Mengenal Istilah Filicide, Kasus Orangtua Bunuh Anak yang Terjadi Pada Ibu di Brebes

Diny Putri | Beautynesia
Jumat, 08 Apr 2022 09:00 WIB
Mengenal Istilah Filicide, Kasus Orangtua Bunuh Anak yang Terjadi Pada Ibu di Brebes
Ilustrasi depresi/Foto: Canva/RyanKing999

Beauties, beberapa waktu lalu masyarakat Indonesia dihebohkan oleh peristiwa pembunuhan anak yang dilakukan orangtuanya di Brebes, Jawa Tengah. Sang pelaku, KU, mengaku bahwa ia membunuh anak-anaknya dikarenakan tak ingin buah hatinya hidup susah sepertinya. Diketahui bahwa perempuan berusia 35 tahun ini membantu perekonomian keluarganya dengan bekerja sebagai penata rias, karena suaminya hanya seorang pekerja serabutan yang sering merantau ke Jakarta.

Akibat mendapat tekanan dari segi ekonomi, KU nekat untuk melakukan perbuatan keji pada anak-anaknya. Tentu berita ini mengundang kemarahan dari para masyarakat Indonesia. Banyak yang melayangkan komentar jahat serta menghakimi kepada ibu 3 anak ini. Namun terdapat juga beberapa masyarakat yang memberikan rasa simpati mereka karena memang pelaku dikabarkan memiliki penyakit mental.

Komentar bijak serta rasa simpati yang diberikan oleh beberapa orang tak mendapat respon yang baik. Padahal, kenyataannya kasus yang terjadi pada KU bisa dikategorikan sebagai penyakit mental, yang dikenal sebagai filicide, yang bisa menyerang orangtua di luar sana.

Apa Itu Filicide?

Ilustrasi Bayi di Gendong/Pexels/Kristina Paukshtite
Ilustrasi anak/Foto: Pexels/Kristina Paukshtite

Kasus yang terjadi pada KU merupakan filicide. Filicide merupakan pembunuhan anak yang dilakukan oleh orangtuanya karena beberapa faktor tertentu. Kasus kejahatan ini memang terbilang yang paling miris didengar, sebab pelakunya adalah orangtua. Apalagi, jika sang ibu yang melakukan perbuatan keji ini, karena sebagaimana yang kita tahu, sosok ibu adalah pelindung bagi anak-anaknya.

Dilansir dari National Library of Medicine, Amerika Serikat memiliki laporan tertinggi kasus pembunuhan anak. Sekitar 90 persen pelaku dari filicide adalah orangtua kandung dan 10 persen adalah orang tua angkat/tiri. Dalam kasus ini, orangtua tiri mungkin lebih berpotensi melakukannya, sebab mereka bukan merupakan anak kandungnya. Tidak hanya itu, dalam kasus penganiayaan, pembunuhan, serta pelecehan seksual pada anak pun, kebanyakan dilakukan oleh orangtua tiri dibanding orang tua kandung (Daly dan Wilson, 1994).

Faktor lainnya yang bisa menjadi faktor prediktif terkuat dalam filicide adalah usia orangtua yang terbilang masih muda, kurangnya pendidikan, status perkawinan tunggal, serta tidak adanya perawatan prenatal atau terlambat, sehingga membuat mental beberapa orang tua terganggu ketika mereka memiliki anak.

Faktor Penyebab Filicide

Melansir dari National Library of Medicine, Resnick (1969) membagi faktor penyebab terjadinya filicide menjadi lima, yaitu:

Filicide Altruistik

Ilustrasi Ibu dan Anak/Pexels/Sarah Chai
Ilustrasi Ibu dan Anak/Foto: Pexels/Sarah Chai

Faktor pertama yaitu filicide altruistik yang mana terjadi karena orangtua tidak ingin melihat anaknya menderita. Mereka meyakini bahwa kematian akan mengurangi beban hidup, dibandingkan harus hidup dengan berbagai macam penderitaan seperti penyakit, permasalahan ekonomi, dan lainnya.

Tidak hanya itu, faktor ini bisa juga dibilang sebagai bunuh diri. Biasanya orangtua sudah memiliki keinginan untuk mengakhiri hidupnya sendiri, namun karena perasaan alami orangtua yang tidak bisa meninggalkan anak-anak mereka dan takut membayangkan bagaimana mereka akan hidup seorang diri, akhirnya mereka memilih mengajak sang buah hati untuk ikut ke dalam aksi bunuh dirinya.

Hal ini terjadi di tahun 2011, Leshanda Armstrong (25 tahun) mengendarai mobilnya ke Sungai Hadson, kemudian menenggelamkan dirinya serta tiga dari empat anaknya.

Psikotik Akut

Ilustrasi Seseorang dengan Gangguan Mental/Freepik
Ilustrasi Seseorang dengan Gangguan Mental/Foto: Freepik

Selanjutnya pada faktor psikotik akut, yakni membunuh sang buah hati tanpa memiliki alasan yang jelas atau komprehensif. Bisa jadi orangtua yang melakukan tindakan keji ini berada di bawah pengaruh halusinasi, perintah, epilepsi, atau delirium.

Faktor psikotik akut sebenarnya erat kaitannya dengan kesehatan mental orangtua, terutama para ibu yang bisa jadi mengidap postpartum depression dan postpartum obsessive compulsive disorder. Melansir dari National Library of Medicine, hampir tiga perempat atau 72 persen ibu yang mengalami postpartum memiliki gangguan bipolar, sementara 12 persen mengidap skizofrenia.

Pada tahun 1927, Hopwood melaporkan satu kasus ibu epilepsi yang meletakkan bayinya di atas api dan ketel. Selain itu, Smith (2015) juga melaporkan kasus perempuan epilepsi yang menaruh bayinya di dalam microwave ketika ia dalam keadaan postictal.

Kenali Faktor, Dampak, serta Pencegahan Filicide

Peran Baru Sebagai Ibu

Ilustrasi ibu dan anak/Foto: Freepik.com/cookie_studio

Anak yang Tidak Diinginkan

Ilustrasi Anak Menangis/Pexels/Lucas Pezeta
Ilustrasi Anak Menangis/Foto: Pexels/Lucas Pezeta

Faktor ketiga yaitu adalah anak yang tidak diinginkan. Pada faktor ini, umumnya terjadi ketika orangtua merasa tak lagi menginginkan anaknya atau bahkan menganggap anaknya sebagai penghalang hidupnya.

Seperti yang dilakukan oleh seorang single mom berusia 25 tahun yang memilih untuk mengakhiri hidup sang buah hati, karena ditawari pernikahan namun calon pasangan hidupnya tak menginginkan anak-anaknya. Setelah pengajuannya ditolak oleh lembaga sosial setempat, ia pun memutuskan untuk membuangnya dengan kapak dan bensin untuk dibakar.

Penganiayaan Anak

Ilustrasi Domestic Physical Violence/Freepik/master1305
Ilustrasi KDRT/Freepik/master1305

Pembunuhan pada faktor ini terjadi karena penyiksaan anak yang dilakukan oleh orang tuanya. Penyiksaannya tentu saja tidak hanya sekali atau dua kali, melainkan terus terjadi hingga membuat nyawa sang anak melayang. Contohnya adalah sepasang pasutri di Bogor yang menewaskan anaknya melalui penyiksaan karena sang anak nakal serta tidak menurut.

Balas Dendam

Faktor terakhir yaitu balas dendam. Orangtua yang melakukan filicide pada kategori ini adalah sebagai ajang balas dendam kepada pasangan mereka, atau ingin melihat pasangan mereka menderita. Pemicu umumnya biasanya perselingkuhan, perceraian, serta perselisihan hak asuh. Seperti yang terjadi di Australia, seorang ayah meledakkan anak-anaknya karena tidak terima pasangannya mengakhiri hubungannya dan bermaksud menghukumnya dengan membunuh anak-anak.

Dampak Setelah Melakukan Filicide

Ilustrasi Perempuan Bersedih/Pexels/Pixabay
Ilustrasi Perempuan Bersedih/Pexels/Pixabay

Beauties, meski para orangtua telah melakukan tindakan keji pada buah hati mereka hingga meregang nyawa, namun perbuatan mereka sangat berdampak buruk bagi kehidupan mereka.

Melansir dari National Library of Medicine, orangtua yang membunuh anak mereka mengalami banyak penderitaan dan kerugian, termasuk anak-anak bahkan pasangan mereka. Perbuatan yang telah mereka lakukan selamanya akan melekat dalam pikirannya, sehingga bisa menyebabkan depresi berkepanjangan serta post traumatic stress disorder (PTSD). Tidak hanya itu, mereka cenderung akan menyalahkan serta sulit memaafkan diri mereka sendiri, mendapat stigma negatif dari masyarakat setempat, dan memiliki keinginan untuk bunuh diri.

Pencegahan Filicide

Ilustrasi Ibu dan Pekerjaannya/Freepik/wayhomestudio
Ilustrasi Ibu dan Pekerjaannya/Freepik/wayhomestudio

Mendengar kematian seorang anak memang sangat memilukan hati, apalagi jika penyebab kematian adalah orangtua mereka sendiri. Hal ini bisa dicegah dengan beberapa cara, di antaranya adalah memahami ilmu parenting dan pentingnya edukasi tentang pernikahan.

Selain itu, tidak meremehkan penyakit mental, terutama yang bisa menyerang seorang ibu pasca melahirkan. Dan yang tak kalah penting, membangun relasi yang lebih kuat dengan pasangan ketika sudah memiliki buah hati.

Itu tadi adalah penjelasan mengenai filicide atau pembunuhan anak yang dilakukan oleh orang tuanya. Beauties, dari kasus KU kita bisa belajar bahwa menjadi seorang ibu bukan hal yang mudah. Banyak hal yang harus dilaluinya, terutama lingkungan tak sehat yang mempengaruhi kondisi psikisnya. Tekanan yang didapat oleh pelaku menjadi pemicu untuk dirinya lebih memilih mengakhiri hidup anak-anaknya dibandingkan harus melihat buah hati hidup menderita.

Perbuatan KU jelas salah, namun ini menjadi edukasi penting bagi masyarakat di luar sana untuk tidak menganggap remeh peran seorang ibu serta tidak menyepelekan penyakit mental yang bisa menyerang seorang ibu pasca melahirkan. Pasangan memiliki peranan yang penting agar sang ibu bisa tetap waras dalam menjaga serta mengurus buah hatinya, pun dengan lingkungan yang seharusnya tidak menghakimi seorang ibu. Sebab kita tidak pernah tahu apa yang telah ia lalui dan bagaimana perasaannya sesungguhnya.

***

Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!

(naq/naq)
Komentar
0 Komentar TULIS KOMENTAR
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.

RELATED ARTICLE