memukulnya. Dan aib itu harus dihilangkan, kemungkaran itu harus dihilangkan," tuturnya.
Menurut Faqih, menceritakan kekerasan yang dialami dengan tujuan untuk mencari solusi dan tidak terulang lagi adalah bukan bagian menceritakan aib yang dilarang. Ini merupakan bagian dari gerakan 'amar ma'ruf' dan 'nahi mungkar'.
"Gerakan untuk menguatkan daya dorong (amar ma'ruf) kita semua untuk selalu berbuat baik, sekaligus daya tahan (nahi munkar) kita semua agar tidak terjerumus pada tindakan-tindakan buruk dan zalim," tuturnya.
Normalisasi kekerasan pada perempuan yang kerap terjadi ini juga bersumber dari cara pandang masyarakat terhadap perempuan itu sendiri. Tak sedikit yang masih memandang bahwa perasaan perempuan adalah sesuatu yang bisa dikendalikan oleh pria.
Menurut Faqih, menormalisasi kekerasan ini merupakan tanda bahwa pria ingin menjadi penguasa mutlak.
"Pria dan perempuan itu kuasa mutlaknya kepada Allah SWT. Kalau kuasa mutlaknya kepada Allah, maka pria dan perempuan sama-sama menyadari bahwa mereka hamba yang tidak saling merasa lebih mutlak dari yang lain. Dan karena sama-sama hamba, kuasanya harus mengikuti perintah-perintah Allah, yaitu untuk berbuat baik, untuk berbagi, untuk bekerja sama, bukan membiarkan kekerasan.
Pemukulan istri adalah bagian dari perilaku buruk, yang tidak sesuai dengan akhlaq karimah yang diajarkan Nabi Muhammad SAW, dan tidak sejalan dengan visi Islam rahmatan lil 'alamin," tutupnya.
***
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk gabung ke komunitas pembaca Beautynesia B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!