Viral Istilah Avoidant di Medsos, Apa Maknanya dalam Hubungan?

Nindya Putri Hermansyah | Beautynesia
Sabtu, 13 Sep 2025 18:00 WIB
Apa Itu Avoidant Attachment?
Ilustrasi pasangan/freepik: freepik

Pernahkah kamu merasa pasanganmu terlihat sayang tapi sulit sekali mengekspresikan, apalagi terbuka? Atau mungkin kamu sendiri sering memilih menjaga jarak meski sebenarnya ingin dekat? Fenomena ini bukan sekadar sikap dingin biasa, melainkan bisa jadi terkait dengan istilah yang sedang viral belakangan ini: avoidant attachment. 

Di media sosial, istilah ini semakin ramai diperbincangkan karena banyak orang merasa kisah cintanya seperti terjebak dalam pola yang sama. Rasa penasaran pun muncul: mengapa ada orang yang justru menolak kedekatan, padahal hubungan dibangun atas dasar keintiman?

Berikut adalah makna di balik istilah avoidant, bagaimana pola ini terbentuk, dampaknya pada kehidupan percintaan, hingga cara menghadapi dan mengubahnya menjadi lebih sehat. Simak!

Apa Itu Avoidant Attachment?

Ilustrasi pasangan/freepik: freepik

Dilansir dari Verywell Mind  artikel “What Avoidant Attachment Looks Like in a Relationship” bahwa avoidant attachment adalah pola seseorang menghindari keintiman emosional, menghargai kemandirian hingga menekan kebutuhan afektifnya agar tidak terasa rentan.

Sederhananya, ini adalah pola ketika seseorang lebih memilih menjaga jarak dan menghindari kedekatan emosional. Orang-orang dengan gaya menghindar ini sering memiliki "inner belief" bahwa ketergantungan pada orang lain adalah sesuatu yang berisiko, sehingga mereka memilih strategi menjauh sebagai bentuk perlindungan.

Mengapa Bisa Terbentuk Avoidant?

Ilustrasi pasangan avoidant/freepik: freepik

Dilansir dari Verywell Mind, memang benar kalau pengalaman masa kecil sangat berpengaruh. Anak yang sering merasa diabaikan atau tidak mendapat dukungan emosional akan belajar untuk menekan perasaan dan lebih memilih mandiri.

Namun, selain itu, penelitian menunjukkan ada juga pengaruh dari genetik. Beberapa orang lebih rentan punya kecenderungan menghindari kedekatan emosional karena faktor biologis yang diturunkan dari orang tua.

Selain pola asuh dan genetik, Psychology Today menambahkan, sifat dasar kepribadian juga berperan. Ada orang yang sejak kecil memang lebih tertutup, cenderung introvert, atau lebih nyaman menjaga jarak dalam interaksi sosial. Jadi, avoidant attachment bukan semata-mata “kesalahan” pengasuhan, tapi kombinasi antara pengalaman, keturunan, dan karakter bawaan seseorang.

Karakter Gaya Avoidant

Ilustrasi kekakuan pada hubungan/Freepik: freepik

Orang dengan gaya avoidant attachment biasanya terlihat seperti sosok yang mandiri dan tenang. Mereka lebih nyaman mengandalkan diri sendiri dibanding harus terbuka dengan pasangan. Kalau ada masalah dalam hubungan, tipe ini cenderung memilih diam, menjauh, atau sibuk dengan hal lain, daripada membicarakan apa yang dirasakannya.

Menurut Healthline, sifat lain yang sering muncul adalah sulit mengekspresikan kasih sayang secara langsung, kaku, dan tidak romantis. Misalnya, mereka bisa saja sayang sama pasangannya, tapi enggan menunjukkan lewat kata-kata atau sentuhan. Mereka juga gampang merasa tidak nyaman kalau pasangannya terlalu dekat secara emosional, sehingga sering memberi jarak agar merasa aman.

Singkatnya, orang dengan gaya avoidant punya dinding tak terlihat yang membuat hubungan jadi terasa dingin atau kaku.

Pertanyaannya: Apakah Mereka Tidak Bisa Romantis dan Mudah Bosan?

Ilustrasi pasangan romantis/Freepik: freepik

Dilansir dari Healthline, tipe avoidant biasanya sulit menunjukkan kasih sayang lewat kata-kata manis, pelukan, atau perhatian kecil yang sering dianggap romantis.  Namun, mereka tetap bisa romantis, hanya dengan cara yang lebih “praktis”.

Mereka mungkin menunjukkan cinta lewat tindakan nyata, seperti membantu menyelesaikan masalah, memberikan ruang, atau mendukung dari balik layar. Jadi, romantis versi mereka bukan drama besar atau kata-kata indah, tapi bentuk perhatian yang lebih halus.

Sementara itu, tipe avoidant biasanya merasa kewalahan ketika pasangan menunjukkan terlalu banyak kebutuhan emosional atau ingin selalu dekat. Bukan karena mereka bosan, tapi karena kedekatan yang terlalu intens membuat mereka tidak nyaman. Akibatnya, mereka bisa terlihat seperti menjauh atau kehilangan minat.

Mereka cenderung menikmati hubungan yang stabil selama tetap ada jarak aman. Kalau pasangan bisa menghargai kebutuhan ruang tersebut, mereka justru bisa bertahan lama dalam hubungan. 

Dampak pada Hubungan

Ilustrasi dampak avoidant/Freepik: freepik

Gaya avoidant bisa bikin hubungan terasa dingin atau jauh. Pasangan yang punya kecenderungan ini sering menghindari percakapan mendalam soal perasaan dan menolak ketika pasangan meminta lebih banyak perhatian. Akibatnya, hubungan jadi penuh tanda tanya karena salah satu pihak merasa tidak benar-benar dikenal atau dipahami.

Pasangan dengan gaya avoidant juga bisa membuat orang di sekitarnya merasa tidak dicintai, padahal sebenarnya mereka punya rasa sayang. Hanya saja, cara mengekspresikan cinta mereka berbeda. Kalau tidak ada komunikasi yang sehat, hal ini bisa menimbulkan rasa frustrasi, kesepian, pertengkaran berulang, bahkan perpisahan dalam hubungan.

Cara Menyikapi dan Solusi yang Tepat

Ilustrasi komunikasi/Freepik: freepik

Bagi seseorang yang memiliki pasangan dengan kecenderungan avoidant attachment, penting untuk memahami bahwa tekanan atau paksaan hanya akan membuat mereka semakin menarik diri. Memberikan ruang pribadi adalah langkah bijak, karena hal tersebut membuat pasangan merasa aman.

Namun, kebutuhan emosional tetap harus dikomunikasikan. Ungkapkan dengan jelas bahwa perhatian dan kasih sayang juga penting bagi keberlangsungan hubungan. Sampaikan hal ini secara tenang dan tidak berulang kali, agar tidak menimbulkan kesan mendesak. Jika pasangan benar-benar mencintai, ia akan berusaha menyesuaikan diri dan menunjukkan upaya untuk berubah.

Sementara itu, bagi individu yang memiliki gaya avoidant attachment, ada langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk memperbaiki kualitas hubungan. Praktik self-therapy sederhana dapat dilakukan, seperti menuliskan emosi harian, mencoba lebih terbuka melalui ekspresi kecil, hingga melatih diri untuk lebih peka terhadap kebutuhan pasangan.

Selain itu, belajar komunikasi sehat dengan berani mengatakan “aku butuh waktu sendiri” tanpa menghindar total. Hal ini bisa jadi langkah kecil yang membuat hubungan lebih seimbang. Dengan begitu, individu tetap dapat menjaga kemandirian, namun sekaligus membuka ruang bagi kedekatan emosional yang lebih tulus.

***

Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk gabung ke komunitas pembaca Beautynesia B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!

(ria/ria)
Komentar
0 Komentar TULIS KOMENTAR
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.

RELATED ARTICLE