5 Alasan Psikologis Mengapa Seseorang Jarang Posting di Media Sosial

Hanny A | Beautynesia
Kamis, 04 Dec 2025 10:00 WIB
4. Lebih Menghargai Pengalaman daripada Dokumentasi
mengambil foto / Foto: pexels.com/Lina Kivaka

Media sosial dulunya menjadi wadah untuk saling berbagi dan berekspresi. Sayangnya, kini bergeser menjadi panggung untuk menunjukkan citra diri melalui postingan sehari-hari.

Banyak yang sering memposting kehidupannya, tapi ada juga sekelompok orang yang memilih untuk jarang atau bahkan tidak pernah posting sama sekali. Apakah karena tidak ada konten yang bisa ditunjukkan? Atau apakah orang semacam ini hidupnya membosankan? Belum tentu!

Ternyata, ada alasan psikologis yang menarik di balik kebiasaan ini. Berikut beberapa di antaranya. Simak!

1. Tidak Ingin Mengandalkan Validasi Eksternal

Ilustrasi impresi di media sosial / Foto: pexels.com/Cup of Couple

Orang yang aktif memposting sesuatu ke media sosial biasanya ingin menunjukkan atau membagikan momen tertentu kepada orang banyak. Dalam kacamata psikologi, hal ini berkaitan dengan teori verifikasi diri (self-verification), dorongan untuk membuktikan identitas diri berdasarkan reaksi orang lain. Mereka cenderung menunggu like, komentar, atau bentuk umpan balik lainnya untuk mengukur apakah citra yang mereka bangun sesuai dengan harapan.

Namun, berbeda halnya dengan mereka yang lebih jarang posting. Tipe orang ini umumnya sudah tahu apa yang mereka yakini, rasakan, dan memahami diri sendiri tanpa perlu cerminan dari reaksi orang lain. Validasi mereka datang dari dalam diri sendiri, bukan bergantung pada tanggapan publik.

2. Sadar Dampak dari Mengekspos Kehidupan Pribadi

orang bertopeng / Foto: pexels.com/Tima Miroshnichenko

Setiap postingan yang diunggah memuat lebih dari sekadar foto atau video biasa. Di baliknya, terdapat berbagai informasi lain seperti refleksi perasaan, pola pikir, kualitas hubungan dengan orang lain, kondisi lingkungan sekitar, atau suasana hati pada saat itu. Tanpa disadari, setiap postingan mengandung bagian dari diri yang dapat membentuk profil psikologis yang bisa dikonsumsi publik.

Mereka yang memilih tidak sering posting bisa jadi paham bahwa semakin banyak orang tahu tentang diri mereka, maka akan semakin banyak asumsi yang terbentuk, dan pada akhirnya akan semakin sulit untuk mengontrol persepsi orang lain.

3. Menjaga Batasan Diri dari Kebisingan Digital

Ilustrasi mengatakan “tidak” / Foto: pexels.com/Vie Studio

Orang yang enggan posting seringkali sangat melindungi batasan diri, baik dari persepsi orang lain maupun dari rangsangan luar yang berlebihan. Tipe orang ini sangat peka terhadap kebisingan emosional istilah yang merujuk pada kelebihan stimulus, informasi, atau tekanan sosial yang dapat mengganggu ketenangan mental.

Salah satu buah dari jarang memposting adalah mereka terhindar dari stimulasi berlebihan yang bisa menguras energi emosional. Mengutip dari HelpGuide, media sosial dapat memberikan efek candu mirip dengan kecanduan alkohol atau narkoba. Saat mendapat like, share, atau reaksi positif, otak melepaskan dopamin, neurotransmitter yang bertanggung jawab atas perasaan senang dan puas. Semakin mudah mendapatkan dopamin dari memposting, semakin ketagihan seseorang untuk terus melakukannya berulang kali.

Orang yang jarang posting cenderung lebih waspada terhadap jebakan ini dan memilih untuk melindungi kesehatan mental mereka dengan membatasi keterlibatan di media sosial.

4. Lebih Menghargai Pengalaman daripada Dokumentasi

mengambil foto / Foto: pexels.com/Lina Kivaka

Bukan berarti dokumentasi tidak penting. Namun, kini lebih banyak orang yang mendahulukan "memberi makan kamera" untuk keperluan posting dibanding menghidupkan momen pada saat itu terjadi.

Ketika fokus kita terletak pada mengambil gambar atau video untuk mengabadikan momen, kita justru kehilangan pengalaman mendalam dan menurunkan kemampuan otak untuk mengingatnya secara utuh. Melansir dari laman The Cut, hal ini sejalan dengan fenomena yang psikolog sebut sebagai cognitive offloading, di mana otak akan meringankan beban kerja yang semestinya dilakukan dengan mengandalkan bantuan eksternal.

Orang yang jarang atau tidak memposting foto lebih memilih menikmati momen secara penuh tanpa gangguan. Ironisnya, momen yang dinikmati tanpa dokumentasi justru sering kali lebih membekas dan berkesan dalam ingatan jangka panjang.

5. Menerapkan Prinsip Kelangkaan Informasi

ilustrasi orang misterius / Foto: pexels.com/fahri tokcan

Orang yang selalu memposting kehidupannya lama-kelamaan dapat mengurangi makna dari setiap postingan yang dibagikan. Simpelnya, semakin banyak yang diposting, semakin berkurang nilai istimewa dari setiap konten.

Sebaliknya, orang yang jarang posting biasanya menerapkan kelangkaan informasi (information scarcity). Ketika mereka akhirnya membagikan sesuatu, postingan itu terasa lebih berarti dan mendapat perhatian lebih besar karena jarang terjadi.

Selain itu, jarang posting juga dapat melindungi privasi sekaligus menjaga ketentraman mental dengan memisahkan kehidupan pribadi dari kehidupan sosial mereka. Mereka memahami bahwa tidak semua hal perlu diketahui publik, dan privasi adalah bentuk dari penghormatan terhadap diri sendiri.

Orang yang jarang posting bukan berarti tidak memiliki kehidupan yang menarik atau tidak layak ditunjukkan ke publik. Justru sebaliknya, mereka mungkin menikmati hidup dengan cara yang lebih dalam dan personal.

***

Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk gabung ke komunitas pembaca Beautynesia B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!

(ria/ria)
Komentar
0 Komentar TULIS KOMENTAR
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.

RELATED ARTICLE