Viral Cerita Korban Penipuan Berkedok Cari Freelancer Habiskan Rp21 Juta, Mari Membedahnya dari Sisi Psikologi!

Rini Apriliani | Beautynesia
Sabtu, 13 May 2023 20:30 WIB
Selanjutnya: Korban Terjebak dalam Permainan Penipu
Membedah modus penipuan dari sisi psikologi/Foto: Freepik.com

Baru-baru ini kembali viral di media sosial, cerita seorang korban penipuan online. Berkedok cari freelancer, tapi ternyata menipu korban online. Salah satu korban, yakni Syifa Giarsyah membagikan ceritanya di Twitter dan telah habiskan uang hingga Rp21 juta. 

Viralnya cerita tersebut, pembuat seorang penulis, yakni Okki Sutanto membedah aksi penipuan tersebut dari sisi psikologi. 

Tim Beautynesia telah mendapat izin untuk mengutip postingan Okki tentang aksi penipuan ini.

Menurut Okki, modus penipuan terbaru ini jauh lebih kompleks. Dimana penipuan tersebut telah dirancang detail penuh perhitungan, dengan sejumlah trik psikologis ala praktisi behavioral economics. Tidak peduli merk HP, seberapa melek teknologi, pelaku bisa menguras rekening lewat social engineering cerdik. 

The Poor Language: untuk Filter Out Orang Kritis

Kalimat Toksik yang Digunakan Orang Cerdas/Foto: Pexels.com/Andrea PiacquadioIlustrasi orang cerdas/Foto: Pexels.com/Andrea Piacquadio

Pada tahap pertama, Okki menjelaskan jika aksi penipuan tersebut menggunakan The Poor Language

Dimana spasi ngawur, huruf kapital salah, hingga grammar yang jelek dilakukan oleh penipu. Ternyata, teknik ini sudah dilakukan sejak penipuan zaman dulu. Meski terkesan sepele, nyatanya hal ini punya peran penting!

Penulisan 'jelek' tersebut dapat memfilter orang-orang yang lebih waspada, berpendidikan, dan kritis, yang mereka sudah tahu kalau sejak awal jika pesan ini akan merujuk pada scam. Sehingga mereka enggan merespon. 

Mereka yang merespon adalah yang memang lebih rawan jadi korban penipuan. 

Foot in the Door Technique: Rayuan Lewat Permintaan Kecil

Dalam aksi penipuan tersebut, korban bercerita jika ia tertarik bergabung karena mulanya tau cara kerja yang sangat mudah. Yakni, tinggal like dan subscribe saja, tugas yang diberikan penipu. 

Ternyata, hal ini termasuk Foot in the Door Technique, yang mana pelaku penipuan memberikan rayuan lewat permintaan kecil yang akan membuat korban seolah merasa "begitu doang" dan terasa tidak berbahaya. 

Padalah setelah ini, permintaan kecil di awal tadi akan meningkat dan lama kelamaan akan semakin besar dan banyak. Teknik ini banyak digunakan di dunia marketing. Awalnya ditawari beli yang kecil dulu, lama-kelamaan ditawari yang mahal. 

The Ben Franklin Effect: Trik Psikologi yang Membuat Orang Menyukai Kita

Mengenal spoofing, salah satu modus penipuan onlineIlustrasi modus penipuan/Foto: Freepik.com/katemangostar/ Foto: Retno Anggraini

Selanjutnya tanpa sadar kita akan terjebak pada The Ben Franklin Effect, yakni sebuah trik psikologi untuk membuat orang menyukai kita: dengan meminta bantuan dari orang tersebut. 

Menurut Okki, konsep ini agak kontra intuitif. Bukannya orang akan menyukai orang yang membantu mereka? Ternyata, nggak juga. 

Studi psikologi menunjukkan bahwa ketika kita menolong orang lain, di kemudian hari malah kita akan lebih mudah suka dan percaya pada orang tersebut. Kita punya kecenderungan untuk lebih menyukai orang yang pernah kita tolong. 

Dalam konteks penipuan ini, kita jadi pihak yang terus menolong dan membantu, yang ujungnya jadi lebih mudah percaya ke pelaku. 

Classic Skinner and His Behavioristic Theory

Korban menuturkan jika sebelumnya setelah mengikuti permintaan pelaku dan selesai, maka akan diberikan reward secara langsung. 

Immediate reward yang dilakukan penipu ini ternyata punya alasan tersendiri lho, Beauties. Yang mana hal ini bisa membuat korban percaya, jika apa yang dilakukannya adalah sebuah kebenaran. 

Reward yang diberikan dengan segera, secara ilmiah lebih memotivasi seseorang dibanding reward yang diberikan belakangan. Hal ini termasuk Classic Skinner and his behavioristic theory.

Lebih lengkap, baca halaman selanjutnya!

Selanjutnya: Korban Terjebak dalam Permainan Penipu

Mengenal spoofing, salah satu modus penipuan online

Membedah modus penipuan dari sisi psikologi/Foto: Freepik.com

Ilussion of Choice: Korban Jatuh pada Pilihan

Setelah mulai terbawa arus, korban akan diproses ke tahap berikutnya, yang mana ia harus memilih berapa jumlah untuk deposit. Mereka jatuh pada perangkap Ilussion of Choice

Sebuah bias kognitif yang membuat orang percaya bahwa mereka memiliki kuasa dan kendali lebih daripada sebenarnya. Seakan-akan korban memiliki kuasa penuh atas pilihan mereka berikutnya. Tanpa sadar, sebenarnya mereka sudah terbelenggu dalam rantai tak terlihat yang dipasang komplotan penipu. 

Terjebak Social Proof Bias

Dari penuturan Syifa sebagai korban, selanjutnya ia dimasukkan ke dalam grup member yang beranggotakan 300 orang. Mereka berbondong-bondong mencoba deposit hingga jutaan. 

Karena merasa tak curiga, ditambah jumlah orang yang banyak dalam grup tersebut pun transfer, membuat korban melakukan hal yang sama. 

Dalam kondisi ini telah terjebak dalam Social Proof Bias. Merasa semua aman, tanpa mempertanyakan sama sekali.

Padahal, ada kemungkinan besar jika grup tersebut hanya diisi dengan komplotan penipu, untuk memunculkan ilusi social proof. 

Sunk Cost Fallacy: Fenomena Nanggung, Sudah Setengah Jalan

Kopi Bisa Bikin Orang Lebih Mudah Marah? Ini PenjelasannyaIlustrasi marah/ Foto: Ilustrasi iStock

Korban bercerita, sesudah dimasukkan ke dalam grup berisi 300 orang dan melakukan deposit, ia pun masuk kembali ke grup yang lebih inti, hanya berisikan 5 orang saja, yang mana disebut juga grup VIP eksklusif. 

Pressure dalam grup kecil ini ditekan lebih besar lagi. Dimana jika tidak menyelesaikan tugas yang diberikan, maka yang terjebak adalah kelompok tersebut, bukan lagi per individu. Hal ini membuat korban merasa tertekan dan ada kata "nanggung" untuk terus menyelesaikannya. 

Tanpa sadar, korban akhirnya terjebak Sunk Cost Fallacy yang didesain pelaku. Yakni kecenderungan seseorang untuk tetap percaya dan melanjutkan suatu aktivitas, karena sudah mengeluarkan banyak uang, waktu dan tenaga, meski saat hitung-hitungannya sudah nggak masuk akal lagi. 

Korban Tersadar, Ini Penipuan

Akhirnya setelah berjalan jauh, korban tersadar jika ini adalah bentuk penipuan. Seperti yang dialami Syifa, saat ia sudah menyerahkan puluhan juta uangnya, dan saat terus diminta deposit, ia sudah merasa tak sanggup mengikuti. 

Uang deposit sebelumnya yang tak kunjung cair dan tekanan agar deposit lebih besar lagi, membuatnya tersadar jika ini adalah bentuk penipuan. 

Menurut Okki, banyak teknik-teknik yang diterapkan penipu di-scam ini bisa dipelajari di buku Nudge dari Richard Thaler & Cass Sustein. Ia adalah pemenang Nobel Ekonomi atas karya-karyanya di bidang behavioral economics. Sebuah bidang ekonomi yang mendalami bagaimana aspek psikis dan kognitif manusia mempengaruhi perilaku ekonomi mereka. 

Bagaimana manusia sejatinya bukanlah makhluk yang rasional saat berurusan dengan uang. Yang dibuktikan oleh para pelaku penipuan ini. 

Terakhir Beauties, semoga kita selalu disadarkan akan segala bentuk penipuan ya! Dan semoga, korban penipuan, Syifa bisa menyelesaikannya bersama pihak kepolisian!

Untuk membaca tulisan Okki Sutanto selengkapnya, bisa simak di bawah ini...

[Gambas:Instagram]



***

Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk gabung ke komunitas pembaca Beautynesia B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!

(ria/ria)
Komentar
0 Komentar TULIS KOMENTAR
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.

RELATED ARTICLE